Yoh. 11:1-7, 11-16, 25-27
Pdt. J. Putratama Kamuri
Kematian adalah fakta yang pasti terjadi di dalam kehidupan kita, meskipun kita menginginkan kehidupan. Kita ingin hidup, tetapi perjalanan kita menuju kepada satu arah yang tidak dapat kita sangkali, yaitu kematian. Semua manusia berjalan menuju kematian. Kematian adalah sesuatu yang pahit. Kematian akan datang dan kemudian memisahkan tubuh dan jiwa.
Kematian secara spiritual berarti terpisah dari Allah. Manusia kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Kita kehilangan hal yang paling berharga dan paling penting yang boleh kita miliki. Kematian kekal juga berbicara mengenai kehilangan anugerah Allah untuk selama- lamanya sehingga kematian memanglah momok yang menakutkan bagi banyak orang. Ini adalah fakta yang pahit dan persoalannya adalah semua manusia pasti berhadapan dengan kematian. Inilah yang membuat kita sulit sekali memahami Flp. 1:21 karena kita berhadapan dengan kematian jasmani dan rohani, bahkan kematian kekal yang merampas hal-hal yang paling berharga di dalam kehidupan kita. Jika hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan, maka bagaimana memahami mati sebagai keuntungan? Sulit bagi kita untuk memahami hal ini terutama jika kita memahami hal ini dari sudut pandang ekonomi, bukan? Kita sulit memahami bahwa kematian adalah keuntungan karena pada faktanya kita sedang berhadapan dengan momen di mana kita kehilangan hal-hal yang begitu penting di dalam seluruh kehidupan kita. Sehingga ketika berhadapan dengan kematian, yang kita sering jumpai adalah keheningan. Baik Kristen maupun non-Kristen, mereka akan hening dan tak berdaya ketika kita berhadapan dengan fakta kematian. Tetapi hari ini kita melihat Yesus Kristus berbicara dan kemudian Dia ingin memecah keheningan itu dan Dia mengatakan: “Akulah kebangkitan dan hidup.” Kalimat ini adalah kalimat yang memecah keheningan di tengah-tengah konteks kematian dan kalimat itu dikonfirmasi dengan tindakan-Nya yang jelas, yaitu membangkitkan Lazarus. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa Yesus seolah memberi harapan di tengah-tengah situasi yang tidak berpengharapan. Dia mau menyatakan kepada kita bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Dia ingin menunjukkan kepada kita bahwa Allah sanggup untuk bekerja, menyatakan sesuatu yang baik, bahkan melalui kematian dan Kristus sanggup untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Kristus sanggup untuk menyatakan kebesaran-Nya, supremasi-Nya atas kematian. Yesus memberi pengharapan kepada kita yang berada di dalam kondisi hening dan tidak berpengharapan secara jasmani maupun secara rohani. “Akulah kebangkitan dan hidup” adalah kalimat yang Ia berikan kepada Maria dan Marta untuk menenangkan jiwa mereka yang gelisah dan cemas ketika berhadapan dengan kematian secara jasmani. Tetapi kalimat ini juga adalah kalimat yang diberikan oleh Kristus untuk menenangkan kita yang sedang mengalami kecemasan, yang sedang menghadapi pergumulan dan kegelisahan oleh karena pergumulan- pergumulan yang bersifat spiritual.
Penghiburan yang sejati ada di dalam kalimat: “Akulah kebangkitan dan hidup.” Apa yang dimaksud oleh Yesus ketika mengatakan kalimat ini?
Pertama, ketika Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup”, Dia menegaskan kepada kita bahwa Dia adalah Allah, pribadi yang ilahi, Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia. Jika kita ada dan hidup hari ini, artinya kita ada di dalam kedaulatan Allah yang hidup dan kematian tidak pernah terjadi di luar kedaulatan Allah yang hidup, yang memegang kendali atas segala sesuatu, termasuk atas hidup kita.
Klaim “Akulah kebangkitan dan hidup” menegaskan bahwa Kristus adalah sumber kehidupan itu sendiri. Di mana ada Yesus, di situ ada kehidupan, ada kebangkitan meskipun sudah terjadi kematian. Dia ingin mengatakan bahwa jika kita mau hidup, maka kita tidak boleh terpisah dari Dia. Kita harus bersekutu dengan Dia agar kita memperoleh kehidupan. Jika kita terpisah dari Dia, maka kita akan mati. Yesus ingin mengatakan bahwa kita tidak boleh terpisah dari Dia. Jika kita terpisah dari Allah, terpisah dari Kristus pun kita mengalami kematian. Maka logikanya hanya satu: terpisah dari Allah maka kita akan mengalami kematian dan jika bersekutu dengan Allah maka kita akan mengalami kehidupan. Maka kesimpulannya Kristus adalah Allah. Klaim ini kemudian diteguhkan dengan fakta atau mujizat yang Dia kerjakan, yaitu membangkitkan Lazarus dari antara orang mati. Tetapi Yesus menyatakan dengan cara yang sangat unik. Dia memakai istilah “Akulah” (Yun. Ego Eimi) dan menambahkan kata “kebangkitan dan hidup.” Istilah “Akulah” bersumber dari kata “AKU ADALAH AKU” di dalam Kel. 3:14 dan ini adalah keunikan Alkitab. Ketika Musa bertanya siapa nama Allah agar ia dapat memberi tahu kepada Israel, Allah mengatakan: “AKU ADALAH AKU.” Ini adalah keunikan Allah di dalam Kitab Suci. Karena jika kita membaca kitab yang lain, kita akan menemukan allah-allah yang ada di dalam kitab yang lain diperkenalkan sebagai “dia” (orang ketiga tunggal), yang berarti ada orang lain yang datang untuk memperkenalkan tuhannya. Tetapi di dalam Alkitab kita akan menemukan Allah yang memperkenalkan diri-Nya “AKU ADALAH AKU.” Hal ini berbicara mengenai Allah yang hidup, Allah yang sanggup untuk menyatakan diri, Allah yang sanggup untuk berbicara. Allah yang sanggup untuk memperkenalkan diri adalah Allah yang hidup dan kemudian Yesus mempergunakan pola yang sama. Seolah Dia mengadopsi pola yang sama lalu Dia mengatakan: “Akulah kebangkitan dan hidup.”
Istilah “Akulah” berbicara mengenai Allah yang absolut secara filosofis. Absolut berarti tidak mungkin tidak ada. Dia selalu ada. Jika kita memakai bahasa orang Kristen, kita sedang berhadapan dengan satu pribadi yang kekal, yang tidak pernah tidak ada. Oleh sebab itu Dia pernah berkata bahwa “sebelum Abraham ada, Aku ada.” Kita sedang berhadapan dengan Dia yang kekal, yang absolut. Tetapi jika Dia kekal, Dia tidak pernah tidak ada, berarti kita sedang berbicara mengenai pribadi Kristus yang eksistensinya tidak bergantung kepada sesuatu yang ada di luar diri-Nya. Yesus bereksistensi dan eksistensinya tidak bergantung kepada Maria, karena sebelum Maria ada, Yesus Krisus sudah ada. Ini adalah sebuah eksistensi yang absolut, yang tidak bergantung kepada segala sesuatu yang ada di luar diri-Nya, bahkan Dia tidak membutuhkan kita agar Dia dapat bereksistensi. Jika Dia berkata bahwa Dia membangkitkan Lazarus, hal itu tidak berarti bahwa Dia harus melakukan mujizat untuk menjadi mulia. Dia adalah pribadi yang bereksistensi dan mulia tanpa bergantung kepada segala sesuatu. Sebaliknya, jika Dia adalah Allah yang absolut yang tidak pernah tidak ada, maka kitalah yang membutuhkan Dia. Eksistensi kita bergantung kepada Dia. Yesus sedang berkata bahwa kita tidak bisa ada jika Dia tidak ada dan Dia tidak mengizinkan kita ada. Hal ini berlaku untuk hal-hal yang bersifat lahiriah maupun bersifat spiritual di dalam kehidupan kita. Eksistensi kita sebagai orang Kristen sejati hanya bisa ada jika Allah yang ada ini menetapkan agar kita berdiri sebagai orang Kristen. Jika tidak, maka kita akan terus menjadi orang yang terhilang. Kita tidak akan pernah bisa ada di tempat di mana kita berada hari ini. Maka Yesus melakukan suatu proses yang ‘agak aneh’ untuk menegaskan bahwa Dia adalah pribadi yang berdaulat atas hidup dan mati manusia.
Yoh. 11:5 menegaskan bahwa Yesus mengasihi Lazarus, Maria, dan Marta, tetapi anehnya Dia membiarkan Lazarus berhadapan dengan kematian. Bukankah ini aneh? Jika kita mengasihi seseorang, seharusnya kita berjuang agar orang yang kita kasihi tetap hidup. Tetapi dalam Yoh. 11:14-15 kita akan menemukan bahwa ada sesuatu yang aneh. Yesus sengaja berlambat-lambat sehingga Lazarus berhadapan dengan maut dan mati sehingga Maria dan Marta harus berhadapan dengan dukacita. Di dalam Yoh. 11:6 dikatakan bahwa Yesus sengaja menahan langkah kaki-Nya selama dua hari untuk tidak langsung berjalan ke Bethania. Jika kita berjumpa dengan orang yang sanggup untuk menolong tetapi dia menunda-nunda, kita akan sangat kecewa. Tetapi Yesus menunda dua hari sehingga ketika Dia datang, tubuh Lazarus mulai membusuk di dalam kubur. Anehnya setelah Dia menunda, bukankah Yoh. 11:14- 15 menceritakan sesuatu yang aneh lagi? Memang hal ini berkaitan dengan murid-murid-Nya, tetapi pernahkah ketika ada orang yang meninggal, dengan tanpa beban kita mengatakan “aku bersyukur”? Yesus bukan hanya menunda, tetapi Ia juga mensyukuri situasi yang sedang dihadapi oleh dua bersaudara yang sedang berduka itu. Tetapi untuk apa? Yesus berkata bahwa penyakit ini tidak terjadi untuk membawa kematian, tetapi penyakit ini datang atau terjadi untuk menyatakan kemuliaan Kristus melalui kebangkitan Lazarus. Yesus melawan tradisi ketika Dia membangkitkan Lazarus. Orang Yahudi pecaya bahwa jika orang yang mati sebelum 3 hari masih ada kemungkinan untuk dibangkitkan. Tetapi pada hari yang keempat, pada saat tubuh sudah mulai membusuk, maka jiwa akan melihat tidak ada kemungkinan sehingga jiwanya akan pergi. Yesus menunda sampai hari ke empat. Tubuh Lazarus sudah membusuk, maka orang-orang yang ada pada masa itu tahu bahwa kebangkitan tidak akan mungkin terjadi. Yesus menunggu pada hari di mana orang Yahudi percaya kebangkitan tidak mungkin terjadi, barulah Dia datang dan Dia membangkitkan Lazarus. Yesus memberi petunjuk kepada kita bahwa membangkitkan orang mati itu semudah membangunkan orang yang sedang tidur. Kita sedang berhadapan dengan satu pribadi yang memiliki otoritas atas kematian. Kita tidak melihat Yesus bergumul seperti nabi di dalam PL yang bergumul ketika membangkitkan orang mati. Mereka bergumul hebat karena mereka adalah utusan Allah, namun kuasa atas kematian tidak ada di tangan mereka. Berbeda dengan Kristus. Kita mendapat tiga kali Dia membangkitkan orang mati:
Pertama, dia berhadapan dengan anak Yairus yang baru saja mati (Mrk. 5:21-43). Dia memegang tangan anak itu dan Dia berkata: talita kum yang artinya “Hai anak, bangunlah!.” Hal ini sama seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya dalam bahasa aram. Dia memerintahkan anak yang mati untuk bangun dan anak itu bangun.
Kedua, jenazah yang sedang dibawa menuju ke kubur (Luk. 7:11-18). Yesus menyentuh mayat yang najis itu dan kemudian membangkitkannya.
Ketiga, yaitu hari ini kita melihat Yesus yang memerintahkan orang yang telah mati untuk bangkit. Ia membangunkan orang mati seperti membangunkan orang tidur. Kita harus melihat kuasa yang ada di balik firman yang keluar dari mulut-Nya. Kita berhadapan dengan satu pribadi yang tidak bisa kita sangkali. Dia adalah sumber kehidupan karena Dia yang empunya hidup, maka Dia memiliki kuasa untuk berkata-kata kepada orang mati untuk bangkit dan keluar dari dalam kuburnya. Dengan semua ini Yesus memberi petunjuk kepada kita bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia. Oleh sebab itu jika hari ini kita bergumul dengan kedukaan, kita berhadapan dengan orang-orang yang mungkin sedang berhadapan dengan kematian, atau mungkin kita berhadapan dengan fakta kematian, hal ini adalah penghiburan bagi kita. Karena jika kematian itu terjadi hari ini, kita memiliki satu perspektif yang berbeda. Kematian terjadi tidak secara kebetulan, tetapi kematian terjadi karena ada rencana Allah. Kematian terjadi karena Allah yang berdaulat atas hidup dan mati manusia, mengizinkan kematian itu terjadi. Kematian tidak mungkin terjadi di luar rencana Allah, termasuk di dalamnya kematian orang percaya hari ini. Covid-19 dapat menghantam banyak orang percaya dan kita tahu ada jemaat-jemaat yang kita kasihi, orang yang percaya dan memiliki iman, orang yang melayani Tuhan, dan mereka telah mati. Kematian itu adalah dukacita karena kita terpisah dari mereka, namun di saat yang sama kematian ini tidak terjadi di luar rencana Allah yang baik. Bahkan di dalam kematian dengan cara sedemikian, dia tidak pernah sendiri.
Kita juga dapat melihat melalui perspektif bahwa kematian yang sedemikian tidak terjadi di luar rencana Allah yang hidup, tidak terjadi di luar rencana Allah yang berdaulat atas hidup dan mati manusia. Dan jika kita berhadapan dengan Allah yang sedemikian maka saya kira pelajaran yang kedua adalah belajar untuk rendah hati dan kemudian mengandalkan Tuhan. Jika kita bergumul, Tuhan dapat memberikan kekuatan kepada diri kita untuk mengatasi masalah-masalah ini. Tetapi kita perlu belajar bahwa apapun itu, diri kita ini adalah diri yang juga rapuh dan terkadang Tuhan memberikan kapasitas tertentu di dalam kekurangan kita. Tetapi ada waktu di mana kita tidak dapat berbuat apa-apa dengan segala kemampuan dan kapasitas yang kita miliki. Kita juga tidak dapat bersandar kepada saudara-saudara kita yang sangat mengasihi dan mencintai kita karena mereka juga adalah orang-orang yang rapuh. Ada kalanya kita datang pada waktu yang tidak tepat sehingga bukannya penghiburan yang kita dapatkan, tetapi kita semakin terjerumus ke dalam kesulitan. Kita tidak dapat bersandar kepada mereka. Kita juga tidak dapat bersandar kepada harta kekayaan kita karena harta kekayaan kita juga bukan hanya rapuh tetapi jelas-jelas bersifat sementara. Kekayaan tidak lebih mulia dari diri kita sehingga tidak dapat digunakan untuk mempertahankan kehidupan kita. Kita belajar untuk rendah hati karena kita tahu siapa Tuhan kita dan kita bisa datang kepada Allah dan belajar untuk mengandalkan Dia. Kita belajar untuk tidak patah semangat, tidak kehilangan sukacita ketika kita ada di dalam situasi yang terburuk, bahkan di dalam lembah bayang-bayang maut sekalipun karena kita memiliki Allah yang mengendalikan segala sesuatu, Allah yang tidak akan membiarkan kita menghadapi sesuatu yang Dia tahu tidak mungkin Dia tidak bisa atasi. Dia bukan hanya Allah yang berdaulat yang mengizinkan segala sesuatu, namun Allah yang berdaulat ini adalah Allah yang baik, bukan? Jika Dia berdaulat untuk menizinkan segala sesuatu dan pada saat yang sama Dia adalah Allah yang baik, maka segala sesuatu yang terjadi di dalam kedaulatan Allah tidak dapat dilepaskan dari kebaikan Allah.
Dia adalah Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia. Dia tidak boleh tidak ada di dalam kehidupan kita. Jika Dia tidak ada maka kita akan mati. Jika Dia ada, maka kita akan menikmati hidup yang sesungguhnya.
Kedua, ketika Dia berkata: “Akulah kebangkitan dan hidup”, Yesus ingin berkata kepada kita bahwa Dia adalah satu-satunya pengharapan dan satu-satunya jawaban bagi pergumulan manusia dengan cara kematian. Jika kita mencari penghiburan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bersifat misterius, yang berkaitan dengan persoalan kematian, maka Kristus adalah jawaban yang tepat bagi kita. Sering kali kita cemas dan kuatir ketika berhadapan dengan kematian. Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian. Kita semua menginginkan kedamaian dan sukacita setelah kematian itu. Tetapi apakah kita bisa mendapatkannya?
Apa yang terjadi setelah kematian? Apakah ada kedamaian dan sukacita setelah kita berhadapan dengan kematian? Yesus memberi jawabannya bagi kita (Yoh. 11:25-26).
D. A. Carson berkata bahwa kalimat Yesus Kristus berbicara mengenai dua macam kehidupan: Pertama, ayat 25 seharusnya dikaitkan dengan kebangkitan. Jika manusia mati, maka ia akan hidup di dalam Kristus. Di akhir zaman nanti Yesus akan datang untuk membangkitkan orang percaya. Hal ini berbicara mengenai kebangkitan secara jasmani atau tubuh. Klaim ini dibuktikan dengan Dia membangkitkan Lazarus hari itu. Sama seperti Dia membangkitkan Lazarus, memanggil Lazarus keluar dari kuburnya, di akhir zaman nanti Kristus akan datang dan membangkitkan kita. Dia membangkitkan orang mati semudah seorang ibu membangunkan anaknya yang sedang tidur. Yesus memberi petunjuk kepada kita bahwa di akhir zaman Dia pasti akan membangkitkan kita.
Apa yang terjadi setelah kematian? Yesus berkata bahwa di akhir zaman nanti Dia akan membangkitkan orang mati. Bukankah nanti orang yang percaya dan orang yang tidak percaya sama-sama dibangkitkan? Yang kita ingin tahu adalah apa yang akan terjadi segera setelah kematian. Bukankah ini misterinya? Tetapi Yesus menjawab di dalam ayat Yoh. 11:25-26. Jika sebelumnya Dia mengatakan bahwa Dia adalah kebangkitan, yang berarti kebangkitan secara lahiriah, sekarang Yoh. 11:25-26 berbicara mengenai hal yang kedua, yaitu “Dia adalah hidup.” Penjelasan selanjutnya ada di dalam ayat 26, yaitu setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada Dia tidak akan mati selama-lamanya. Hal ini berbicara mengenai kehidupan kekal. Namun yang dibicarakan oleh Yesus tentu saja bukan lagi kehidupan secara lahiriah karena Abraham, bapa dari orang-orang beriman sekalipun masih mengalami kematian secara lahiriah. Lazarus yang dibangkitkan oleh Yesus Kristus pun tubuh jasmaninya akan kembali mati. Raksasa-raksasa iman di dalam PL dan PB mereka masih berhadapan dengan kematian. Yang dimaksudkan oleh Yesus dengan “hidup yang kekal” di sini tentu saja bukan lagi berbicara mengenai kehidupan secara lahiriah, tetapi Dia mengatakan bahwa kita tidak akan mati selama- lamanya. Apa maksudnya? Sekarang Yesus berbicara mengenai kehidupan secara spiritual.
Kita lahir di dalam dunia ini sebagai orang-orang yang mati secara spiritual karena kita terpisah dari Allah. Lalu Yesus mengatakan bahwa jika kita percaya kepada-Nya, maka kita akan hidup sampai selama- lamanya. Titik pertama dari kehidupan kita secara spiritual adalah ketika kita percaya kepada Dia, Dia ada di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. Di manapun Kristus sang sumber hidup itu ada, maka di sana akan ada kehidupan. Mulai hari itu kita akan memiliki hidup di dalam kehidupan kita. Tetapi setelah kita percaya kemudian kita berhadapan dengan kematian, kematian itu bukanlah akhir dari segalanya. Kematian tidak dapat mengakhiri persekutuan intim antara Kristus dengan orang percaya, antara Allah dengan orang percaya. Istilah “firdaus” di dalam 2 Kor. 12:2&4 berbicara mengenai tempat di mana Allah ada.
Kematian dapat memisahkan kita dari orang-orang yang kita kasihi, tetapi kematian tidak memisahkan kita dari Kristus. Maka yang akan terjadi di antara titik di mana kita mengalami kematian dan hari di mana Allah datang dan membangkitkan kita, yaitu ada sukacita di dalam persekutuan dengan Allah. Sukacita yang dinikmati oleh Adam dan Hawa di taman Eden seolah dibangkitkan oleh Allah untuk kita nikmati di dalam kerajaan sorga, di dalam firdaus yang dijanjikan oleh Allah. Yang ingin Yesus katakan yaitu ketika kita berhadapan dengan kematian sampai hari di mana kita menikmati kebangkitan kembali, yang ada adalah sukacita yang penuh dan utuh oleh karena kita bersekutu dengan Dia dan ini adalah sebuah persekutuan yang begitu intim dan kuat. Allah menetapkan ikatan yang kuat di dalam dunia ini yaitu ikatan di dalam pernikahan. Tetapi ketika maut datang, ia sanggup untuk memutuskan relasi itu. Maut dapat memisahkan relasi kita dengan orang yang kita kasihi dan yang mengasihi kita. Tetapi bagaimana dengan Allah? Dengan Ia mengatakan bahwa kita akan hidup selamanya, Yesus seolah mengatakan bahwa maut tidak sanggup untuk memisahkan gereja sebagai mempelai perempuan dari Kristus, sang mempelai laki- laki. Saya percaya bahwa ketika kita berhadapan dengan kematian dan hari itu kita menghembuskan nafas yang terakhir, pribadi pertama yang akan kita jumpai adalah Kristus, Tuhan kita.
Apa yang akan terjadi di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya yang telah percaya kepada Kristus? Kristus berkata bahwa hidup dan bersekutu dengan Kristus selamanya. Di dalam alam maut Kristus memegang tangan kita, membawa kita hadir di tempat di mana Allah ada dan menikmati the fullness of joy. Mesipun itu misteri bagi kita, tetapi urusan kematian sebenarnya menentukan bagaimana kita hidup.
Kristus mengatakan bahwa jika kita percaya kepada Dia, maka Dia hadir memberikan sukacita yang penuh di dalam kehidupan kita setelah kita mati. Tetapi hal ini memberikan petunjuk bahwa Allah memelihara dan menjaga kita dengan begitu baik dan sempurna ketika kita berhadapan dengan kematian. Allah mengurus dan memelihara jiwa orang percaya yang mati secara fisik. Allah memberikan sukacita kepada jiwa orang percaya yang berhadapan dengan kematian. Allah ini bukan hanya berdaulat atas hidup dan mati, tetapi Dia memelihara jiwa orang percaya yang berhadapan dengan kematian. Tetapi jika Dia memelihara jiwa orang percaya yang mati, Dia memberikan sukacita dan penghiburan kepada orang percaya yang berhadapan dengan kematian. Oleh sebab itu kita dapat memiliki keyakinan bahwa ketika kita hidup Dia akan memelihara kita. Dia sanggup untuk memberikan kepenuhan sukacita di dalam kehidupan kita. Jika pada saat kita mati Dia memberikannya, maka mengapa pada saat hidup tidak juga Dia berikan? Dia sanggup untuk berdiri di alam maut untuk memberikan terang dan sukacita itu. Maka saya percaya di dalam konteks hidup yang paling gelap ketika kita masih hidup, ketika tubuh dan jiwa ini masih bersatu, Dia sanggup untuk memberikan penghiburan itu kepada kita. Maka pertanyaannya adalah, pergumulan apa yang merampas sukacita kita?
Jika kita melihat kepada Hamba Tuhan dan melihat kepada orang-orang yang kita kasihi, orang-orang terdekat kita, memang mereka tidak dapat menawarkan apa-apa karena akan ada konteks di mana orang terkuat di dalam dunia ini menjadi rapuh dan tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika kita mengarahkan mata kepada Kristus, sang kebangkitan dan hidup, pada saat itulah kita menikmati sukacita yang penuh. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak akan mati dan kehilangan kekuatiran di dalam proses berhadapan dengan kematian. Jika suatu saat kita mati, yang ingin saya katakan adalah yakinilah bahwa setelah proses itu terjadi, yang Allah tawarkan kepada kita adalah kepenuhan sukacita di dalam persekutuan dengan Dia.
Ketiga, pada saat Yesus bercakap-cakap dengan Marta dan mengatakan akan terjadi kebangkitan, Marta percaya bahwa Lazarus akan bangkit di akhir zaman. Yesus berkata bahwa Ia adalah kebangkitan dan hidup. Yesus mengklaim entah kebangkitan itu terjadi di akhir zaman atau nanti dia akan melihat dengan matanya sendiri Yesus membangkitkan Lazarus, semua itu sumbernya adalah Yesus Kristus. Marta juga berkata bahwa ia percaya Yesus adalah Mesias Anak Allah yang akan datang untuk membangkitkan orang mati dan menghakimi mereka. Sebuah pemahaman yang begitu dalam meskipun kita juga dapat mengatakan bahwa mungkin ketika Marta menyebutkan kalimat itu, dia belum paham sepenuhnya siapa Yesus. Dia hanya mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah dan Yesus adalah Dia yang akan datang. Pemahaman ini dalam tetapi bukan sempurna. Bisa saja dia belum sepenuhnya memahami apa yang dia katakan. Tetapi kalimat-kalimat ini memberi petunjuk kepada kita bahwa Marta melihat Yesus sebagai pribadi yang sangat mulia. Kalimat-kalimat ini memberi petunjuk kepada kita bahwa Marta melihat dan mengenali Kristus sebagai pribadi yang mulia. Ketika Kristus juga mengatakan bahwa penyakit ini tidak membawa kematian, tetapi menyatakan kemuliaan Allah, yaitu kemuliaan Allah melalui dan di dalam Dia, maka Yesus sedang menegaskan mengenai kemuliaan-Nya yang akan nampak. Yohanes juga menulis di dalam Injil mengenai Yesus yang mulia. Sehingga saya kira mereka ada di dalam tone yang sama. Yesus adalah pribadi yang mulia, tetapi mulia dalam pengertian seperti apa? Ketika Yesus berkata bahwa Ia adalah kebangkitan dan hidup, Dia berkata bahwa Dia adalah pribadi yang mulia. Kemuliaan-Nya akan nyata melalui kebangkitan Lazarus. Sekarang ketika Dia bercakap-cakap dengan Marta, Marta mengatakan bahwa Yesus adalah pribadi yang mulia karena Dialah Mesias Anak Allah yang akan datang. Kemuliaan seperti apa yang sedang dibicarakan? Karena Yohanes memang ingin menekankan tema ini.
Di dalam konteks Yohanes, kemuliaan Kristus tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kematian-Nya. Dia adalah pribadi yang mulia, namun di dalam konsep Injil Yohanes, kemuliaan Kristus tidak pernah bisa dilepaskan dari kematian. Yoh. 7:39 berkata bahwa Roh Kudus tidak datang sebelum Yesus dimuliakan. Kita tidak dapat melepaskan kemuliaan Kristus dari salib. Kita tidak bisa hanya mengaitkan kemuliaan Kristus dengan kebangkitan dari antara orang mati dan kemudian kenaikan ke sorga. Kita harus mengaitkannya dengan kematian. Maka ketika Marta mengatakan bahwa Yesus adalah pribadi yang mulia karena Dia adalah Mesias, kita harus meneruskan kalimat ini bahwa Yesus mulia karena Dia adalah Mesias yang menderita dan mati. Tetapi mengapa hal itu begitu penting bagi kemuliaan Yesus Kristus? Mengapa kemuliaan Kristus tidak dapat dilepaskan dari kematian-Nya dan kita hanya bisa melihat Dia mulia jika kita mengaitkannya dengan kematian-Nya?
Pertama, penderitaan dan kematian Kristus adalah mulia karena Dia menyatakan empati dan penderitaan Allah. Ia menunjukkan kepada kita Allah yang mengerti kerapuhan manusia. Di dalam konteks penderitaan dan kematian Yesus Kristus, seolah kita melihat satu pribadi yang menyebut diri-Nya pribadi yang ilahi namun pada saat yang sama Dia begitu rapuh sama seperti kita. Dia takut ketika ada di Getsemani. Tentu saja Dia takut, tetapi Dia bukan takut karena kematian. Ketakutan Yesus yang terbesar adalah putusnya relasi Dia dengan Bapa. Timothy Keller berkata bahwa tidak ada penderitaan yang lebih hebat dan lebih besar dari pada relasi yang sangat diinginkan. Sebelum Yesus berinkarnasi di dalam kekekalan, Dia berelasi begitu intim dengan Bapa. 33,5 tahun sebelum peristiwa Getsemani sampai dengan peristiwa Golgota, Bapa dan Anak ada di dalam relasi yang begitu intim dan Kristus menikmati kepenuhan sukacita di dalam relasi itu. Apa yang ditakutkan Yesus di taman Getsemani bukanlah penderitaan karena para martir begitu berani menghadapi kematian. Maka Yesus tidak mungkin takut berhadapan dengan penderitaan dan kematian. Ketakutan Yesus yang terbesar adalah kehilangan relasi yang paling Ia inginkan, yaitu relasi dengan Bapa. Apa yang Dia takutkan adalah terputusnya relasi yang intim dengan Bapa. Tetapi itu terjadi ketika Yesus berkata: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, pada saat itu kita akan melihat peristiwa Allah Anak menderita. Dia adalah Allah yang menderita karena terpisah dari Bapa.
Bagaimana dengan Bapa? Bapa hadir untuk memurkai Anak di atas bukit Golgota, tetapi saya percaya bahwa Bapa hadir dan ketika Dia menghantamkan seluruh murka-Nya kepada Anak, Bapa juga berduka. Dukacita yang mendalam digambarkan dengan langit yang gelap karena Bapa dan Anak menderita. Tetapi mengapa Allah yang adalah sumber sukacita yang menawarkan kepenuhan sukacita bagi kita, sekarang mengalami penderitaan? Kita hanya memiliki satu jawaban, yaitu Dia melewati semua itu agar kita menikmati kasih-Nya. Hanya melalui proses itulah kita dapat menikmati kepenuhan sukacita. Jika Allah kita tidak pernah mengalami penderitaan, tidak ada kepenuhan sukacita setelah kematian kita.
Kematian Kristus adalah sebuah kematian yang mulia, yang menyatakan empati Allah, keberpihakan Allah, dan kasih-Nya bagi kita sehingga Dia mau kehilangan sukacita agar kita yang percaya dapat menikmati kepenuhan sukacita itu.
Kedua, Kematian Kristus adalah kematian yang mulia karena menyatakan kepada kita mengenai kesucian Kristus. Menurut John Stott Keterpisahan dari Allah adalah inti dari neraka. Suasana neraka yang ingin digambarkan oleh Kristus bukan persoalan penderitaannya, tetapi neraka yang sesungguhnya adalah keterpisahan dari Allah. Dan ketika manusia berdosa ada di dalam neraka, mungkin ada penyesalan tetapi tidak ada pertobatan. Sebaliknya, ada penyesalan dan penyesalan itu semakin membuat kita membenci Allah. Mereka dapat menyesal karena dapat menolak Allah yang sejati, tetapi mereka tidak mungkin bertobat lagi di neraka. Kita melihat pribadi yang suci tergantung di atas kayu salib, berdiri di inti neraka. Di satu sisi kita melihat keterpisahan di atas kayu salib, tetapi hal ini tidak menghancurkan relasi Allah Tritunggal. Dia tetaplah pribadi yang suci yang tergantung di atas kayu salib.
Mengapa orang suci ini harus ada di neraka? Bukankah Dia ada di neraka untuk menggantikan kita? Kasih ini membawa Dia pergi ke neraka, menempuh perjalanan yang panjang untuk mendapatkan kita. Yesus adalah Allah yang suci tetapi Dia dipermalukan di atas kayu salib karena Dia mengasihi kita. Dia menggantikan kita untuk menanggung hukuman kita. Dia mengangkat kita dari lumpur dosa dan mengubah hidup kita. Dia mau mengubah hidup kita untuk menjadi alat di tangan- Nya, menjadi orang yang berguna dan tidak lagi melukai Allah.
Kita perlu meresponi cinta kasih Allah. Maka ketika Dia berkata bahwa Dia adalah kebangkitan dan hidup, Dia ingin menyatakan kemuliaan-Nya. Yohanes tidak pernah memisahkan kemuliaan Yesus dari salib. Dan jika kita melihat kemuliaan Yesus yang tersalib, maka kita harus memberi respon yang tepat terhadap Dia. Salah satu respon yang tepat terhadap kasih karunia Kristus adalah kita mengalami perubahan hidup dan cara pikir.
Terkadang cinta di dalam dunia ini dapat menghasilkan perubahan di dalam hidup kita. Mengapa cinta Kristus tidak mengubah kehidupan orang percaya? Seharusnya kekuatan cinta Kristus yang membuat Dia berdiri di inti neraka bagi kita itu cukup untuk mengubah kehidupan kita. Tetapi mengapa cinta kasih yang begitu kuat itu tidak mengubah kehidupan kita?
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)