Yudas 1:22-23
Pdt. Johanis P. Kamuri, M.Th., M.Hum.
Ayat 22-23 berbicara mengenai orang-orang yang goncang imannya. Setelah para penyesat itu datang, seolah-olah Yudas mengatakan “Peliharalah imanmu!”. Tetapi kemudian Yudas mengatakan ketika memelihara iman, tindakan itu tidak egois atau perhatikanlah juga orang lain. Yudas membedakan tiga macam orang ketika mereka hidup di dalam kekristenan dan kemudian menghadapi begitu banyak penyesatan.
Pertama, kelompok orang yang ragu-ragu (ay. 22). Istilah diakrino atau yang diterjemahkan oleh LAI sebagai “ragu-ragu” sebenarnya berbicara mengenai dialog, argumentasi, dan perdebatan. Tetapi ini adalah sebuah dialog, sebuah argumen, atau sebuah perdebatan dengan diri sendiri atau yang hari ini kita sebut sebagai konflik batin di dalam hati kita dan konflik di dalam batin ini berpotensi untuk meruntuhkan iman yang sudah ada. Nampaknya nabi-nabi palsu atau guru-guru palsu yang masuk ke dalam jemaat yang menerima surat Yudas adalah guru-guru palsu yang memiliki kemampuan mengajar dengan sangat baik sehingga meskipun mereka mengajarkan sesuatu yang salah, ajaran mereka itu begitu meyakinkan jemaat sehingga ada orang yang mulai goncang imannya. Tetapi nasihat Yudas di dalam ayat 22 yaitu tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu. Di satu sisi Yudas mengatakan ada fakta bahwa orang merasa ragu-ragu setelah berhadapan dengan penyesatan, tetapi di sisi yang lain dia mengatakan kasihanilah mereka. Yudas mengajarkan satu hal kepada kita bahwa di dalam gereja, di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya yang sejati, masih ada tempat bagi keragu-raguan, masih ada tempat bagi pertanyaan. Bukankah wajar ketika kita bergumul dan menderita begitu hebat, kemudian muncul pertanyaan: “Sebenarnya Tuhan itu ada atau tidak ada?” atau “Sebenarnya Tuhan mengasihi kita atau tidak?” Keragu-raguan memiliki tempat di dalam iman yang sejati. Iman yang sejati tidak menghilangkan seluruh pertanyaan rasional kita.
“Tunjukkanlah belas kasihan” artinya kita mengasihi orang yang ragu-ragu, bukan kita mengkritik dan menghina. Dia sudah bergumul dalam batinnya dan bertanya kepada kita, maka kita harus memberikan jawaban meskipun pertanyaan mereka adalah pertanyaan yang sepele bagi kita.
Terkadang pertanyaan paling mendasar bisa muncul di dalam pergumulan yang paling hebat. Oleh karena itu sebenarnya kita tidak memiliki hak untuk mengkritisi mereka ketika mereka ragu-ragu. Maka Yudas mengatakan sabarlah terhadap orang-orang demikian. “Sabar” berarti tidak bosan-bosannya memberi jawaban, tidak bosan untuk mengajak mereka kembali (Gal. 6:1). Tetapi apa yang harus kita lakukan? Ayat ini berkata “membimbing”. Kamu yang matang secara spiritual dan kuat secara rohani bersabarlah untuk membimbing. Istilah “membimbing” adalah suatu istilah di mana kita bukan hanya sekedar membimbing dan mengembalakan, tetapi membimbing dan mengembalakan secara rasional. Karena dia mencari jawaban, maka bimbingan yang kita berikan adalah bimbingan yang rasional. Tetapi membimbing di sini dengan cara memberikan pengertian. Ragu-ragu adalah masalah intelektual, maka jawaban yang harus diberikan adalah jawaban yang rasional. Jika kita memutuskan untuk menegur dia, maka tegurlah karena kasih tidak meniadakan teguran. Tetapi teguran yang dituntut oleh Yudas adalah dengan argumentasi yang rasional. Jika kita memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, berikanlah jawaban dan nasihat yang rasional. Rasional tidak selalu bersifat filosofis. Tetapi berarti kita membangun argumentasi-argumentasi itu berdasarkan pengertian terhadap kebenaran firman Allah. Kita tidak dapat memberikan nasihat yang buta. Oleh karena itu, mungkin dari konstruksi ini kita dapat mendefinisikan apa itu kuat secara spiritual. Pertama, orang yang kuat secara spiritual bukanlah orang yang memiliki banyak karunia. Kedua, orang yang kuat secara spiritual bukanlah orang yang membuat banyak mujizat. Tetapi menurut definisi Yudas, orang yang kuat secara spiritual untuk menguatkan saudaranya yang lain adalah orang yang sabar terhadap orang-orang yang terlihat menjengkelkan dan terus mencari kebenaran dan tidak pernah puas dengan kebenaran itu. Jika ada orang yang terus bertanya sampai kita lelah, tetapi kita bisa sabar melayani mereka, Alkitab berkata bahwa kita kuat secara spiritual. Tetapi yang kedua, karena nasihat yang kita berikan adalah sesuatu yang rasional, maka orang yang kuat secara spiritual bukanlah pembuat mujizat, bukan pemilik karunia-karunia, tetapi orang yang kuat secara spiritual adalah orang yang mengerti kebenaran dan mau menjelaskan kebenaran dengan teliti. Suatu saat kita akan mengerti mengapa hal ini kuat. Karena agar kita dapat mengerti kebenaran, kita harus belajar dengan teliti. Dan agar kita dapat menyampaikan kebenaran, kita harus berpikir dengan sangat keras. Hal ini berbicara mengenai kesabaran, ketekunan mencari kebenaran, dan kemudian mengekspresikannya kepada orang lain.
Kelompok pertama yang diminta oleh Yudas untuk dilayani adalah mereka yang ragu-ragu. Hal ini berbicara mengenai konflik di dalam pikiran mereka.
Selanjutnya kelompok orang yang kedua, (ay. 23) istilah “merampas mereka dari api” atau “mereka yang terbakar oleh api” terdapat di dalam 2 Kitab, yaitu Amos 4:11 yang berbicara mengenai hukuman Allah atas orang yang hidup di dalam dosa. Sedangkan Zakharia 3:2 berbicara mengenai imam besar Yosua yang hidup di dalam dosa dan ketika Tuhan datang untuk menyelamatkan dia, malaikat berkata dia seperti puntung yang ditarik dari api. Jadi apa yang dimaksud dengan “puntung yang ditarik dari api”? Istilah ini mengacu kepada orang-orang yang hidup di dalam dosa dan yang sedang diancam hukuman Allah. Terbakar oleh api maksudnya adalah terbakar oleh dosa, tinggal di dalam dosa, dan sebentar lagi mereka akan dibakar oleh murka Allah karena pikirannya telah menerima ajaran yang sesat. Mereka menghidupi hidup yang salah dan berdosa oleh karena ajaran sesat itu.
Jika kita meyakini sesuatu yang salah dan kemudian kita menghidupinya, maka lama kelamaan hal itu akan menjadi karakter. Mengapa mereka disebut sebagai orang-orang yang harus ditarik dari api seperti puntung yang ditarik dari api? Karena pikirannya sudah meyakini sesuatu yang salah dan dia hidup di dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Allah. Efesus 4:18-19 berkata bahwa orang-orang yang terus menerus hidup di dalam dosa dan mereka meyakini sesuatu yang salah sebagai benar, lama kelamaan mereka akan kehilangan sensitivitas terhadap kebenaran, dan oleh karena itu mereka bisa merasakan bahwa mereka hidup di dalam kebenaran. Paulus mengatakan bahwa ada orang yang membunuh orang lain dan dia pikir dia sedang melakukan kebenaran. Saya kira itu bukan catatan Paulus saja. Sampai hari ini ada orang yang membunuh orang lain dan dia pikir dia sedang melayani tuhannya. Ada ajaran yang salah kemudian diyakini dan dihidupi. Ketika kita menghidupi ajaran yang salah, makin lama kita makin tidak peka terhadap kebenaran dan menurut saya ini adalah ancaman yang terbesar.
Tetapi perhatikan yang Alkitab katakan, yaitu dengan kasih rebutlah mereka dari api. Dan persoalannya, istilah “merampas mereka dari api” adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan dengan segera. Yudas mengatakan lakukan dengan segera. Pertama, Yudas mengatakan bahwa ini adalah masa anugerah atau masa di mana kita masih bisa melihat orang-orang yang sekeras apapun dapat menikmati keselamatan. Tidak ada hati manusia yang terlalu keras yang tidak sanggup untuk diubahkan. Oleh karena itu Yudas mengatakan bahwa kamu harus berburu dengan waktu untuk mengeluarkan orang itu. Mengapa? Ada sedikit bahaya jika kita menunda. Jika ada satu orang yang terus menerus hidup dalam dosa, maka dosa itu akan menjadi karakter. Lalu kita yang mengetahui hal itu bukannya mendatanginya tetapi kita menunda dan menunggu waktu yang menurut kita baik. Tetapi waktu yang baik menurut kita itu membuat dia tidak menjadi lebih baik. Dia akan menjadi lebih buruk karena dosa yang ia hidupi juga menjadi semakin lama sehingga lebih sulit untuk diubahkan dari sebelumnya. Seolah Yudas ingin mengatakan jika kamu digerakkan oleh kasih Tuhan, engkau tidak akan menunda-nunda, engkau akan berburu dengan waktu untuk menarik dia seperti puntung atau kayu yang ditarik keluar dari dalam api. Kita tahu bahwa masa antara kedatangan pertama dan kedua adalah masa anugerah, namun masa anugerah itu juga adalah saat yang sempit, bukan? Kita tidak pernah tahu kapan Yesus datang.
Di dalam konteks teologia reformed, eskatologi berbicara mengenai dua hal. Pertama, eskatologi atau akhir zaman secara umum, yaitu Kristus datang yang kedua kali dan seluruh dunia ini berakhir. Kedua, eskatologi secara individual, yaitu Kristus menjemput kita berhadapan dengan Dia, muka dengan muka melalui kematian. Kematian adalah akhir dari hidup kita, meskipun itu bukanlah akhir dari dunia. Oleh sebab itu kita tidak pernah tahu kapan Allah akan datang dan menjemput kita. Jika kita mengasihi dia dan mendapati dia hidup di dalam dosa, kita tidak akan berdiam diri. Kita akan menegur dia dan menyampaikan kebenaran kepadanya agar dia selamat.
Dikatakan bahwa kasih menutupi banyak dosa. Hal ini bukan berarti kita mengasihi orang lalu kita tutupi dosanya agar tidak terlihat. Bukan demikian. Jika kasih menutupi dosa, berarti kita sembunyikan dosanya. Lalu kapan orang itu akan selamat? Kasih menutupi banyak dosa berarti ketika kita menyampaikan kebenaran, ada begitu banyak kesulitan yang akan kita hadapi. Artinya dia memiliki peluang untuk melakukan dosa yang lain dan itu bukan terhadap orang lain, tetapi terhadap kita. Tetapi Alkitab berkata bahwa kasih menutupi banyak dosa. Kita sanggup untuk melampaui batasan itu untuk menyatakan kebenaran, apalagi hanya batasan-batasan sebuah organisasi. Sehingga salah satu tanda kedewasaan secara spiritual adalah keberanian untuk menyatakan kebenaran dan kepekaan membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kelompok orang yang ketiga, kalimat pertama agak janggal, yaitu “tunjukkanlah belas kasihan yang disertai ketakutan…” Kasih sering kali melampaui ketakutan. Tetapi masalahnya Yudas mengatakan “kasihi” tetapi juga “takut”. Jadi apa maksudnya? Hal ini berbicara mengenai jenis orang yang ketiga, yaitu orang yang pikiran dan perbuatannya salah. Lalu ketika disampaikan kebenaran, dia memutuskan untuk tidak mau ditegur dan tidak mau bertobat dan tidak mau kembali meskipun kita menyampaikan kebenaran. Yudas mengatakan respon kita seharusnya bukanlah membenci dia. Kita tidak boleh membenci orang yang memutuskan untuk menolak penginjilan kita dan ingin terus menerus hidup di dalam dosanya. Kita memiliki kewajiban untuk tetap mengasihi dia. Sehingga dengan demikian seolah Yudas mempertahankan prinsip bahwa kita tidak boleh membenci dan memusuhi orang yang demikian. Biarkan dia yang memusuhi kita, tetapi kita tidak boleh memusuhi dia. Lalu apa yang harus kita lakukan? Yudas mengatakan kasihilah Dia. Pertama, dengan hati yang tulus berbicara di depan mereka. Artinya jika memang salah, kita sampaikan di depan. Iniah yang saya maksud ada dialog dan ada perdebatan. Kesalahan itu tidak dibicarakan dibelakang. Ketika Yesus memberikan nasihat tentang musuh, nasihat itu lengkap, yaitu kita dengan tulus berbicara di depan. Jika kita mengasihi dia, kita akan datang ke hadapannya dan menyampaikannya, bukan mendiamkannya lalu kemudian membicarakannya dengan orang lain. Di depannya kita menyatakan apa yang benar dan apa yang salah dan di belakangnya, kita berdoa untuk dia. Berdoa untuk orang yang kita kasihi saja begitu sulit, apalagi berdoa untuk orang yang menjengkelkan.
Perintah untuk mengasihi adalah perintah untuk menyampaikan kebenaran, menolong pada saat dia butuh, dan mendoakannya. Tetapi persoalannya adalah kalimat selanjutnya dikatakan “dengan ketakutan”. Istilah “dengan ketakutan” adalah anomali, tetapi seolah-olah Yudas ingin mengatakan bahwa kasihilah mereka disertai rasa takut. Bukan takut terhadap dia, tetapi rasa takut terhadap Allah. Ayat 20-21 berkata bahwa kamu mengasihi dia, tetapi kasih terhadap dia harus disertai oleh rasa takut terhadap Allah. Rasa takut terhadap Allah berarti kita takut mendukakan dan melukai hati Allah. Berarti perintah ini adalah perintah untuk mengasihi orang berdosa, tetapi kasih kita terhadap orang berdosa tidak boleh lebih besar dari pada kasih kita kepada Tuhan. Ini adalah sebuah pengantar yang Yudas berikan untuk mempersiapkan gereja agar berani melakukan disiplin gereja. Ketika ada orang yang membuat masalah kemudian gereja memberikan disiplin, biasanya respon orang-orang adalah mengatakan bahwa gereja tidak memiliki kasih. Hari ini Yudas memberi petunjuk bahwa mengasihi orang adalah satu hal, tetapi mengasihi Allah lebih penting dari hal itu. Maka demi kasih kepada Allah dan kasih kepada orang itu, dia harus didisiplinkan. Tidak selamanya disiplin adalah ekspresi kebencian. Anak harus diajar untuk menghormati orang tuanya dan terkadang kita harus mendisiplinkan anak kita. Disiplin tidak sama dengan benci. Ketika gereja mendisiplinkan jemaatnya, hal itu tidak sama dengan kebencian. Gereja tidak boleh tidak memiliki disiplin. Mengapa kita mendisiplinkan?
Istilah “pakaian” bukanlah pakaian secara hurufiah, tetapi istilah “pakaian” untuk mengekspresikan tubuh. Dia telah memakai tubuhnya untuk melakukan dosa. Dan ketika hal itu terlihat dengan jelas, maka gereja harus melakukan disiplin. Gereja bukanlah tempat untuk membungkus dosa, tetapi gereja adalah tempat di mana orang berdosa datang dan kemudian dilayani dengan kebenaran dan mengalami restorasi. Oleh sebab itu kita harus melayani dengan kasih. Pertama-tama Alkitab berkata bahwa kita harus mengasihi orang itu, tetapi kasih terhadap orang itu tidak boleh lebih besar dari pada kasih kepada Allah. Kedua, kita mengasihi orang itu tetapi kita harus membenci dosa yang dia buat. Kebencian terhadap dosa adalah sesuatu yang harus terjadi (Bd. Yoh. 11:33 & 35). Yesus marah dan benci terhadap dosa yang mengakibatkan kematian dan Yesus menangis karena Yesus begitu mengasihi Lazarus. Di dalam satu momen yang sama dua emosi ini dapat muncul. Allah kita adalah kasih, tetapi Allah kita juga bisa marah. Lalu mengapa gambar dan rupa Allah tidak dapat marah? Selama kita marah oleh karena ada dosa, hal itu tidaklah masalah. Tetapi sebaliknya, jika ada dosa dan kita mendiamkannya, ada masalah di sana.
Allah kita adalah Allah yang kasih, Allah kita adalah Allah yang adil. Sehingga jika Dia mengatakan kasihi orang itu dan ubah cara pikirnya, jikalau dia memang sudah hidup di dalam dosa, berusahalah agar dia kembali. Tetapi jika dia tidak ingin kembali, ada satu hal yang diperintahkan, yaitu ambil jarak. Ambil jarak karena kita bukanlah orang-orang yang imun terhadap dosa. Terkadang kita ingin terus menjadi pahlawan sehingga kita terus masuk ke sana. Istilah “bencilah pakaian mereka” adalah sebuah peringatan bahwa ketika kita berjuang untuk menolong seseorang, ada satu bahaya yang terjadi, yaitu iblis dapat menggoda kita untuk jatuh di dalam dosa yang sama. Saya tidak tahu apakah kita pernah memiliki atau mendengar pengalaman-pengalaman yang sedemikian. Tetapi ada banyak catatan di dalam gereja yang menunjukkan kepada kita bahwa banyak Hamba Tuhan yang diizinkan oleh Tuhan untuk melayani orang yang berzinah. Tetapi kemudian juga pada saat yang sama iblis menggodanya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dia juga jatuh ke dalam hal yang sama. Maka kita bukan sekedar membenci dosa itu, tetapi harus ada keberanian untuk mengambil jarak.
1 Kor. 5:5 mengatakan bahwa jika ada dosa di dalam jemaat, serahkan mereka di dalam nama Yesus kepada iblis. Inilah yang hari ini disebut sebagai eks-komunikasi. Kalau ditegur empat mata tidak bisa, maka panggil orang-orang yang lain yang memiliki otoritas untuk menegur. Jika tidak bisa juga, maka gereja harus ada pada satu titik di mana mereka dengan berani menegaskan bahwa dia bukanlah bagian dari orang percaya. Satu tanda orang percaya dibandingkan dengan orang yang tidak percaya adalah ketika mereka berdosa. Orang percaya bergumul dengan apa yang dia buat sehingga gelisah kemudian dia bertobat. Sedangkan orang yang tidak percaya, mereka akan menikmati dosa sehingga mereka sulit untuk ditarik keluar dari dosa itu. Dengan ini jelas mana orang percaya dan bukan orang percaya. Sehingga dengan berani Paulus mengatakan bahwa serahkan dia kepada iblis karena memang dia milik iblis. Tetapi ketika kita menyerahkannya kepada iblis, tujuannya bukanlah kebencian tetapi restorasi. Sehingga Paulus berkata biarlah tubuhnya binasa tetapi jiwanya selamat. Paulus masih berharap agar jikalau orang itu diserahkan kepada iblis, mungkin iblis akan menghancurkan dia lalu ketika dia sadar bahwa iblis bukan bapa yang baik maka dia akan datang kepada Tuhan dan jiwanya pun selamat.