Yudas 1:1-7
Pdt. Johanis P. Kamuri, M.Th., M.Hum.
Hari ini kita akan melihat tiga poin terkait dengan apa yang harus kita lakukan untuk mempertahankan jati diri kita. Ayat 5 memberi peringatan kepada kita agar kita tetap melihat kepada sejarah untuk memperingatkan gereja yang sejati agar terus-menerus berjuang untuk tetap percaya kepada Allah. Kita tidak boleh kehilangan iman. Kita harus terus menerus mengimani Allah dan kebenaran-Nya. Kita tidak boleh meragukan Allah dan kebenaran-Nya.
Perjuangan gereja adalah mempertahankan kebenaran, maka kita akan melihat di dalam sejarah gereja terdapat begitu banyak perdebatan. Tetapi apa gunanya kebenaran itu tetap ada pada kita jika kita tidak memercayai kebenaran itu? Tanggung jawab kita yang pertama adalah mempertahankan kebenaran, tetapi yang kedua kita memiliki tanggung jawab untuk mengimani dan memercayai kebenaran itu. Hal ini berbicara mengenai dimensi objektif dan subjektif. Secara objektif Allah memberikan Alkitab kepada kita. Ada doktrin-doktrin yang dirumuskan berdasarkan Alkitab. Tetapi secara subjektif kita tidak boleh gagal untuk menghidupi kebenaran yang kita pelajari. Kebenaran diberikan untuk diimani dan dihidupi. Ketidakpercayaan membuat kita gagal untuk menghidupi sesuatu yang benar yang kita pahami.
Israel adalah umat Allah. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan menyaksikan augerah Allah. Bebas dari Mesir adalah anugerah Allah yang besar. Bahkan sering kali dipakai sebagai simbol dilepaskan dari belenggu iblis dan belenggu dosa. Mereka melihat mujizat yang dikerjakan oleh Tuhan. Mereka mengalami mujizat-mujizat yang dikerjakan oleh Tuhan, bahkan mereka melihat bagaimana Allah berfirman kepada Musa. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan firman Allah dan firman Allah itu dikonfirmasi melalui berbagai macam perbuatan Allah yang ajaib. Mereka adalah orang yang tahu kebenaran, tetapi pada saat yang sama mereka juga tahu bahwa firman itu adalah “ya” dan “amin”, tetapi mereka gagal untuk memercayai firman. Tuhan berkata bahwa Ia akan memimpin Israel sampai ke tanah Kanaan, tetapi kita tahu berapa kali Israel meragukan Tuhan. Paling tidak Allah sendiri berkata sebanyak kali bahwa Israel telah mencobai Dia. Zakharia dan Maria mengucapkan pertanyaan yang sama tetapi yang satu dihukum dan yang lain tidak. Maka saya tidak percaya bahwa mujizat dapat membuat orang percaya kepada Tuhan. Firaun melihat mujizat dan ia juga tidak percaya sampai mati. Mujizat tidak mengubah apa-apa. Kita yang harus berjuang untuk percaya kepada sesuatu yang telah dinyatakan oleh Allah di dalam Kitab Suci. Zakharia gagal untuk percaya, gagal untuk menghubungkan hidupnya dengan apa yang tercatat di dalam Kitab Suci dan dengan demikian Allah menghukum dia. Bagaimana dengan Maria? Maria mengatakan bahwa ia adalah seorang Hamba Tuhan. Ia percaya tetapi ia ingin tahu prosesnya. Maka malaikat memberi tahu mengenai prosesnya bahwa Roh Kudus akan turun ke atasnya lalu bagaimana cara anak itu akan hadir di dalam kandungan Maria. Rasa ingin tahu adalah sesuatu yang baik. Ketika kita berhadapan dengan anak-anak sering kali kita menjumpai pertanyaan-pertanyaan sulit dan menjengkelkan. Rasa ingin tahu mereka harus dijawab, karena Tuhan menjawab rasa ingin tahu Maria. Kita harus berjuang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, karena mungkin melalui pertanyaan-pertanyaan itu iman mereka dibawa untuk menjadi lebih kuat. Sehingga jika ada pertanyaan-pertanyaan di dalam hati, kita juga tidak perlu merasa berdosa. Kita percaya kepada Tuhan, kita percaya bahwa Alkitab adalah Kitab Suci. Dan jika Alkitab adalah Kitab Suci maka akan ada banyak misteri yang tidak mungkin bisa kita pahami secara tuntas dengan akal budi kita. Maka akan muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiran kita. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar, tetapi jika pertanyaan ini muncul di dalam pikiran kita, kita harus mencari jawaban di tempat yang tepat. Rasa ingin tahu tidak ditolak oleh Allah. Justru Allah memberkati Maria setelah Maria menyatakan keingintahuannya itu. Yang Allah tolak adalah ketidakpercayaan. Kita harus menjaga diri kita sedemikian rupa agar jangan sampai kita gagal untuk percaya kepada Allah yang telah berfirman dan firman itu sendiri. Jika Dia adalah Allah yang benar, Dia tidak pernah berdusta. Dengan demikian firman-Nya adalah sesuatu yang layak untuk dipercaya. Oleh sebab itu Ia menghukum ketidakpercayaan.
Di dalam dunia ini ada tiga macam ketidakpercayaan dan gradasinya mulai dari ketidakpercayaan itu sendiri sampai penghukumannya. Yang pertama adalah ketidakpercayaan karena tidak tahu. Ada orang yang sampai mati tidak pernah mendengarkan Injil. Apakah ia akan dihakimi oleh Allah? Tentu saja semua orang akan dihakimi oleh Allah. Tetapi Allah tidak menghakimi berdasarkan ia percaya atau tidak percaya karena itu bukanlah urusannya karena Allah tidak pernah menyatakan diri kepada dia. Roma 2:14-16 memberi petunjuk kepada kita bahwa orang-orang yang tidak pernah mendengar Injil dihakimi oleh Allah berdasarkan hukum-hukum moral yang Allah tuliskan di dalam hati nurani mereka. Allah menuntut mereka untuk melakukan semua itu secara sempurna. Tetapi tidak ada yang sempurna mengerjakan semua itu. Allah menghakimi mereka dan penghakiman itu dikerjakan berdasarkan hukum yang telah dinyatakan kepada mereka. Tetapi yang kedua, ada orang-orang yang tidak percaya karena memang mereka tidak peduli. Ini adalah orang-orang yang sudah mendengar Injil, tetapi kemudian sengaja menolak dengan berbagai macam alasan. Orang-orang ini akan dihakimi oleh Allah karena ketidakpercayaan mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah yang ketiga, yaitu mereka tidak percaya meskipun mengerti dan mengakui bahwa mereka menerima kebenaran itu. Biasanya orang-orang di gereja percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah, mengakui itu adalah kebenaran, tetapi kita gagal untuk menghidupinya. Kita mendengar firman dan menjadi mengerti, kita menerima semua itu dan mengakui dengan mulut bahwa semua itu adalah kebenaran, tetapi kita gagal untuk mengimaninya sehingga kita tidak melakukannya di dalam kehidupan kita.
Penghakiman dimulai dari rumah Tuhan. Penghakiman tidak dimulai dari luar sana. Perhatikan juga bahwa Alkitab mengatakan bahwa dari yang lebih banyak tahu lebih banyak dituntut. Persoalannya adalah kita adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mencari tahu. Kita tidak boleh berhenti belajar. Setelah kita belajar, kita menjadi banyak tahu. Setelah kita banyak tahu maka kita semakin banyak dituntut. Jangan sampai karena prinsip ini kita memilih untuk tidak belajar. Tuntutan kita menjadi lebih berat.
Mengapa Allah menuntut iman kepada kita? Jika kita gagal untuk percaya dan gagal untuk beriman, berarti kita meragukan dan mempertanyakan pribadi Allah dan kuasa-Nya. Kita tidak pernah bisa mendapatkan kasih yang sejati dari orang yang di dalam hidupnya tidak pernah mengenal Allah Tritunggal dan di dalam hidupnya tidak ada Allah Tritunggal. Allah adalah kasih, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain mengasihi tanpa ada Allah yang adalah kasih di dalam hidupnya? Jika kita mengharapkan kasih yang sejati, tidak mungkin kita mencari orang yang ada di luar Kristus. Sehingga mau tidak mau jika kita percaya bahwa Allah kita adalah Allah yang menyediakan yang terbaik, kita perlu sedikit bersabar untuk menantikan waktu Tuhan. Mereka yang sudah menikah pun memiliki prinsip yang sama. Kita menikah dengan manusia yang berdosa, bukan malaikat. Malaikat saja dapat jatuh ke dalam dosa, apalagi manusia. Hanya satu yang harus kita punya agar kita bisa terus bertahan dalam situasi itu sampai akhir di dalam ketaatan kepada Tuhan, yaitu percaya kepada Allah dan firman-Nya. Karena jika kita tidak percaya kepada Allah dan firman-Nya, kita bukan hanya meragukan Tuhan, tetapi ketidakpercayaan atau tidak beriman kepada Allah senantiasa bermuara kepada dua hal, yaitu dosa dan penyembahan berhala. Allah melihat hal ini sebagai sesuatu yang serius. Ketika Israel gagal untuk percaya kepada Allah, mereka selalu berdosa kepada Dia. Mereka bersungut-sungut kepada Dia. Setiap kali mereka bergumul, mereka ingat akan Mesir dan mereka meragukan Tuhan yang memberikan kepada mereka segala sesuatu yang baik. Pikiran dan hati kita adalah pikiran dan hati yang tidak mungkin tidak bersandar kepada sesuatu. Pikiran dan hati kita didesain sedemikian rupa sehingga tidak mungkin tidak mencari sesuatu untuk dipercayai atau disandari. Sehingga jika kita tidak mau percaya kepada Tuhan, kita pasti percaya kepada sesuatu yang lain. Entah itu diri kita sendiri, atau orang lain, atau sesuatu yang lain dan semua itu menjadi berhala jika kita meletakan seluruh hidup kita kepadanya dan bukan kepada Allah. Jika kita tidak percaya kepada Allah, maka kita percaya kepada siapa? Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tidak memercayai siapapun, karena ketika kita mengatakan tidak memercayai apapun, pada saat itu kita sedang memercayai logika kita yang menentukan siapa yang dapat dipercaya dan siapa yang tidak dapat dipercayai. Sehingga mau tidak mau kita hanya memiliki satu kewajiban sebagai orang percaya agar tidak hilang jati diri kita sebagai orang percaya, yaitu Allah menuntut kita untuk memelihara iman itu.
Kita harus meyakinkan dan menguatkan hati kita untuk percaya kepada Allah dan firman-Nya. Salah satu pergumulan kita selain dengan dosa adalah bergumul untuk meyakinkan hati kita sendiri agar tetap percaya kepada Allah dan firman-Nya. Percaya kepada Allah adalah tanggung jawab kita untuk terus berjuang sedemikian rupa agar tetap percaya kepada Allah. Tetapi apakah ada dasar bagi kita untuk percaya? Kita tidak boleh percaya secara “buta”. Iman tidak meloncat tanpa kepastian. Kita dituntut untuk beriman dengan melihat kepada perbuatan Allah di masa lalu. Kita dapat melihat kepada catatan Alkitab bagaimana Allah memelihara umat-Nya. Bahkan jika Allah membandingkan dengan gereja hari ini dengan Israel di masa lalu, maka Allah akan menuntut lebih banyak dari gereja hari ini. Israel di dalam Perjanjian Lama belum mendengar dan menyaksikan secara langsung mengenai Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang diberikan bagi mereka. Mereka hanya menemukan tanda yang menunjuk kepada Kristus. Tetapi kita adalah umat Allah di dalam Perjanjian Baru dan kita mendapatkan lebih banyak dari Israel.
Paulus berkata bahwa jika Dia telah memberikan Kristus bagi kita, apalagi yang tidak akan Dia berikan kepada kita? Maka seharusnya kita memiliki semacam fondasi untuk percaya kepada Kristus yang telah diberikan bagi kita. Ini adalah peringatan yang pertama. Jangan sampai kita tidak percaya kepada Allah. Ketidakpercayaan adalah hal yang akan mengancam jati diri kita sebagai orang percaya.
Kedua, Yudas mengajak kita untuk belajar dari malaikat (ayat 6). Allah menciptakan malaikat sama seperti ketika Allah menciptakan manusia, yaitu suci dan dituntut untuk taat sehingga kesucian itu terpelihara. Allah tidak menciptakan malaikat sebagai ciptaan yang berdosa. Karena malaikat diciptakan sebagai ciptaan yang suci, yang memiliki tugas untuk melayani Allah, maka malaikat memiliki tanggung jawab untuk taat kepada Allah. Kedua, Allah menciptakan malaikat sebagai ciptaan yang harus dibatasi oleh kebenaran firman Allah. Artinya dia tidak boleh bertindak lebih dan kurang dari apa yang telah difirmankan oleh Allah. Ada tanggung jawab yang dituntut dari Allah kepada para malaikat. Tetapi tampaknya malaikat ini adalah malaikat-malaikat yang tidak puas dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka.
Mazmur 119 berkata bahwa firman Allah itu baik, tetapi ketika harus ditaati seperti penindasan. Sehingga bisa saja seseorang ketika melakukan kehendak Tuhan, mereka harus memaksa diri mereka untuk taat kepada kehendak Allah. Ketika kita memutuskan untuk taat kepada kehendak Tuhan, kita harus membiarkan diri kita ada di dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hal ini mengandaikan kita menaklukan kebebasan kita kepada Tuhan. Malaikat-malaikat yang jatuh memutuskan untuk melewati batas-batas itu. Maka pada ayat 6 kita dapat melihat bahwa mereka tidak taat kepada batas-batas kekuasaan mereka. Allah menjadikan mereka ciptaan yang begitu mulia. Bahkan mereka lebih mulia dari manusia, tetapi mereka melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah. Mereka tidak hidup sebagaimana yang seharusnya. Mereka tidak puas untuk menikmati apa yang telah Allah berikan kepada mereka. Saya kira hal ini menjadi salah satu ancaman spiritual kita, yaitu tidak puas dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Hati-hati dengan keserakahan. Ketidakpuasan yang tidak suci yaitu ketika Allah memberikan sesuatu kepada kita, kita menikmatinya, tetapi lama kelamaan kita menjadi bosan, sehingga kita tidak puas lalu kita menginginkan yang lebih padahal Allah mengatakan “tidak”. Tetapi jika kita membaca firman Tuhan lalu kemudian kita mendapat sukacita, juga jangan berpuas diri karena ini adalah kepuasan yang tidak suci. Kita tidak dapat berpuas hanya dengan iman yang kita punya hari ini karena Allah telah memberikan satu standar, yaitu hendaklah sempurna seperti Kristus. Berarti sepanjang hidup kita tidak bisa berpuas diri karena Kristus sempurna dan kita tidak. Ketika kita bertumbuh, kita tidak boleh mengalami stagnansi. Jadi ada kepuasan yang suci dan ada kepuasan yang tidak suci, ada ketidakpuasan yang suci dan ada ketidakpuasan yang tidak suci.
Ketika Allah menetapkan batas dan malaikat melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah, mereka seolah mengatakan bahwa mereka lebih tahu siapa diri mereka dari pada Allah. Terkadang kita melakukan hal yang sama, tetapi kemudian kita melihat ada hukuman di dalam ayat 6 dari Allah kepada para malaikat. Justru karena mereka melakukan hal itu maka mereka dibelenggu dengan belenggu abadi sehingga mereka hanya menantikan penghakiman Allah. Hal ini menjadi menarik. Bukankah malaikat yang jatuh itu seperti manusia yang memiliki kebebasan sehingga ia dapat menggoda kita? Lalu apa maksud Allah mengatakan bahwa mereka diikat? Malaikat adalah makhluk spiritual sehingga tidak dapat diikat dengan hal-hal yang bersifat lahiriah. Saya setuju dengan seorang penulis yang mengatakan bahwa roh tidak dapat dirantai. Allah mengikat mereka dengan cara membiarkan mereka tahu bahwa mereka akan dihukum karena mereka berbuat dosa. Tetapi Allah tidak membiarkan mereka untuk meninggalkan dosa-dosa itu. Inilah yang disebut dengan dibiarkan oleh Tuhan. Jika kita berdosa lalu kemudian Tuhan memukul kita seperti Tuhan menghajar Daud dan Daud kembali, itu adalah anugerah Tuhan. Tetapi jika Tuhan membiarkan sehingga kita justru menikmati dosa dan tidak keluar dari keberdosaan kita, jangan-jangan ini adalah tanda bahwa Tuhan membuang kita.
Malaikat lebih mulia dari kita dan malaikat tidak diberikan kesempatan untuk menikmati keselamatan dari Tuhan. Siapa kita sehingga sampai hari ini kita masih bisa menikmati keselamatan? Pemazmur mengatakan bahwa sejak dalam kandungan kita adalah orang berdosa. Setelah kita lahir, kita terus menerus memberontak kepada Allah, tetapi Allah memberikan kesempatan bagi kita untuk menikmati keselamatan seolah-olah kita lebih mulia dan lebih berharga dari malaikat. Kristus diberikan bagi kita, bukan diberikan kepada para malaikat untuk menikmati keselamatan. Siapa kita?
Terakhir, orang-orang di Sodom dan Gomora adalah orang-orang yang terus menerus mencari kepuasan-kepuasan yang tidak wajar. Mereka hidup di dalam dosa. Mereka lebih parah dari semua bangsa yang lain. Ada lima kota yang disebutkan (Bd. Kej. 19, Ul. 29, Hos. 11), maka Yudas memakai istilah Sodom Gomora dan kota-kota disekitarnya. Lima kota menghidupi dosa kedagingan yang asing. Kedagingan berbicara mengenai dosa dan yang dimaksud adalah dosa homoseksual. Tetapi yang ingin Yudas katakan adalah bahwa mereka pada waktu itu begitu bergairah di dalam dosa, menikmati dosa, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa keluar dari dosa.
Semua manusia telah berdosa, tetapi yang membedakan orang percaya dari orang yang tidak percaya adalah adanya Roh Kudus yang ada di dalam hati orang percaya. Ketika kita berdosa, kita akan digelisahkan oleh Tuhan. Semua kita, bahkan seorang pendeta yang besar sekalipun memiliki kelemahan tertentu dan jika dia adalah umat pilihan Allah, Allah tidak akan pernah membiarkan orang percaya terus menerus menikmati dosa dan berkubang di sana. Itulah mengapa Alkitab mengatakan bahwa ketika kita jatuh tidak akan sampai tergeletak. Bukan berarti bahwa orang percaya tidak pernah jatuh sama sekali. Tidak jatuh tergeletak artinya adalah Tuhan tidak pernah membiarkan kita untuk terus menerus berkubang di dalam dosa. Dan yang ketiga, jangan menjadi orang-orang yang serakah di dalam dosa. Jika kita gagal untuk melakukan hal ini, kita pasti akan kehilangan jati diri kita sebagai umat Allah.
Israel adalah gereja di dalam Perjanjian Lama, yang menikmati berkat-berkat spiritual seperti yang dinikmati oleh gereja di dalam Perjanjian Baru. Ada firman Allah, ada mujizat, ada pelayanan. Mereka melihat semua itu. Mereka adalah bangsa yang istimewa pada masa itu. Malaikat adalah makhluk sorgawi yang terus menerus melihat wajah Allah, sesuatu yang tidak dialami oleh manusia. Malaikat adalah makhluk sorgawi yang hari demi hari melihat wajah Allah dan menikmati persekutuan dengan Allah. Mereka lebih istimewa dari Israel. Sementara Sodom dan Gomora memang bukan tidak bisa disebut sebagai umat Allah pada masa itu. Tetapi di antara seluruh warga dunia, mereka adalah orang-orang yang juga menikmati kelimpahan berkat-berkat material.
Dari tiga perbandingan ini kita dapat belajar beberapa hal: Pertama, berkat dan status istimewa yang hari ini kita miliki tidak pernah bisa mencegah kita dari dosa. Kedua, berkat dan status semulia apapun itu tidak akan pernah meloloskan kita dari hukuman karena dosa. Ketiga, berkat-berkat yang kita nikmati bukanlah tanda utama penyataan Tuhan. Tuhan menyertai kita, Dia dapat memberikan berkat-Nya. Tetapi ketika Tuhan menyertai kita, ada kalanya kita Dia juga mengambil berkat-berkat yang kita miliki sehingga kita harus datang kepada Dia dan semata-mata bergantung kepada Dia. Tetapi kita juga dapat melihat tiga hal ini istimewa. Sodom mewakili orang-orang yang umum di luar sana yang diberkati oleh Tuhan. Israel mewakili kita yang ada di dalam gereja yang juga diberkati oleh Tuhan. Malaikat mewakili makhluk-makhluk yang bahkan lebih istimewa dari pada para manusia, baik itu Sodom maupun Israel. Pertanyaannya adalah, apakah ada yang lebih istimewa dari pada ketiga hal ini? Kristus. Kristus adalah oknum kedua Allah Tritunggal. Dia adalah anak Allah yang tunggal, pewaris kerajaan Allah yang dikasihi oleh Allah dan memiliki relasi yang intim dengan Allah. Jika malaikat dapat melihat muka dengan muka dengan Allah, maka relasi mereka tidak akan lebih intim dari pada relasi Kristus dengan Bapa. Tetapi satu pribadi yang sangat istimewa inipun tidak diloloskan Allah dari hukuman karena dosa. Dosa adalah perkara yang serius sehingga status manusia yang istimewa tidak membuat manusia lolos dari dosa dan hukuman. Tetapi ketika Kristus menjadi manusia, dosa-dosa kita ditimpakan kepada Dia. Status istimewa itu tidak membuat Kristus lolos dari hukuman. Pribadi yang istimewa ini menanggung dosa kita dan Allah tidak meloloskan Dia dari murka-Nya agar kita yang biasa-biasa saja ini menjadi umat Allah yang istimewa.
Anak Allah harus melewati proses yang begitu sulit seolah Dia bukan apa-apa agar kita yang bukan apa-apa ini diangkat menjadi anak-anak Allah. Pribadi yang suci itu harus diperlakukan sebagai orang yang berdosa dan menanggung seluruh hukuman dosa agar kita menjadi umat Allah yang disucikan oleh Allah. Dia tidak boleh lolos dari penghakiman Allah agar kita lolos dari penghakiman Allah. Malaikat tidak lolos, manusia biasa tidak lolos, umat Allah tidak lolos, dan Anak Allah juga tidak lolos. Tetapi anak Allah tidak boleh lolos agar kita dapat lolos. Maka siapa kita sehingga dapat menikmati berkat yang tidak dinikmati oleh malaikat, tidak dinikmati oleh Sodom dan Gomora, dan bahkan tidak dinikmati oleh sebagian Israel? Siapa kita sehingga kita dapat menikmati semua itu dalam Kristus? Yudas mengatakan bahwa karena kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh Bapa. Maka sudah sewajarnya kita menghidupi hidup yang benar sebagai orang yang dikasihi oleh Bapa sebagai respon kita kepada Tuhan.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)