Yoh. 8:37-59
Pdt. J. Putratama Kamuri
Hari ini kita akan membahas bagaimana jika kita hidup di luar Kristus yang adalah terang: kegelapan secara spiritual ada di dalam pikiran kita dan perbudakan dosa di dalam kecenderungan hati kita akan mengarahkan kita kepada kebinasaan. Ada tiga poin yang akan kita lihat sebagai konsekuensi jika kita tidak pernah berjumpa dengan Kristus, sang terang dunia:
Pertama, orang yang tidak pernah berjumpa dengan Kristus sebagai terang dunia tidak akan tahu dan tidak akan mengenal tentang siapa dirinya di hadapan Allah. Pengenalan yang benar terhadap diri sendiri hanya dimungkinkan jika kita berjumpa dengan Kristus sebagai terang dunia. Oleh sebab itu meskipun orang- orang ini melihat Yesus dan Yesus berkata kebenaran ini akan memerdekakan mereka, mereka justru menjawab bahwa mereka adalah keturunan Abraham dan bukanlah hamba siapapun. Artinya mereka ingin mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang merdeka. Dan karena mereka adalah orang-orang merdeka, maka mereka tidak butuh dimerdekakan oleh siapapun dan tidak butuh kebenaran yang memerdekakan mereka. Apa yang Yesus tawarkan dan Yesus khotbahkan tidak mereka butuhkan. Menariknya dalam ayat 30 dikatakan bahwa mereka adalah orang- orang yang percaya. Artinya mereka mengerti apa yang diajarkan oleh Yesus dan secara kognitif mereka yakin bahwa yang diajarkan oleh Yesus adalah benar. Tetapi mereka tidak membutuhkannya untuk menikmati keselamatan dan mereka tidak membutuhkannya untuk dimerdekakan karena status mereka sebagai orang Yahudi adalah keturunan Abraham. Ini adalah sebuah status yang istimewa. Dengan pemikiran demikian mereka menempatkan diri mereka di dalam bahaya secara spiritual, justru karena mereka tidak tahu siapa diri mereka.
John Calvin berkata bahwa mengenal Allah berarti mengenal diri. Artinya jika kita mengenal Allah yang sejati, maka kita akan mengenal siapa diri kita. Perjumpaan dengan Allah sejati yang adalah terang dunia senantiasa membawa orang yang berjumpa dengan Dia kepada kesadaran pada diri bahwa mereka adalah orang yang tidak benar dan orang berdosa. Ini adalah pengalaman nabi di dalam PL dan pengalaman rasul di dalam PB. Orang-orang suci di dalam PL dan PB ketika berjumpa dengan Allah yang benar dan Allah yang suci, mereka selalu mengakui diri sebagai orang yang berdosa, orang yang tidak benar dan tidak layak. Mengaku diri di hadapan Allah sebagai orang berdosa bukanlah sesuatu yang memalukan. Ini adalah sukacita sejati dari orang Kristen karena ini adalah tanda perjumpaan dan pengenalan yang benar terhadap Allah yang benar. Orang-orang yang sedang berhadapan dengan Yesus Kristus adalah orang-orang yang merasa diri mereka benar karena meskipun mereka melihat Yesus hari itu, mereka tidak berjumpa dengan Kristus sebagai terang dunia. Ini adalah situasi yang mengerikan karena situasi yang tidak mengenal diri sedemikian rupa akan menuntun kita kepada kebinasaan. Jika kita tidak pernah melihat Dia sebagai Allah yang adalah terang, Allah yang suci, Allah yang benar, dan tidak pernah menyadari bahwa kita adalah orang yang berdosa, maka kita dituntun menuju kepada kebinasaan.
Ketika Yesus berkata berbahagialah orang miskin karena mereka yang empunya kerajaan Allah (Mat. 5:10), hal ini berbicara mengenai kemiskinan secara spiritual, yaitu orang yang sadar secara spiritual bahwa dia miskin, berdosa, tidak layak, dan tidak mampu untuk menyelamatkan diri sendiri. Orang-orang seperti inilah yang justru memiliki kemungkinan untuk dipimpin oleh Allah masuk ke dalam kerajaan Allah. Kesadaran ini begitu penting di dalam kehidupan kita. Karena penting, maka perjumpaan dengan Allah yang benar pasti dimulai dari kesadaran yang sedemikian. Kerajaan Allah memang disiapkan untuk orang-orang berdosa yang sadar bahwa mereka adalah orang berdosa dan kemudian datang kepada Allah dan menerima pembenaran dari Allah. Tetapi kerajaan Allah tidak disiapkan untuk orang yang berdosa karena merasa dirinya benar. Kita harus melihat prinsip yang Allah tempatkan di dalam kehidupan orang percaya hari ini. Sayangnya, hal ini tidak dilihat oleh orang Yahudi dan mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan Abraham. Dua kali mereka menyebutkannya (ay. 33&39) untuk menegaskan status istimewa bahwa mereka bukanlah budak dosa, mereka adalah keturunan Abraham secara lahiriah, mereka adalah orang-orang yang kaya secara spiritual, dan mereka adalah pewaris kerajaan Allah karena mereka adalah keturunan Abraham. Mereka tidak merasa membutuhkan kebenaran Firman Allah dan tidak membutuhkan Yesus yang menyebut diri-Nya sebagai Allah. Di dalam kondisi ini mereka malah dijauhkan dari Kristus sebagai kebenaran dan tentu saja kondisi terakhirnya adalah kebinasaan.
Paulus menunjukkan kepada kita bahwa di dalam urusan berdosa tidak ada status istimewa. Oleh sebab itu di dalam Ef. 2:3 Paulus berkata bahwa kita semua ada di bawah murka Allah. Maka tidak ada orang yang ketika berdosa kemudian menjadi orang yang istimewa di hadapan Allah. Jangankan anak Abraham, sementara Yesus yang adalah Anak Allah ketika di atas bukit Golgota – untuk menanggung dosa kita – tidak diperlakukan dengan istimewa. Lalu bagaimana Dia memperlakukan kita istimewa padahal kita adalah orang yang berdosa? Di atas bukit Golgota Dia diperlakukan sebagai orang yang terkutuk karena dosa kita ditimpakan kepada-Nya (Gal. 3:13). Oknum kedua Allah Tritunggal yang disebut sebagai Anak Allah tidak memperoleh keistimewaan ketika menanggung dosa kita. Ini adalah petunjuk paling tegas bahwa Allah yang suci tidak memperlakukan manusia berdosa secara istimewa, apalagi hanya ‘anak Abraham’. Maka Yesus berkata bahwa secara lahiriah mereka betul adalah Anak Abraham, tetapi secara spiritual mereka bukanlah anak-anak Abraham. Jika mereka adalah anak Abraham, maka seharusnya mereka belajar apa yang dilakukan oleh Abraham.
Tentu kita tidak menginginkan ada pada posisi orang Yahudi. Tetapi kemudian Yesus Kristus berkata bahwa mereka menjadi sombong karena mereka orang Yahudi dan merasa keturunan Abraham, padahal Abraham adalah orang yang rendah hati. Abraham berarti bapa orang beriman. Dia adalah orang berdosa yang dibenarkan oleh Allah. Dan karena dia dibenarkan oleh Allah, maka dia bersikap dengan benar terhadap kebenaran. Orang yang dibenarkan oleh Allah pasti bersikap benar terhadap kebenaran, tidak seperti orang Yahudi yang memahami kebenaran dan yakin apa yang diajarkan oleh Yesus adalah kebenaran, namun mereka melawan. Respon sikap mereka terhadap kebenaran jauh berbeda dengan Abraham. Tetapi sebenarnya dia berhadapan dengan dengan dua kondisi: pertama, Firman Allah yang datang kepada dia adalah Firman yang sulit untuk dipahami, bukan? Bagaimana mungkin seorang perempuan yang mandul dan yang sudah tua akan melahirkan seorang anak? Ini adalah hal yang mustahil. Tetapi Allah berkata bahwa Abraham akan memiliki seorang anak dari Sara. Hal ini begitu sulit diterima dan dipahami oleh akal. Karena terlalu sulitnya, maka Zakharia sulit percaya ketika malaikat datang kepadanya. Kita melihat bahwa pada akhirnya Abraham percaya kepada Firman Allah yang sulit terpahami. Kedua, dia mengenal Allah dan tahu bahwa Firman yang datang kepadanya adalah Firman Allah, namun Firman Allah itu seolah melukai dia dan melukai pengharapan yang dia bangun. Selama 25 tahun ia menunggu janji Firman Allah tergenapi, kemudian Ishak lahir. Setelah Ishak lahir dan menjadi seorang remaja, Allah menyuruh Abraham untuk mempersembahkan Ishak kepada-Nya. Firman Tuhan tidak cocok dengan hati dan pikirannya, bahkan menurut saya ini bisa saja menjadi Firman yang melukai dirinya. Tetapi Abraham menjadi orang yang begitu rendah hati karena dua hal: pertama, dia percaya kepada Allah. Ibrani berkata bahwa ia percaya kepada Allah yang hidup, yang sanggup untuk memberikan kehidupan kepada rahim yang mati. Dan oleh karena Ia adalah Allah yang hidup, maka pasti Ia sanggup untuk memberikan kehidupan kepada Ishak yang pada akhirnya memang harus mati. Abraham mengenal Allahnya. Dan karena ia mengenal Allah sebagai pemberi hidup, maka sekarang ia menjadi orang yang – pada saat yang sama – tahu diri. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki hak untuk komplain. Alkitab tidak pernah mencatat Abraham komplain sekali pun. Ini bukanlah ketaatan yang buta, tetapi ini adalah ketaatan yang memiliki fondasi kuat. Dia tahu Allahnya setia. Jika Allah berkata bahwa Ishak akan menjadi penerusnya, maka itu pasti akan terjadi. Maka ketika Yesus berkata mereka bukanlah anak Abraham dan memanggil mereka untuk melihat kehidupan Abraham, Yesus berkata jika seandainya mereka adalah anak Abraham, maka respon mereka pasti sama dengan Abraham terhadap kebenaran Firman Allah. Mereka tahu bahwa kebenaran itu benar dan mereka juga tahu bahwa mereka harus meyakini kebenaran itu namun mereka menolaknya. Tetapi lihatlah Abraham. Abraham sulit memahami Firman Allah, bahkan kebenaran itu melukainya, tetapi Abraham memilih untuk taat. Dia tahu siapa dirinya di hadapan Allah.
Yoh. 8:30 berkata bahwa banyak orang percaya kepada-Nya, tetapi mereka memiliki kepercayaan yang palsu oleh karena mereka tahu Firman Allah, mereka mengakui Firman Allah itu benar, namun mereka menolaknya karena tidak sesuai dengan pikirannya yang terbatas dan melukai perasaan mereka. Ini adalah tanda bahwa mereka tidak mengenal siapa Tuhan dan mereka tidak mengenal siapa diri mereka. Mereka menjadi begitu sombong di hadapan Tuhan.
Penolakan terhadap kebenaran Firman Tuhan adalah sebuah kesombongan yang sulit untuk dipahami. Maka Yak. 4:17 berkata barang siapa yang mengetahui yang baik namun tidak melakukannya, maka ia berdosa di hadapan Allah.
Semua agama di dalam dunia ini, termasuk di dalam konteks hukum, selalu berbicara mengenai dosa sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah. Ini adalah definisi standar melawan Allah dan melanggar hukum Allah. Tetapi Alkitab masuk kepada definisi kedua yang sedikit lebih dalam, yaitu tahu yang baik dan tidak melakukannya, maka kita berdosa di hadapan Tuhan karena ini adalah kesombongan. Tahu mana yang baik tetapi menolak untuk percaya dan menolak untuk meresponinya, ini adalah dosa di hadapan Tuhan.
Jika terang dunia itu ada, maka Ia akan menerangi pikiran kita. Kita akan kenal Allah dan kita akan sadar diri di hadapan Allah menjadi orang-orang yang rendah hati, mengakui dosa dan mencari kebenaran. Jika terang dunia itu ada di dalam hati kita, maka Ia akan membuat kita dipenuhi oleh cinta kepada Allah dan Firman-Nya sehingga kita menjadi taat. Ini adalah anomali. Jika kita mengetahui Firman dan kita menaatinya, maka kita tidak akan menjadi orang yang sombong. Filosofi Alkitab sedikit berbeda. Banyak orang yang menjadi sombong setelah menaati Firman. Tetapi hal ini menjadi aneh karena Alkitab selalu memberi petunjuk kepada jika kita kenal Allah dan mengetahui Firman lalu kita berjuang untuk taat. Perjuangan untuk taat akan membuat hati kita semakin lama semakin ‘ditundukkan’ kepada Allah, menjadi semakin rendah hati karena semakin kita berjuang untuk taat, kita akan semakin sadar bahwa kita tidak sanggup untuk melakukannya dan hal itu akan menundukkan hati kita kepada Tuhan. Di dalam kondisi itulah sukacita sebagai orang yang mencintai Allah akan terpancar keluar dan menjadi sebuah kesaksian yang hidup, bahkan ketika kita ada di dalam bayang-bayang maut. Orang yang tidak pernah berjumpa dengan Kristus, mereka tidak akan pernah bisa mengenal siapa diri mereka di hadapan Allah. Tetapi jika kita mengenal Allah karena kita berjumpa dengan Dia, kita akan sadar siapa kita di hadapan Allah. Ini adalah masalah yang pertama dari orang- orang ini. Mereka tidak mengenal siapa diri mereka di hadapan Allah.
Masalah kedua yang lebih parah yaitu mereka tidak mengenal kebenaran dan oleh karena itu mereka tidak peduli kepada kebenaran yang mereka ketahui secara kognitif dan mereka yakini benar di dalam hati mereka. Yesus berkata kepada mereka: “firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu.” Pengajaran Yesus terlalu jujur dan terlalu tajam menelanjangi mereka dan merobohkan kesombongan mereka. Maka di dalam hati mereka ada kemarahan dan kebencian. Yesus menyampaikan kebenaran dan mereka membenci Yesus, bahkan ingin membunuh-Nya. Mereka menolak Yesus sebagai kebenaran dan menolak kebenaran yang Yesus sampaikan. Bagaimana akibat dari penolakan yang sedemikian?
Lalu di dalam perdebatan, setelah Yesus membongkar bahwa mereka bukanlah keturunan Abraham, mereka berkata bahwa mereka tidak dilahirkan dari zinah (ay. 41). Secara filosofis hal ini disebut argumentum ad hominem yang berarti orang yang ada di dalam diskusi sudah tidak lagi berfokus kepada argumentasi Yesus. Istilah argumentum ad hominem menunjukan bahwa mereka sudah tidak peduli dengan kebenaran dan argumentasi untuk kebenaran itu. Yang mereka pedulikan adalah bagaimana caranya mendiskreditkan pribadi Yesus supaya Yesus menjadi orang yang tidak layak untuk dipercaya. argumentum ad hominem juga berarti menyerang pribadi Yesus. Ini sulit untuk dipahami. Mereka ingin membuat Yesus menjadi tidak layak untuk didengarkan. Nampaknya kalimat ayat 41 muncul karena mereka tahu bagaimana proses kelahiran Yesus. Pertama, mereka tahu Yesus dilahirkan dengan cerita seperti di dalam Matius sehingga mereka mengasumsikan Yesus lahir dari zinah. Bahkan ketika mereka mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Abraham dan Yesus adalah orang Galilea, D. A. Carson dan beberapa penafsir mengatakan bahwa mereka mengasumsikan bahwa ayah dari Yesus Kristus bukanlah Yahudi sehingga Yesus Kristus tidak layak untuk didengarkan. Mereka sudah tidak peduli bahwa Yesus mengajarkan sesuatu yang benar, meskipun mereka juga tidak bisa menunjukkan bahwa Yesus bersalah. Tetapi ini adalah petunjuk bahwa mereka tidak peduli kepada kebenaran sehingga sekarang mereka mencari-cari alasan untuk menolak kebenaran.
Berapa banyak di antara kita yang setelah mendengar khotbah, mengerti kebenaran dan mengakuinya sebagai kebenaran, namun di dalam situasi-situasi sulit kita mencari-cari alasan untuk melawan kebenaran? Lalu apa bedanya kita dengan orang Yahudi? Mereka memang berdebat langsung dengan Yesus Kristus, tetapi kita bisa memiliki model spiritualitas yang sama: belajar dan tahu kebenaran bahkan meyakininya, tetapi pada saat yang sama kita menolak untuk menaatinya. Ini adalah tanda bahwa orang ini bisa saja mengerti kebenaran dengan akal namun sebenarnya mereka tidak pernah berjumpa dengan kebenaran yang sejati.
Di dalam ayat 40 Yesus berkata bahwa mereka berusaha membunuh Dia dan pada ayat 59 dikatakan bahwa mereka mengambil batu untuk melempari Dia. Apa maksudnya? Memang tindakan untuk membunuh Yesus baru muncul di dalam ayat 59, tetapi kemarahan dan kebencian kepada Yesus membuat rencana pembunuhan sudah ada di dalam hati mereka di dalam percakapan. Sebelum mereka mengambil batu untuk membunuh Yesus, hati mereka sudah menginginkan untuk membunuh Dia. Mereka menunggu kesempatan yang baik untuk mengeksekusi rencana mereka. Mereka ingin membungkam kebenaran, baik ajaran maupun orang yang memberitakannya. Ini adalah kondisi buta secara spiritual meskipun secara intelektual mungkin mereka mengerti.
Salah satu ancaman besar bagi kita di dalam tradisi gereja Reformed adalah kebutaan secara spiritual meskipun tercerahkan secara intelektual. Di dalam zaman pencerahan, gereja menawarkan kekuatan secara intelektual. Lalu kemudian bersamaan dengan hancurnya zaman modern, masuk ke dalam post- modernisme, apa yang ditawarkan oleh gereja (kekuatan intelektual) menjadi sesuatu yang kering. Maka kemudian masuk ke dalam post-modernisme, orang-orang menyambut spiritualitas yang anti- intelektual. Orang-orang lebih menyukai sesuatu yang kelihatan menghibur hati. Tetapi kita bergeser dari zaman itu. Sekarang orang-orang mulai mengerti bahwa intelektualitas adalah sesuatu yang penting, bahkan pekerjaan kita di dalam relasi dengan Tuhan. Saya juga percaya bahwa gereja-gereja di dalam tradisi Reformed menawarkan hal ini. Namun ancaman besar bagi kita adalah pemahaman intelektual jika tanpa disertai cinta kepada kebenaran dan ketaatan kepada kebenaran, maka kita menjadi orang-orang yang semakin lama semakin menjauh dari kebenaran. Tidak ada tempat bagi kebenaran di dalam hati kita. Padahal Yesus Kristus berkata bahwa kita adalah murid-Nya, maka kita bukan hanya sekedar mengerti dan percaya bahwa itu benar, tetapi kebenaran itu akan terus berdiam di dalam hati kita. Kita akan terus berjuang untuk mengerjakan kebenaran di dalam segala situasi dalam segala konsekuensinya karena cinta kepada kebenaran.
Yesus berkata bahwa mereka tidak mengenal kebenaran. Maka Yesus berkata dengan lebih keras kepada orang-orang yang merasa diri benar. Pada ayat 41 mereka berkata bahwa Bapa mereka satu, yaitu Allah. Sebelumnya mereka berkata bahwa mereka adalah anak Abraham, sekarang mereka berkata bahwa mereka adalah anak Allah. Ketika mereka menempatkan diri mereka semakin tinggi, Yesus menarik mereka semakin rendah. Yesus berkata iblislah bapa mereka. Ketika mereka berkata bahwa mereka adalah anak Allah, mereka menempatkan Yesus sebagai keturunan iblis. Maka kita akan menemukan di dalam ayat 48 mereka berkata bahwa Yesus kerasukan setan. Mengapa Yesus berkata bahwa bapa mereka adalah iblis?
Pertama, iblis adalah pendusta karena mendustai dirinya sendiri. Iblis memiliki pengetahuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan pengetahuan itu membuatnya gemetar (Mrk. 3:11 & Yak. 2:19). Tetapi iblis tidak menyukai kebenaran sehingga ia menolak untuk melayani Allah dan menolak taat kepada kebenaran FirmanAllah.
Kedua, iblis adalah pendusta bukan hanya karena mendustai diri sendiri, tetapi dia menipu manusia. Cerita Adam dan Hawa dalam Kej. 3 menunjukkan hal ini dengan cara memutarbalikkan Firman Allah. Dia menipu diri dan menipu orang lain sehingga dia disebut sebagai pendusta. Iblis tidak menyukai kebenaran dan sekarang dia menciptakan ketidakbenaran.
Ketiga, Yesus menyebut iblis sebagai pembunuh sejak semula. Mengapa? Tipu muslihat iblis adalah merancangkan kematian umat Allah baik secara spiritual maupun lahiriah. William Hendriksen berkata bahwa dari Kejadian sampai Wahyu, setiap perlawanan terhadap umat Allah yang mengakibatkan aniaya dan pembunuhan, jangan hanya melihat itu adalah pembunuhan oleh orang yang tidak percaya, lihatlah bahwa iblis bekerja dibelakang semua itu untuk menghancurkan pekerjaan Tuhan. Dia bahkan berkata bahwa iblis berada di belakang peristiwa ketika Kain membunuh Habel. Karena iblis tahu garis yang akan menurunkan keturunan yang akan menghancurkan kepalanya pasti lahir dari Habel, maka dia membujuk Kain untuk membunuh Habel. Ketika Saul ingin membunuh Daud, hal itu bukan karena semata-mata ambisi manusia, tetapi lihatlah pekerjaan iblis dibelakangnya (1 Sam. 18:10-11). Bukankah Mesias adalah keturunan Daud? Karena iblis tahu rencana Allah, maka ia berusaha untuk menghancurkan rencana Allah. Iblis adalah pembunuh sejak semula. Sejak awal sejarah manusia sampai akhir sejarah manusia kita akan melihat iblis bekerja untuk menghancurkan manusia yang percaya kepada Allah dan merusak rencana Allah.
Yesus berkata bahwa bapa mereka adalah iblis. Berarti Yesus ingin mengatakan bahwa sikap mereka sama seperti iblis. Mereka menipu diri sendiri, mereka juga memutarbalikkan fakta dengan mengatakan Yesus adalah anak iblis, bahkan mereka merencanakan pembunuhan terhadap Mesias itu sendiri. Bukankah iblis merencanakan kematian Yesus? Konsep bapa dan anak di dalam Alkitab bukan hanya sekedar bapa dan anak secara lahiriah, tetapi juga berbicara mengenai kemiripan atau keserupaan. Maka Yesus berkata jika mereka adalah anak Abraham, mereka akan menerima Yesus karena Abraham menyambut Yesus dengan sukacita. Jika mereka anak Allah Bapa maka mereka akan mengasihi Yesus karena Allah Bapa mengasihi Yesus. Tetapi mereka berusaha untuk membunuh Yesus, maka bapa mereka adalah iblis. Mereka lebih mirip dengan iblis di dalam pikiran dan perasaan. Cara pikir mereka dan cara mereka merasa tidak sama dengan Allah tetapi pada saat yang sama justru kita dipakai oleh iblis untuk menghancurkan pekerjaan Tuhan. Baik Hamba Tuhan maupun jemaat dapat dipakai oleh Allah untuk kemuliaan-Nya di dalam Kerajaan Allah. Tetapi Hamba Tuhan dan jemaat yang ada di dalam gereja juga bisa dipakai oleh iblis untuk merusak pekerjaan Tuhan. Maka situasi itu adalah situasi yang bisa saja terjadi. Yesus melewati proses ini. Yesus mengkritisi mereka dengan keras untuk dengan jujur membukakan kepada mereka siapa diri mereka. Ketika mereka berkata bahwa mereka berasal dari Allah, seolah Yesus ingin berkata jika mereka keluar dari Bapa dan mengenal kebenaran, maka mereka akan mengasihi kebenaran maka mereka tidak mungkin tidak peduli dengan kebenaran. Mereka tidak mungkin berusaha untuk membungkam kebenaran. Bukankah ini adalah cinta yang sejati? Yesus seolah mengatakan bahwa jika mereka memang berasal dari Allah, maka mereka bukan hanya akan cinta kepada kebenaran tetapi mereka juga akan mengasihi Yesus karena Dia menyampaikan kebenaran. Mereka tidak dapat menemukan satu dosa pun di dalam diri Yesus, oleh sebab itu seharusnya mereka mengasihi Yesus lebih dari apapun. Tetapi karena Yesus benar, maka mereka melawan Dia.
Apakah kita kenal kebenaran? Bagaimana respon kita terhadap kebenaran, bahkan kebenaran yang paling menyakitkan sekalipun? Apakah ego kita dan dosa kita menjadi penghalang bagi kita untuk taat kepada kebenaran? Masalah Yahudi hari itu ketika berjumpa dengan terang dunia ini adalah mereka tidak mengenal kebenaran.
Ketiga, mereka tidak mengenal Allah di dalam Kristus dan saya kira ini adalah sumber permasalahannya. Ini menjadi aneh karena anak iblis merasa diri sebagai anak Allah dan menuduh Anak Allah yang sejati sebagai anak iblis lalu mereka berusaha membunuh Dia. Kita dapat melihat kebutaan spiritual adalah kegelapan yang paling gelap. Paulus pernah berkata bahwa ada orang yang membunuh orang lain dan mereka pikir mereka sedang melayani kebenaran. Ini adalah orang yang buta secara spiritual. Namun kebutaan yang paling gelap dialami oleh orang Yahudi hari ini. Maka sekarang Yesus memperkenalkan diri kepada mereka.
Di dalam khotbah pertama, Yesus sudah memperkenalkan diri kepada mereka sebagai terang dunia. Sekarang Yesus memperkenalkan diri sekali lagi kepada mereka dan Yesus mengatakan kepada mereka bahwa seolah-olah Dia lebih tinggi dari nabi-nabi, bahkan lebih tinggi dari Abraham. Lalu mereka bertanya memangnya siapa Yesus sehingga merasa lebih besar dari Abraham? Maka sekarang Yesus menjawab mereka dengan mengatakan bahwa memang Dia lebih besar dari Abraham dan Dia membuktikannya kepada mereka.
Pertama, mulai dari klaim yang pertama (ay. 54) berbicara mengenai keserupaan. Mereka berbeda dengan Allah dan justru Yesus menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Anak Allah.
Kedua, di dalam ayat 56 Yesus menunjukkan diri-Nya lebih besar dari Abraham karena Yesus yang menjadi sumber sukacita Abraham. Abraham bersukacita karena Abraham berjumpa dengan Yesus.
Pada waktu Abraham menaati kebenaran, pikirannya bergumul karena sulit untuk memahaminya. Hati Abraham juga bergumul karena kebenaran itu seolah melukainya. Tetapi Yesus berkata bahwa pada saat yang sama Abraham bersukacita karena Kristus adalah sumber sukacitanya. Herman Ridderbos berkata bahwa sukacita yang dimaksud oleh Yesus adalah sukacita yang bersifat religius dan berkaitan dengan keselamatan. Artinya, jika Abraham tidak melihat Yesus Kristus, maka tidak akan pernah ada keselamatan dan tidak pernah ada sukacita keselamatan di dalam diri Abraham. Sukacita keselamatan hanya bisa dinikmati oleh Abraham jika Dia percaya kepada Yesus Kristus. Hal ini berbicara mengenai iman yang melihat ke depan.
Hari ini kita adalah orang-orang yang lahir setelah peristiwa Yesus Kristus sehingga kita beriman dengan melihat kepada masa lalu. Tetapi Abraham dan orang- orang di dalam PL adalah orang-orang yang diselamatkan karena iman, bukan karena perbuatan. Alkitab mengatakan bahwa Abraham beriman kepada Kristus yang akan datang. Kej. 12 berbicara mengenai janji keselamatan bagi Abraham dan keturunannya sampai kepada pasal 17. Kemudian kita mendapati bahwa karena Abraham percaya kepada janji Allah tentang keturunan yang sedemikian maka Allah memperhitungkannya sebagai orang benar. Hal ini menjadi menarik karena Paulus juga mengatakan bahwa oleh keturunan yang satu itu (Mesias) semua bangsa akan menikmati berkat keselamatan dan jikalau kita adalah milik Kristus, maka kita juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah (Gal. 3:16&29). Dengan demikian Abraham percaya kepada janji Allah mengenai Mesias. Inilah yang Yesus katakan bahwa Abraham percaya karena dia telah melihat hari Yesus. Peristiwa ini berjarak antara 1000 s/d 1500 tahun dari peristiwa Abraham sampai Yesus Kristus, namun Abraham selamat karena dia melihat kepada Yesus Kristus. Tetapi Gal. 3:13 berkata bagaimana Dia menjadi berkat bagi semua bangsa, yaitu dengan cara menjadi kutuk di atas kayu salib. Abraham harus mengerti hal ini. Orang Yahudi di dalam PL dapat menikmati keselamatan bukan karena mereka mempersembahkan korban, tetapi ketika mereka mempersembahkan korban, mereka melihat kepada keturunan Abraham yang dijanjikan oleh Allah. Sehingga ketika orang-orang dalam PL mempersembahkan korban, mereka tidak meletakan pengharapan mereka kepada domba yang mereka korbankan, tetapi mereka berharap kepada Anak Domba yang dijanjikan oleh Allah. Ketika Abraham menerima janji ini, dia bersukacita pertama-tama karena Abraham menikmati keselamatan melalui janji itu karena dia beriman. Kedua, setelah dia beriman, Allah memakai dia sebagai alat untuk menggenapi janji-Nya. Maka ada sukacita yang besar di dalam diri Abraham yang berporos kepada Kristus yang menyelamatkannya dan yang memakai dia sebagai alat di dalam pekerjaannya. Abraham adalah seorang tuan dan bukanlah hamba siapapun. Namun dia bersukacita karena dia melayani satu Tuan yang lebih besar dari pada dirinya.
Maka Yesus berkata bahwa jika mereka mengenal Abraham, maka mereka akan melakukan apa yang dilakukan oleh Abraham, yaitu percaya sehingga diselamatkan dan melayani Allah yang besar. Dengan tegas Yesus menunjukkan kepada mereka bahwa diri- Nya lebih besar dari Abraham. Maka mereka komplain karena usia Yesus pada saat itu belumlah 50 tahun, lalu bagaimana bisa Abraham sudah melihat Yesus? Yang saya jelaskan bukan sesuatu yang baru bagi orang- orang itu. Ketika Yesus mengatakan hal ini, mereka mengerti bahwa Yesus sudah dilihat oleh Abraham dan Abraham selamat karena berjumpa dengan Yesus. Oleh sebab itu mereka marah dan mereka berkata bahwa Yesus belumlah 50 tahun, lalu bagaimana bisa Abraham sudah melihat Yesus. Maka Yesus memberikan sebuah kalimat yang begitu keras: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Dia mengatakan hal yang sama ketika Dia berkata Akulah terang dunia (ego eimi). Dia mengklaim diri-Nya sebagai YHWH. Oleh sebab itu di dalam ayat 59 mereka ingin melempari Dia dengan batu karena ini adalah klaim keilahian. Abraham melayani Yesus karena Yesus adalah pribadi yang ilahi. Hal ini akan konsisten dengan Yoh. 1:1. Klaim Yesus tentang keilahian-Nya adalah sebuah klaim yang membuat orang Yahudi berespon dengan begitu marah karena mereka mengerti bahwa ini adalah klaim keilahian. Maka sekali lagi sebagai orang Kristen seharusnya kita tidak perlu minder ketika orang lain berkata bahwa Yesus tidak pernah klaim bahwa diri-Nya Allah. Berkali-kali Yesus melakukan klaim keilahian-Nya, setidaknya Alkitab mencatat sebanyak delapan kali. Karena klaim ini maka kita juga menemukan bahwa Yesus ingin dilempar dengan batu sebab klaim yang Dia katakana dianggap hujat kepada Allah.
Tetapi apakah benar bahwa Yesus menghujat Allah? Jika Yesus menghujat Allah, maka Dia tidak akan dibangkitkan pada hari yang ketiga. Dia dibangkitkan pada hari yang ketiga karena Dia menyampaikan kebenaran. Paling tidak di dalam percakapan ini sekali lagi Yesus menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Allah ketika tidak ada satu orang pun yang dapat menemukan dosa pada diri Yesus. Hal ini berbicara mengenai Allah yang suci. Dan ketika Dia berkata sebelum Abraham ada Dia telah ada, Dia ingin berkata bahwa Dia adalah Allah yang kekal. Tetapi karena Dia berbicara dengan orang-orang yang sedang bergumul, maka Allah yang kekal ini juga berkata kepada mereka bahwa Ia adalah Alfa dan Omega. Yesus ingin mereka kenal siapa Allah yang sejati. Saya kira ini juga adalah pertanyaan bagi kita:
Apakah kita mengenal Kristus dan percaya kepada-Nya sebagai Allah dan penyelamat? Jika kita pernah berjumpa dan mengenal sang terang dunia itu, maka seharusnya kita tidak memiliki pilihan yang lain selain percaya kepada Firman dan memberi diri kita untuk melayani Dia di dalam segala situasi. Harus ada tempat di dalam hati kita bagi Kristus dan Firman-Nya. Harus ada tempat bagi Kristus dan Firman-Nya di dalam seluruh dimensi kehidupan kita. Karena jika Dia adalah Tuhan, maka Dia adalah pemilik seluruh dimensi kehidupan kita.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)