Yoh. 11. 1-16
Pdt. J. Putratama Kamuri
Ketika kita berbicara mengenai mengalami kuasa kebangkitan Kristus, sang penghulu hidup itu, kita tidak sedang berbicara mengenai kita yang mengalami atau melihat mujizat karena mujizat itu terjadi di dalam kehidupan kita. Bukan ini y.ang dimaksudkan oleh Alkitab. Tetapi yang saya maksudkan “mengalami kuasa kebangkitan” adalah kita memahami makna di balik mujizat yang dikerjakan oleh Yesus sehingga kita mengenal siapa Dia yang mengerjakan mujizat itu lalu dampaknya adalah kita mengalami transformasi hidup.
Mengalami kuasa kebangkitan Kristus mengacu kepada pengertian bahwa kita memahami makna yang ada di balik mujizat yang dikerjakan oleh Yesus. Setelah kita mengenal Dia, kita mengalami transformasi atau perubahan di dalam hidup. Bagi saya, ini adalah mujizat yang jauh lebih besar dari pada hanya sekedar mengalami mujizat secara lahiriah atau melihat mujizat yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Mengapa lebih besar, lebih bermakna, dan lebih penting? Kita dapat membandingkannya dengan peristiwa 10 orang yang sakit kusta. Mereka mengalami mujizat yang sama, tetapi salah satu dari antara mereka kembali kepada Yesus dan Yesus bertanya di mana 9 orang lainnya. Kita juga dapat membandingkannya dengan orang-orang yang melihat peristiwa Yesus membangkitkan Lazarus. Mereka adalah saksi kebangkitan Yesus Kristus. Sampai pada satu titik mereka mungkin kagum dengan mujizat yang dikerjakan oleh Yesus. Seluruh Yerusalem dan Yudea gempar karena orang yang telah mati selama empat hari dibangkitkan kembali. Pemimpin-pemimpin agama juga gempar karena ada 10 orang kusta disembuhkan. Mujizat itu membuat orang-orang gempar dan kagum. Namun kita juga dapat melihat bahwa 9 orang kusta yang telah disembuhkan, bahkan sebagian besar orang-orang Yahudi yang melihat mujizat itu tidak mengalami mujizat yang sesungguhnya, yaitu transformasi hidup. Mereka tidak mengalami mujizat terbesar yang sedang kita bicarakan hari ini. Mereka tidak melihat makna di balik mujizat yang Yesus kerjakan sehingga mereka tidak mengenal siapa Yesus, dan konsekuensi dari tidak mengenal siapa Yesus Kristus adalah perlawanan terhadap Dia.
Yoh. 11:57 mengatakan bahwa orang-orang Yahudi justru merencanakan pembunuhan terhadap Yesus Kristus. Mereka merencanakan untuk menangkap Dia dan pada akhirnya menangkap berarti mengadili dan membunuh Dia. Mengalami, melihat, mendengar, atau membaca mengenai mujizat tidak menjamin kita untuk mengerti apa yang ingin Yesus nyatakan di balik mujizat itu. Oleh sebab itu mujizat tidak dikerjakan demi mujizat itu terjadi dan selesai di sana. Ada hal yang lebih penting yang ingin dinyatakan oleh Kristus di balik mujizat yang terjadi. Mujizat penting tetapi mujizat itu penting bukan karena kesembuhan dan kebangkitan. Mujizat itu penting karena melaluinya kemuliaan Allah akan dinyatakan, karena mujizat dikerjakan oleh Allah melalui Kristus agar kita mempermuliakan Dia, agar kita mengenal Kristus dan mengalami transformasi hidup. Oleh sebab itu kita akan menemukan bahwa mujizat kebangkitan Lazarus memiliki makna. Mujizat membangkitkan Lazarus dikerjakan oleh Yesus untuk meneguhkan klaim yang Dia katakan bahwa Dialah kebangkitan dan hidup. Klaim “Akulah kebangkitan dan hidup” berarti Dialah pemilik hidup, penghulu hidup, sumber segala sesuatu di dalam alam semesta ini. Dengan Dia berkata demikian maka Dia membangkitkan Lazarus untuk mengonfirmasi bahwa Dia memang sang pemberi hidup. Maka fungsi mujizat yang pertama dalam konteks yang kita renungkan hari ini adalah untuk meneguhkan kebenaran klaim Kristus bahwa Dia adalah kebangkitan dan hidup, sumber kehidupan. Segala sesuatu di dalam alam semesta ini bergantung kepada Dia. Hal ini bukan hanya menunjukkan kepada kita bahwa klaim Kristus itu benar, tetapi ingin memberi petunjuk kepada kita mengenai siapa pribadi Kristus yang sesungguhnya.
Minggu lalu saya mengatakan bahwa Yesus adalah pribadi yang ilahi. Dia adalah sumber kehidupan. Ketika Dia berkata “Akulah kebangkitan dan hidup”, berarti Dia adalah pribadi yang berdaulat atas segala sesuatu di dalam dunia ini, berdaulat atas eksistensi kita. Suatu saat nanti kita mengalami kematian sehingga kita tidak lagi bereksistensi sebagaimana hari ini. Kristus adalah Allah yang tidak membutuhkan ciptaan-Nya. Tetapi kita membutuhkan Dia karena Dia adalah sumber hidup. Dia harus ada agar kita hidup dan Yesus membuktikan klaim-Nya dengan membangkitkan Lazarus. Dia juga adalah pengharapan dan jawaban bagi kita yang bergumul dengan misteri kematian. Dia ingin menunjukkan kepada kita bahwa sama seperti Dia membangkitkan Lazarus dengan begitu mudah, demikianlah juga nanti di akhir zaman ketika Dia datang dan Dia membangkitkan orang mati.
Ketika Dia berkata “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama- lamanya..”, Yesus sementara berbicara mengenai kepenuhan sukacita ilahi ketika kita berhadapan dengan kematian. Saya percaya bahwa pribadi pertama yang kita jumpai setelah hembusan nafas kita yang terakhir adalah Kristus, sang mempelai laki-laki. Dialah yang akan bersama dengan kita sehingga kita menikmati kepenuhan sukacita, bahkan ketika kita ada di dalam lembah bayang-bayang maut, berhadapan dengan kematian. Dialah kebangkitan dan hidup. Dia yang menjamin kita, Dia yang memberi pengharapan bagi kita ketika kita berhadapan dengan misteri kematian. Kalimat yang diteguhkan oleh mujizat ini menunjukkan kepada kita bahwa Kristus adalah Mesias yang mulia, namun Mesias yang mulia ini adalah Mesias yang menderita. Dia adalah pribadi yang ilahi, namun Dia adalah pribadi yang ilahi yang mengalami penderitaan. Penderitaan Kristus menunjukkan kepada kita bahwa Allah kita adalah Allah yang menderita. Ketika Dia berkata “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, Dia berada di inti neraka, yaitu keterpisahan dengan Allah. Namun Dia tetap memanggil Allah sebagai “Allah-Ku.” Hal ini menunjukkan kepada kita betapa suci-Nya Dia. Dengan demikian jika kita ingin mengarahkan mata kita ke bukit Golgota, maka pertama-tama kita akan menemukan pribadi ilahi yang menderita. Kedua, kita akan menemukan manusia yang suci. Bahkan ketika Dia berada di inti neraka, Dia masih meneriakkan Allah sebagai Allah-Nya. Tetapi mengapa Dia menderita? Dia menderita, Dia harus mati karena Dia ingin menunjukkan kasih Allah kepada kita. Maka kita dapat melihat bahwa mujizat ini tidak terjadi demi mujizat saja. Celaka jika kita membaca lalu kita hanya terkagum-kagum dengan mujizat, namun kita gagal mengenal Kristus yang ingin diceritakan melalui mujizat ini. Inilah yang terjadi kepada banyak orang hari itu di mana mereka menikmati semua mujizat itu namun mereka tidak melihat signifikansi dari mujizat yang Yesus kerjakan. Bagi saya, signifikansi mujizat terlihat bukan pada saat itu terjadi pada diri kita, bukan pada saat kita terkagum-kagum melihat semua mujizat yang Yesus kerjakan. Tetapi signifikansi itu terlihat pada saat kita memahami makna di balik mujizat itu sehingga kita mengenal Allah yang mulia yang membuat mujizat.
Yoh. 17:3 mengatakan bahwa mengenal Allah berarti kita menikmati kehidupan yang kekal. Itu berarti kita bukan hanya mengalami keselamatan, tetapi juga memperoleh transformasi hidup dan inilah yang terjadi kepada para murid. Ketika Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup”, murid-murid mendengar dan melihat mujizat itu sehingga peristiwa ini dicatat. Tetapi apakah mereka langsung mengalami perubahan hidup setelah mereka melihat mujizat? Apakah mereka mengalami perubahan hidup segera setelah mereka mendengar kalimat itu? Saya kira tidak karena mereka mendengar, mereka melihat, namun mereka tidak memahami.
Di dalam Yoh. 11:7 Yesus mengajak murid-murid untuk kembali ke Yudea melihat Lazarus. Tetapi ini adalah sebuah keputusan yang sebenarnya beresiko karena Yoh. 10:31&39 mencatat bahwa Yesus ingin dilempar batu oleh orang-orang Yahudi. Saya kira Maria dan Marta juga tahu bahwa beresiko jika Yesus kembali ke Yudea. Oleh sebab itu kita tidak menemukan sebuah permintaan yang eksplisit. Ketika anak Yairus sakit, Yairus datang kepada Yesus dan meminta pertolongan Yesus. Tetapi Maria dan Marta memiliki relasi yang dekat dengan Yesus (Yoh. 11:5), sehingga mereka tidak berani secara eksplisit untuk memanggil Yesus datang ke rumah mereka pada saat saudara mereka sakit. Karena keputusan untuk memanggil Yesus datang ke Yudea, berjumpa dengan mereka atau mendatangi Lazarus yang sakit adalah sebuah keputusan yang beresiko. Yesus baru saja ingin dilempar batu sampai mati (Yoh. 11:8), lalu bagaimana Ia mau kembali ke sana. Tentu saja hal ini berkaitan dengan resiko bagi seorang guru dan murid.
Relasi murid dan guru pada zaman itu adalah relasi yang dalam. Menjadi murid seseorang bukan hanya mendengar dan memahami pengajarannya, tetapi kita dapat hidup dengan Dia selama kita menjadi muridnya. Belajar bukan hanya dari pengajaran tetapi juga belajar dari hidupnya dan meneladaninya. Maka menjadi murid Yesus resikonya besar. Karena jika Yesus mau dilempar dengan baru, murid-murid juga dapat dilempar batu sampai mati. Di satu sisi sayang kepada guru dan di sisi yang kedua juga sayang kepada diri. Sebuah ketakutan yang – menurut saya – normal saja. Ini yang terjadi kepada murid-murid. Mereka baru lolos dari maut dan sekarang Yesus mengajak mereka untuk seolah kembali ke lembah bayang-bayang maut.
Di dalam Yoh. 11:9-10 kita melihat bagaimana Yesus menguatkan mereka. Yesus memakai cara orang Yahudi membagi waktu. Jika sudah tidak kelihatan cahaya lagi, berarti itu adalah malam, karena pada masa itu tidak secanggih sekarang yang dapat diterangi lampu. Perkataan Yesus “bekerjalah waktu siang” menurut saya artinya yaitu selama masih ada kesempatan Tuhan memberikannya bagi kita, maka kita harus ambil waktu itu untuk bekerja untuk Tuhan. Karena akan ada waktu malam di mana kesempatan untuk melayani seolah diambil sehingga kita tidak dapat melayani. Bisa saja kita menafsirkan sedemikian. Tetapi saya kira ada kemungkinan yang kedua, yaitu malam berkaitan dengan segala macam kesulitan yang mungkin saja bisa dihadapi oleh manusia. Seolah Yesus ingin mengatakan bahwa bekerja selama siang, selama tidak ada kesulitan yang menghambat, selama tidak ada aniaya, selama tidak ada kematian yang dapat menghambat, maka bekerjalah karena akan ada waktu di mana Allah mengizinkan aniaya dan kematian mengancam kita, sehingga kita tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya kita kerjakan. Bagi saya ini bukanlah sekedar nasihat untuk memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan, tetapi hal ini juga sebuah jaminan dari Yesus kepada murid-murid, seolah Yesus ingin mengatakan bahwa jika murid-murid mengikuti Dia sampai ke Yudea, mereka tidak akan mendapatkan aniaya. Mereka tidak akan melihat kematian, melainkan kehidupan. Dengan demikian mereka memiliki fondasi untuk berharap ketika Yesus pergi dan mereka mengalami kesulitan. Yesus menjamin mereka tidak akan mendapatkan aniaya. Saya kira hal ini berkaitan dengan kalimat Yesus selanjutnya yaitu Ia bersyukur karena Lazarus telah mati dan Ia tidak ada di sana agar mereka belajar untuk percaya.
Di dalam Yoh. 11:11 Yesus berkata bahwa Lazarus tertidur dan Yesus akan datang untuk membangunkannya. Lalu di dalam Yoh. 11:16 Tomas berkata “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama- sama dengan Dia.” Mereka tahu bahwa mereka sudah tidak dapat menahan Yesus Kristus. Banyak orang menafsir kalimat Tomas dengan negatif. Mereka mengingat cerita di akhir ketika Yesus bahkan telah menyatakan diri setelah Dia bangkit, Tomas masih tidak percaya. Mereka melihat bahwa ini adalah ekspresi bahwa karakter Tomas adalah ragu-ragu, tetapi apakah hanya Tomas yang ketakutan? Tetapi dia memang mewakili murid-murid di mana semua murid hari itu adalah orang takut dan ragu-ragu untuk mengikuti Yesus hanya saja yang lain tidak berbicara, kecuali Tomas. Di sisi yang lain, Timothy Keller juga mengatakan bahwa jika kita tidak ada keraguan sama sekali terhadap apa yang kita imani, hal itu seperti tubuh tanpa antibodi. Terkadang Tuhan mengizinkan kita untuk berhadapan dengan keraguan, dan kemudian di dalam keraguan itu justru Dia memanggil kita untuk mencari jawaban yang benar di dalam Dia, bahkan kita dikuatkan. Jika kita beriman kepada Allah lalu Allah mengizinkan orang datang dan meragukan iman kita, di satu sisi ini sulit, tetapi di sisi lain bagi saya ini adalah peluang bagi kita untuk bertumbuh karena kita mencari jawaban yang benar untuk meneguhkan Dia. Tetapi pada saat yang sama kita mencari jawaban yang benar dan meneguhkan Dia. Bahkan kita juga diteguhkan dengan jawaban itu. Atau terkadang kita mengalami pergumulan yang begitu hebat karena kita sakit, karena kita mengalami kesulitan-kesulitan lalu kita sendiri mengalami keraguan. Allah kita adalah Allah yang menghargai keraguan yang sedemikian asalkan kita datang kepada Dia dan mencari jawabannya. Ketika Tomas berkata jika ia tidak mencucukkan jarinya ke lubang bekas paku Yesus, dia tidak akan percaya. Ketika Yesus menjumpai Tomas, Yesus menjawab keraguan itu. Yohanes pembaptis, orang yang begitu hebat itu pernah satu kali ragu-ragu sehingga ia mengutus murid- Nya untuk bertanya kepada Yesus apakah Ia adalah Mesias yang dijanjikan. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan merujuk kepada firman Allah untuk meneguhkan iman Yohanes. Siapa bilang keraguan bukan ekspresi orang yang mengenal Allah?
Jika kita mengalami keraguan dan bergumul, maka kita perlu belajar untuk mencari jawabannya. Datang mencari ke tempat yang tepat supaya jawaban itu justru meneguhkan kita. Maka saya kira kalimat ini tidak harus ditafsirkan secara negatif. Saya justru cenderung menafsirkannya secara positif.
Murid-murid sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena Yesus bersikeras ingin kembali ke Yudea. Maka kita melihat bahwa jawaban Tomas adalah jawaban yang mungkin pasrah tetapi ada komitmen tulus dari seorang murid untuk mengikut gurunya. Jawaban Tomas adalah komitmen tulus yang kita lihat, yaitu dia mau mengikut Yesus dengan segala konsekuensinya. Justru dalam kondisi ragu-ragu, dia memutuskan untuk ikut Yesus. Mereka berjalan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi apakah benar mereka menemani Yesus sampai Yesus mati? Tidak. Mereka hanya menemani Yesus sampai di Yudea, sampai di Betania. Mereka melihat mujizat dan kagum kepada Yesus Kristus. Namun kita tahu bahwa teror dan ketakutan terhadap kematian terus menerus ada di dalam pikiran mereka. Oleh sebab itu, maka di taman Getsemani, ketika bayang-bayang maut itu sekali lagi menghantui mereka, ketika Yesus ditangkap, mereka lari meninggalkan Yesus. Maka menurut saya bayang-bayang maut itu terlalu kuat, lebih kuat dari sekedar mujizat. Jika kita hanya melihat mujizat dan tidak memahami makna di belakang mujizat, maka kita tidak akan cukup kuat untuk berdiri berhadapan dengan lembah bayang- bayang maut. Apa yang kita sebut sebagai bayang- bayang maut, teror dan ketakutan terhadap kematian itu jauh lebih kuat dari perasaan kagum kita ketika kita melihat mujizat-mujizat yang besar. Murid-murid tentu kagum dengan Yesus Kristus karena memerintahkan orang mati keluar dari kubur dan orang mati itu keluar. Mereka tidak mungkin tidak kagum dengan guru yang sedemikian. Tetapi kekuatan dari teror bayang-bayang maut itu membuat mereka lari. Bayang-bayang maut terlalu kuat dan pekat sehingga mereka tidak dapat melihat Kristus sebagaimana seharusnya. Mereka tidak dapat setia bersama-sama dengan Dia sampai ke Golgota, apalagi sampai mati. Kita tahu bahwa mereka lari meninggalkan Yesus. Bahkan Markus mencatat bahwa salah satu di antara mereka lari dengan telanjang. Ketakutan yang begitu luar biasa sehingga ketika mereka lari, mereka tercerai-berai seperti domba yang tidak bergembala. Ketakutan itu begitu luar biasa sehingga mereka yang berada di dalam ketersendirian karena tercerai berai berkumpul di dalam satu rumah, mereka berkumpul tetapi tidak ada satupun yang dapat menguatkan yang lain.
Alkitab mengatakan bahwa mereka begitu takut sehingga mereka mengunci pintu dari dalam. Mereka depresi karena ketakutan yang begitu besar. Siapa yang menemani Yesus sampai kepada Golgota dan mengalami kematian bersama dengan Yesus? Tidak ada. Di satu sisi kalimat bahwa mereka ingin mengikut Yesus ini positif, tetapi mereka tidak akan sanggup. Mellihat mujizat tidak cukup membuat mereka kuat menghadapinya. Mereka lari meninggalkan Tuhan mereka, mereka lari meninggalkan guru mereka. Tetapi kita tahu bahwa ada satu titik di mana semua ketakutan itu seolah-olah hilang begitu saja.
Pada saat Yesus bangkit dari antara orang mati dan menyatakan diri kepada mereka, saya yakin pada saat itulah mereka mengerti firman ini: “Akulah kebangkitan dan hidup.” Pada saat Yesus bangkit dan menampakkan diri kepada Tomas dan menyuruhnya meletakkan tangan di lubang bekas paku itu, pada saat itulah Tomas benar-benar mengalami mujizat kebangkitan, maka dia dapat berseru kepada Yesus Kristus “Engkau adalah Tuhanku dan Engkau adalah Allahku.” Perubahan radikal itu terjadi ketika mereka benar-benar mengerti firman bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup. Mereka mengalami firman itu pada saat mereka berjumpa dengan Kristus. Perubahan inilah yang membuat Tomas menjadi begitu berani.
Jika kita melihat peristiwa Getsemani di mana murid- murid lari meninggalkan Yesus dan kita juga membaca mengenai bagaimana Yesus mati, maka kita akan melihat Tomas yang berbeda.
Tomas yang kita kenal dan kita baca hari ini oleh tradisi gereja diceritakan bahwa ia pergi untuk memberitakan Injil sampai ke India, memberitakan mengenai Yesus, sang guru, Tuhan dan Allahnya. Dia bercerita mengenai satu-satunya Allah yang membawa manusia ke surga. Dia memberitakan Kristus di negeri yang banyak dewa dan dewinya. Resiko terlalu besar tetapi Tomas mengambilnya. Sejarah gereja mengatakan bahwa Tomas mati di India sebagai martir karena dia memberitakan satu Allah di negeri yang menyembah banyak allah. Murid-murid Yesus telah mengalami transformasi oleh karena mereka mengalami kuasa kebangkitan Kristus. Mereka semua memiliki ciri yang sama, yaitu takut mati, lari meninggalkan gurunya, dan mengurung diri setelah Yesus mati karena mereka begitu ketakutan. Tetapi setelah Yesus bangkit dan mereka memahami arti kalimat “kabangkitan dan hidup”, mereka memahaminya, mereka mengenal siapa Tuhan yang berkata-kata itu, mereka berubah menjadi orang yang berani untuk menegaskan siapa Kristus. Mereka bukan hanya berani menginjili tetapi mereka juga tidak takut berhadapan dengan kematian. Bagi saya, pada akhirnya mereka menjadi orang-orang yang terus mengikut Yesus. Mereka juga membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pada akhirnya mau mati bersama-sama dengan Kristus. Di mana titik baliknya? Di mana perubahan itu terjadi? Karena mereka melihat dan memahami siapa Kristus yang berkata-kata demikian. Oleh sebab itu saya percaya apa yang dikatakan oleh Paulus akan sama dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang ini ketika berhadapan dengan kematian karena gurunya, karena Tuhannya. Mereka dapat berkata bersama dengan Paulus, “hai maut di mana sengatmu, hai maut, di mana kemenanganmu?” Bagi saya ini adalah sebuah perubahan komitmen religius. Sekarang mereka tahu dan paham bahwa Kristus adalah Tuhan, Kristus adalah raja dan mereka adalah hamba. Tetapi bukan hanya itu. Mereka tahu bahwa Kristus adalah Tuhan atas kematian dan kebangkitan. Dia sanggup untuk memberikan kehidupan, bahkan setelah manusia berhadapan dengan kematian. Mereka sudah tidak takut lagi karena mereka sudah mengenal siapa Dia. Jikalaupun mereka mati karena dieksekusi, di akhir zaman nanti mereka akan dibangkitkan. Sebelum akhir zaman mereka dibangkitkan, mereka hidup dan menikmati the fullness of joy yang Dia janjikan.
Sering kali kita mempersalahkan para murid seolah- olah mereka adalah orang yang tidak setia. Tetapi lihatlah lubuk hati kita yang paling dalam, siapakah yang lebih baik dari mereka? Mungkin kita tidak lebih baik dari mereka. Tetapi yang menjadi penghiburan bagi kita adalah sama seperti murid-murid bukan karena mereka layak, demikian juga firman Tuhan hari ini ingin menunjukkan kepada kita bahwa Allah menerima kita bukan karena kita lebih baik dari murid- murid. Mungkin kondisi kita lebih buruk dari murid- murid, tetapi Dia mau menerima kita karena Dia mengasihi kita dan Dia tahu bahwa Dia memiliki kuasa untuk mengubah kita sehingga komitmen religius ini berubah. Dari yang tadinya takut dan ragu-ragu menjadi orang-orang yang tidak segan untuk memberi diri dan melayani Dia. Bukan hanya karena Dia Tuhan, namun karena kita kita tahu jikalau pun pelayanan ini berujung kematian, maka kita tidak akan mati dengan sia-sia. Kita akan menikmati kepenuhan sukacita di akhir zaman karena Dia akan membangkitkan kita dan kita akan menikmati kerajaan Allah yang sesungguhnya. Jika Dia tidak mengizinkan kita untuk berhadapan dengan kematian, maka kita tidak akan berhadapan dengan kematian. Tidak juga berarti bahwa kita tidak akan mengalami ketakutan dan kekuatiran ketika berhadapan dengan kematian. Iman yang sejati tidak meniadakan ketakutan dan kekuatiran, tetapi iman yang sejati membuat kita menaklukannya. Inilah yang dikerjakan oleh Kristus di dalam kehidupan murid- murid sehingga terjadi komitmen religius. Tetapi poin pertama ini berkaitan dengan kita yang ada di dalam gereja. Komitmen kita – yang ada di dalam gereja – kepada Allah terus menerus diperbarui. Sama seperti murid-murid yang ada disekitar Kristus. Mereka adalah pengikut Kristus namun mereka bukanlah orang yang sempurna. Maka Allah harus terus menerus memperbarui dan mentransformasi mereka di dalam perjumpaan dengan Dia. Tetapi jika Allah mengubah orang-orang yang ada disekitarnya, apakah Dia sanggup untuk mengubah mereka yang tidak percaya? Karena konteksnya adalah pembicaraan mengenai kita yang percaya.
Jika kita mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, maka bukan hanya berbicara mengenai perubahan komitmen religius pada kita yang telah percaya, tetapi juga berbicara mengenai perubahan moral dan spiritual pada orang yang tidak percaya. Kita percaya kerusakan total manusia, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan manusia untuk menghidupi hidup yang berkenan kepada Allah dan menikmati keselamatan dari dalam dirinya sendiri.
Kerusakan moral dan spiritual terjadi kepada siapapun, termasuk kepada orang yang katanya “biasa saja” maupun orang yang katanya “baik.” Kita tidak dapat mengatakan bahwa kerusakan moral hanya terjadi kepada orang yang jahat.
Sekarang kita memiliki persoalan yang sangat besar, yaitu orang baik dan orang yang tidak baik sama-sama bermasalah secara moral dan secara spiritual. Lalu apakah agama menawarkan jalan keluar kepada kita? Ketidakadilan atas nama agama terus terjadi sampai hari ini. Maka agama tidak dapat menjamin keadilan. Yesus Kristus mengkritik agama dan bahkan Dia disalibkan oleh orang yang beragama. Tentu saja agama bukanlah jalan keluar. Tetapi meninggalkan agama juga bukanlah jalan keluar. Saya percaya bahwa Kekristenan tidak menyediakan fondasi bagi kita untuk menjadi penganiaya-penganiaya yang tidak bermoral. Tetapi sebaliknya, jika kita meninggalkan Allah yang sejati lalu menjadi ateis dan menolak Allah yang mutlak dan memiliki otoritas absolut dalam kehidupan kita, maka ateis memberikan fondasi bagi kehidupan yang amoral. Di dalam agama, kita tidak dapat menjamin menjadi baik dan dengan meninggalkan agama juga tidak membuat kita menjadi lebih baik. Ini bukanlah jalan keluar. Menjadi orang berilmu juga tidak menjadi jalan keluar.
Alkitab memberi petunjuk kepada kita bahwa orang yang dicatat sebagai orang benar adalah orang-orang yang sadar bahwa mereka tidak benar. Orang-orang yang menikmati pembenaran Allah adalah orang-orang yang sadar betapa bobrok dan hancurnya kehidupan moral dan spiritual mereka. Sehingga saya kira kita ada pada situasi di mana masalah kita ada jauh di dalam hati dan jiwa kita dan hal ini tidak dapat diubah oleh siapapun. Lalu bagaimana dengan orang yang ada di luar sana? Apakah Allah sanggup untuk mengubahkan mereka?
Nikodemus adalah seorang agamawan dan mungkin juga seorang budayawan. Dia adalah seorang pemikir yang terdidik dengan baik. Karena posisi yang sedemikian, dia memiliki posisi politik yang baik tetapi tidak menolong. Yesus berkata bahwa jika kita tidak dilahirkan kembali oleh pekerjaan Allah maka kita tidak akan melihat kerajaan Allah. Pendidikannya, agamanya, kebudayaannya yang begitu tinggi, posisinya sebagai seorang pemimpin politik hari itu tidak dapat menolongnya kecuali Allah melahirbarukan dia. Maka saya harus berkata terlalu sulit bagi kita di dalam gereja untuk menikmati kasih karunia ini, terlalu sulit bagi orang-orang yang ada di luar sana untuk menikmati transformasi. Tetapi hal itu bukannya tidak mungkin. Kita tidak dapat mengusahakannya, tetapi Allah yang mengerjakannya.
Paulus adalah orang Yahudi, oleh sebab itu maka ia tidak percaya ada manusia yang dapat disebut sebagai Tuhan. Hanya ada satu Allah. Pertama, tidak mungkin itu adalah Allah Tritunggal. Kedua, jika dia percaya kepada satu Allah, maka Yesus adalah Tuhan merupakan sesuatu yang mustahil. Paulus juga berkewarganegaraan Roma dan berfilsafat Yunani. Dualisme filsafat Yunani yaitu tubuh adalah jahat dan jiwa adalah baik. Oleh sebab itu orang-orang Yunani tidak mengharapkan adanya kebangkitan karena kematian – menurut mereka – memberikan pembebasan. Mereka sulit percaya kepada Kristus dan menjadi Kristen. Di dalam filsafat Yunani yang memengaruhi pikiran Paulus, dia akan sulit memercayai kebangkitan Kristus. Di dalam agama Yahudi di mana dia dididik, dia sulit memercayai manusia yang bisa disebut sebagai Allah. Orang yang tidak mudah percaya ini di dalam 1 Kor. 15 dan dalam surat-surat yang lain dikatakan bahwa dia memberitakan Kristus yang bangkit. Dia membela ketuhanan Kristus. Bahkan jika hari ini kita melihat teolog agama lain yang ingin melawan Kekristenan, mereka akan mengatakan bahwa Kekristenan bersumber dari Paulus, bukan bersumber dari Yesus. Yang menekankan mengenai keilahian Kristus adalah Paulus dan Yesus sendiri tidak pernah menyebutkan keilahian-Nya. Tetapi mereka sementara bersaksi bahwa betapa luar biasanya perubahan diri Paulus. Dari yang tidak mungkin percaya menjadi percaya. Dia sendiri mengatakan bahwa memberitakan Injil tentang Yesus Kristus adalah batu sandungan bagi Yahudi yang tidak percaya manusia dapat sekaligus adalah Allah. Hal ini adalah kebodohan bagi Yunani yang tidak percaya kepada kebangkitan. Tetapi dia tetap memberitakannya. Dia tidak dapat melakukan yang lain kecuali memberitakan mengenai Kristus yang bangkit dari antara orang mati dan karena itu Kristus adalah Tuhan. Di mana titik baliknya? Di Damsyik ketika dia pergi untuk menangkap dan membunuh orang Kristen dengan otoritas yang ada pada dirinya. Pada saat itu dia berjumpa dengan Yesus Kristus yang bangkit. Yesus Krsitus menyatakan diri kepadanya dan sejak hari itu Paulus tidak pernah sama lagi, bukan? Setiap kali dia bercerita mengenai kerasulannya, dia juga bercerita mengenai Kristus yang bangkit. Oleh sebab itu maka ketika dia menulis 1 Kor. 15, dia mengatakan bahwa jika Kristus tidak pernah bangkit, maka sia-sialah seluruh iman kita. Sejak dia mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, apa arti kalimat “Akulah kebangkitan dan hidup”?
Tidak ada ruang di mana kita berkata ada suatu manusia yang karena terlalu jahat dan bobrok maka ia tidak dapat diubahkan oleh Tuhan. Jika kita mengasihi orang itu sejahat dan sebobrok apapun dia, kita boleh memberitakan Kristus yang adalah kebangkitan dan hidup kepada Dia. Dan saya percaya jika Dia berjumpa dengan Kristus yang kita beritakan, maka kita akan melihat bahwa Kristus yang adalah kebangkitan dan hidup sanggup untuk mentransformasi hidupnya.
Saya percaya bahwa karena Allah mengasihi kita, Dia memberikan Kristus sebagai pemberian yang terbaik (ekspresi kasih), maka tanda bahwa kita mengasihi seseorang, yaitu kita harus memberikan pemberian yang terbaik, yaitu Kristus. Tidak ada pemberian yang lebih baik dari pada Kristus. Ketika kita memberitakan mengenai Kristus kepada dia, kita menyuarakan Kristus, sang kebangkitan dan hidup kepada dia. Kristus ini sanggup untuk mengubah hidupnya dan masa depannya.
Kita ada di dalam agama Kristen, tetapi tidak ada orang yang sempurna untuk bisa merepresentasikan Kristus. Kita adalah orang-orang yang suatu saat nanti mungkin menjadi orang yang gagal sebagai orang Kristen untuk merepresentasikan Kristus. Ini adalah hal yang harus disesali. Namun kita juga masih memiliki pengharapan karena kegagalan-kegagalan orang Kristen tidak dapat meniadakan signifikansi dan kuasa Kristus yang berkata “Akulah kebangkitan dan hidup.” Hari itu dan sampai hari ini, bahkan sampai kedatangan-Nya yang kedua, Yesus masih tetap berdiri sebagai satu-satunya pribadi yang menawarkan hal yang paling esensial dalam kehidupan kita.
Ketika Dia berkata “Akulah kebangkitan dan hidup” dan “Akulah roti hidup”, Dia sedang menawarkan hidup kepada kita. Di dalam dunia ini manusia berjuang untuk hidup dan Kristus ini masih berdiri dan berkata bahwa Ia menawarkan apa yang mereka cari dan apa yang mereka inginkan. Di dalam dunia ini kita belajar mencari kebenaran dan Kristus berkata bahwa Dia adalah terang agar kita melihat kebenaran.
Seluruh perjuangan kita adalah perjuangan untuk memperoleh keselamatan dan Yesus Kristus berkata bahwa Dia adalah gembala yang baik yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Kepada orang- orang yang mencari keselamatan, Kristus masih tetap berdiri sampai hari ini dan sampai akhir zaman untuk berkata kepada kita bahwa Dialah satu-satunya jalan untuk datang kepada Bapa. Sampai hari ini di tengah- tengah kegagalan gereja dan orang percaya, Kristus tetap sama. Sang gembala yang agung ini masih menawarkan sesuatu yang begitu berharga dan esensial di dalam kehidupan kita. Perkataan sang gembala ini adalah perkataan yang penuh kuasa dan sempurna dan masih berlaku sehingga hari ini saya ingin menawarkannya kepada Anda.
Mari kita meresponi panggilan Kristus ini. Tidak ada manusia yang dapat menawarkan hidup, kebenaran yang sejati, dan keselamatan kepada kita kecuali Dia yang adalah pribadi ilahi. Kristus, pribadi yang ilahi itu, sedang menawarkannya kepada kita agar kita juga mengalami kuasa kebangkitan-Nya, agar kita mengalami transformasi di dalam seluruh dimensi kehidupan kita sebagai orang percaya.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)