Eksposisi Kitab Yudas #4

Posted on

Yudas 1:8-10
Pdt. Johanis P. Kamuri, M.Th., M.Hum.

Peringatan-peringatan yang diberikan di dalam ayat 5-7 adalah anugerah Tuhan. Ketika kita melihat sejarah dan kita bisa belajar sesuatu dari sana, itu merupakan anugerah Tuhan untuk kita. Ini adalah sarana yang Tuhan pakai untuk mengekang dosa kita. Ketika kita melihat kepada otoritas Allah, otoritas gereja, otoritas sipil, atau kita melihat sesama orang percaya yang dengan berani menegur kita, kita harus melihatnya sebagai sarana yang dipakai oleh Allah untuk mengubah kehidupan kita. Dengan demikian saling menegur dan mengoreksi merupakan hal yang biasa di dalam kehidupan gereja. Kita yang dipersekutukan ini adalah orang-orang yang justru ditempatkan sebagai penjaga bagi saudara kita. Mau tidak mau kita harus menegur ketika kita melihat sesuatu yang salah. Melalui teguran-teguran itu dosa dikekang, tetapi kemudian ayat 8 dimulai dengan kata “namun demikian”. Setelah ada peringatan-peringatan ini, orang-orang yang tidak percaya, meskipun mereka ada di dalam gereja, mereka tidak sadar bahwa Allah sedang menegur mereka. Mereka terus menerus bertahan untuk hidup di dalam dosa. Apa yang membuat mereka atau gereja yang palsu terus menerus tinggal di dalam dosa meskipun sudah ada teguran dan anugerah Allah untuk membatasi dosa mereka, mengekang dosa mereka dan membalikkan mereka kepada status sebagai gereja yang sejati? Apa yang menahan orang-orang yang tidak percaya, gereja yang palsu yang ada di tengah-tengah gereja yang sejati sehingga mereka terus menerus berbuat dosa?

Hal pertama yang membuat kita bisa terus menerus ada di dalam ketidakpekaan atau kebutaan secara spiritual adalah standar yang salah. Kita dibutakan oleh standar rohani atau rujukan yang tidak benar. Kita mengambil kitab suci yang lain, yang bukan firman Allah untuk dijadikan standar hidup. Semua manusia butuh standar dan orientasi bagi hidupnya. Harus ada petunjuk yang jelas bagi kita agar kita bisa melangkah. Jika orientasi atau petunjuk yang kita pakai salah, maka kita tidak akan sampai kepada tempat yang tepat. Tetapi Yudas mengatakan bahwa mereka mencari orientasi dan mereka menemukan orientasi atau standar yang salah bagi kehidupan mereka. Bentuk asli kalimat ini bukan hanya bermimpi sekali-kali atau mendapatkan pengelihatan sekali-kali saja, tetapi tensisnya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terus menerus mendapatkan mimpi dan pengelihatan. Sebenarnya dari tensisnya saja sudah aneh. Bagaimana bisa ada orang yang terus menerus mendapatkan mimpi sebagai bagian dari wahyu Allah untuk menuntun mereka? Ini bukanlah gejala yang baru di zaman kita. Ini adalah sesuatu yang pernah terjadi, maka Alkitab mengatakan bahwa tidak pernah ada yang baru di dalam dunia. Ada orang yang bergantung semata-mata kepada mimpi dan pengelihatan. Ada masalah di sini karena di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, orang-orang yang dapat mimpi sebagai petunjuk untuk melangkah dalam hidup hanya satu kali seumur hidup. Kalaupun itu terjadi, tidak mungkin setiap hari. Hari ini kita menemukan orang yang mendapat mimpi setiap hari untuk mengarahkan hidupnya. Kita harus berhati-hati karena Yudas menyebut orang ini sebagai orang-orang yang bermimpi dan tensisnya adalah terus menerus mendapatkan mimpi kemudian mimpi itu dijadikan sebagai fondasi bagi klaim kenabian. Mereka mengatakan bahwa mereka memiliki otoritas untuk mengarahkan hidup mereka, bahkan kehidupan jemaat oleh karena mereka terus menerus mendapatkan mimpi dan pengelihatan. Mimpi dan pengelihatan ini bisa dijadikan sebagai rival revelation. Ada firman Allah, tetapi kemudian mimpi dan pengelihatan yang mereka dapatkan dijadikan sebagai orientasi tindakan lebih dari pada firman Allah. Di dalam kehidupan kita, kita adalah umat Allah sehingga yang mengarahkan kehidupan kita seharusnya adalah firman. Tetapi mereka mendapatkan sesuatu yang lain, yaitu mimpi. Lalu kemudian mimpi-mimpi ini ditempatkan kepada otoritas yang seolah-olah lebih tinggi dari firman Allah. Dan inilah yang mengarahkan langkah atau perjalanan hidup mereka. Kedua, mimpi dan pengelihatan itu membuat mereka merasa superior, menghasilkan perasaan superior seolah-olah mereka lebih tinggi dari para rasul, mereka lebih tinggi dari jemaat-jemaat yang lain. Bahkan jika kita perhatikan pada ayat 8-10 mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari para malaikat. Dengan demikian mimpi dan pengelihatan sebagai fondasi untuk membenarkan tindakan mereka. Jadi mimpi sebagai alat untuk menentukan langkah hidup. Kedua, berdasarkan mimpi dan pengelihatan, mereka menolak koreksi dari orang lain karena orang lain dianggap lebih inferior. Pada bagian kedua kita akan melihat bahwa bahkan malaikatpun tidak dapat menegur mereka oleh karena bagi mereka, mereka lebih mulia dan lebih besar dari siapapun. Di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada banyak orang yang mendapatkan petunjuk melalui mimpi. Petrus dipimpin untuk melayani orang non-Yahudi melalui pengelihatan sehingga ini adalah hal yang positif. Namun kita juga harus ingat bahwa di dalam Alkitab Perjanjian Lama kita juga menemukan bahwa mimpi dan pengelihatan juga bisa menjadi petunjuk untuk melihat mana nabi asli dan mana nabi palsu. Artinya nabi-nabi palsu juga memiliki kemampuan untuk bermimpi dan mendapatkan pengelihatan. Berarti mimpi merupakan sebuah hal yang ambigu, bisa benar dan bisa salah. Jika mimpi bisa salah maka kita tidak dapat menjadikannya sebagai standar utama di dalam kehidupan kita. Kita juga tidak dapat menjadikan pengelihatan sebagai standar utama. Mimpi dan pengelihatan merupakan hal yang personal. Jika mimpi kita tidak pernah sama persis, berarti mimpi adalah hal yang sangat subjektif. Kita tidak pernah bisa menjadikan hal ini sebagai petunjuk bagi hidup kita. Pengalaman hidup kita juga tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk. Kita bisa menggunakan sesuatu yang relatif untuk mengarahkan kehidupan kita. Hal ini berlaku bagi pengalaman dan berlaku juga bagi mimpi-mimpi kita. Oleh sebab itu maka di dalam Perjanjian Lama, mimpi dan pengalaman adalah sesuatu yang harus diuji. Sering kali kita menganggap negatif ujian. Ujian terhadap mimpi tidak hanya bertujuan agar kita menolak mimpi, tetapi ujian dilakukan agar kita bisa menerima yang benar. Jadi bagi saya sebenarnya perintah untuk menguji tidak selalu mengimplikasikan bahwa orang Kristen anti terhadap mimpi dan pengelihatan. Tetapi mimpi dan pengelihatan harus diuji agar kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak. Jika seandainya mimpi dan pengelihatan tidak cocok dengan deskripsi Alkitab, maka kita harus berhati-hati, bahkan kita harus berani untuk menolak. Tetapi jika saya mengatakan bahwa mimpi dan pengelihatan harus diuji, berarti ada sesuatu yang lebih tinggi dari mimpi dan pengelihatan. Jika saya menguji dan menentukan mimpi ini benar atau salah, maka harus ada hal yang lebih tinggi dari mimpi dan pengelihatan. Apa itu? Firman Allah. Alkitab selalu memberi petunjuk kepada kita bahwa mimpi dan pengelihatan itu harus diuji berdasarkan firman Tuhan. Berarti firman Tuhan jauh lebih tinggi otoritasnya dari pada mimpi. Tetapi hari ini kita akan mendapati bahwa orang-orang yang cenderung kepada mimpi dan pengelihatan lebih meninggikan mimpi dan pengelihatan dari pada firman Tuhan.

Jika kita tidak merujuk kepada standar yang benar maka kita akan kehilangan kepekaan terhadap dosa dan kesalahan yang mengancam kehidupan kita. Jika tidak ada standar yang benar dan tepat untuk menguji mana yang benar dan mana yang salah. Itulah mengapa ayat 8 berkata bahwa mereka mendapatkan mimpi dan pengelihatan tetapi mimpi dan pengelihatan itu justru memimpin mereka untuk mencemarkan tubuh mereka. Jika kita peka terhadap apa yang benar dan apa yang salah, maka kita akan dipimpin untuk melawan sesuatu yang salah dan mengarahkan hidup kepada kebenaran. Tetapi jika setelah kita mengklaim begitu banyak karunia yang ada di dalam kehidupan kita dan karunia-karunia ini justru memimpin kita untuk berlawanan dengan firman, bahkan kita terjerumus ke dalam dosa, seharusnya kita sadar bahwa standar ini pasti bukanlah standar yang benar.

Jika kita memilih standar rohani yang salah, maka yang pasti terjadi adalah justru kesombongan secara spiritual. Standar yang digunakan justru akan membuat kita merasa lebih tinggi dari yang lain. Hal ini pernah terjadi di dalam Kitab 1 Korintus. Karena orang-orang berfokus kepada karunia, bukan berfokus kepada firman yang memimpin bagaimana menggunakan karunia, kita mendapati perpecahan di dalam gereja di Korintus. Salah satu yang sangat mengerikan di dalam Korintus, pertama-tama adalah dosa, dan yang kedua adalah perpecahan di antara jemaat yang mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Allah. Jemaat yang sudah dipersatukan menjadi terpecah. Bukan karena benar atau tidak benar, tetapi oleh karena karunia-karunia yang mereka miliki. Masing-masing menganggap diri lebih tinggi dari yang lain. Standar apapun yang kita gunakan, jika standar itu salah meskipun itu adalah standar yang paling rohani sekalipun, justru itu akan membuat kita menjadi sombong.

Ada orang yang merasa bahwa standar spiritualitas yang baik adalah berdoa. Hal itu membuat orang yang berdoa lama-lama merasa lebih tinggi status spiritualnya dari pada orang yang terlihat jarang berdoa. Ada orang-orang yang memiliki karunia tertentu karena fokusnya adalah karunia-karunia itu. Maka ketika dia melihat orang lain yang tidak memiliki karunia yang sama, dia merasa orang itu lebih rendah dari dirinya. Tetapi jika standar kita adalah kebenaran firman, maka semakin kita belajar firman, maka kita akan menemukan Allah sejati dan perjumpaan dengan Allah yang sejati senantiasa menunjukkan kepada kita kekudusan Allah. Dan jika kita melihat kepada kekudusan Allah, kita akan menyadari ketidaksucian kita. Lalu jika kita sadar bahwa kita tidak suci, apa yang akan kita pakai untuk menyombongkan diri? Satu-satunya alat yang dipakai oleh Allah untuk merendahkan hati kita adalah perjumpaan dengan Allah yang sejati di dalam firman Allah. Maka standar yang kita miliki harusnya adalah firman Allah. Kita harus berhati-hati karena mungkin standar yang kita anggap sebagai standar yang baik, tetapi sebenarnya itu bukanlah firman Tuhan. Hal ini hanya akan membawa kita menjadi orang-orang yang sombong secara spiritual, dan bahaya yang terbesar adalah jika tidak dapat dikoreksi.

Kita selalu merasa sebagai orang-orang yang terbaik, maka solusinya adalah kita harus mencari standar yang tertinggi dan mutlak di dalam kehidupan kita. Jika mimpi bisa benar dan bisa salah, jika penglihatan bisa benar dan bisa salah, tafsiran terhadap mimpi bisa benar dan bisa salah, tetapi ada satu yang tidak mungkin bisa salah, yaitu firman Allah. Kita harus datang kepada standar ini. Hari ini jika kita ingin mendapatkan mujizat, maka dengarkanlah firman Allah. Tuhan berbicara melalui Kitab Suci. Jika kita bisa mengerti firman Allah yang supranatural, maka kita sedang mengalami mujizat. Firman Allah selalu dimulai dengan menunjukkan kesetiaan Tuhan. Jika kita dibutakan oleh standar rohani yang salah, maka akan ada bahaya di dalam kehidupan spiritual kita.

Kedua, (ayat 8) mereka mengabaikan, meremehkan, dan merendahkan standar yang benar. Standar rohani yang salah merusak spiritualitas kita, membuat kita sombong. Tetapi jika kita sudah sombong, maka muaranya adalah kita menghina otoritas. Di dalam ayat 8, mereka menghina kekuasaan Allah, tetapi di dalam teks asli lebih tepat diterjemahkan menghina otoritas sehingga ada perdebatan. Menghina otoritas bisa saja menghina Allah, menghina firman Allah, menghina otoritas sipil dan otoritas gereja, termasuk di dalamnya jika kita perhatikan ayat 8, itu adalah penghinaan terhadap para malaikat yang sering kali ada di dalam Alkitab disebut sebagai pembawa berita firman Allah.

Kesombongan selalu membuat kita menganggap bahwa diri kita benar, lalu yang lain disingkirkan. Memang pada satu sisi tidak semua otoritas itu harus dituruti. Kita harus tunduk kepada pemerintah misalnya. Tetapi jika pemerintah tidak benar maka kita tidak memiliki kewajiban untuk tunduk. Seharusnya gereja juga tidak perlu ditaati jika gereja tidak memimpin jemaat berdasarkan kebenaran. Untuk apa kita taat kepada seorang Hamba Tuhan, jika Hamba Tuhan itu tidak memimpin kita berdasarkan kebenaran? Saya kira di dalam konteks teologia Reformed ada perbedaan antara submit dan obey. Submit berbicara mengenai penghormatan yang harus terus menerus diberikan, tetapi obey tidak selalu. Kita membutuhkan otoritas untuk memimpin kita, meskipun kita tidak harus selalu tunduk kepada otoritas.

Lalu bagaimana dengan jemaat yang ada di dalam Kitab Yudas? Karena mereka memiliki pengelihatan, maka mereka menganggap bahwa mereka adalah otoritas yang tertinggi sehingga firman Allah yang sejati tidak mereka dengarkan, suara dari sesesama jemaat yang benar juga tidak mereka dengarkan. Jalan yang terbaik bagi manusia bukan dengan melepaskan diri dari otoritas yang benar, tetapi membawa dan menundukkan diri kepada otoritas yang benar. Perlawanan terhadap otoritas membuat kita mirip dengan orang berdosa. Tetapi yang paling mengerikan adalah mirip dengan ibis, bapa semua orang berdosa. Iblis melewati batas-batas itu, melewati otoritas yang ada di atasnya, menghina semua otoritas yang ada di atasnya. Bersyukur jika kita pernah ada di dalam kondisi itu dan kemudian Tuhan memanggil kita kembali. Iblis tidak pernah mendapatkan anugerah, maka di dalam ayat 9 Yudas membandingkanya dengan malaikat. Yudas berkata bahwa Mikhael pernah bertengkar dengan iblis. Mikhael adalah panglima bala tentara sorga. Ini merupakan posisi yang tinggi. Dia memiliki natur yang sempurna dan suci jika dibandingkan dengan iblis atau malaikat yang jatuh. Sehingga jauh lebih tinggi Mikhael dari pada iblis. Tetapi kemudian dikatakan bahwa ia tidak berani untuk menghujat iblis itu. Bukan berarti Mikhael terlalu hormat kepada iblis, tetapi penjelasan Yudas ingin mengatakan bahwa Mikhael dalam natur yang sempurna, dengan posisi yang tinggi dan di dalam kondisi yang tidak berdosa tidak mau melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah sehingga dia mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menghakimi iblis. Dia merujuk kepada otoritas ilahi.

Di dalam dunia ini Allah berotoritas atas hidup kita. Firman Allah bukan hanya berotoritas atas hidup kita, tetapi firman Allah memberi petunjuk bahwa ada otoritas lain di dalam kehidupan kita. Mulai dari orang tua di rumah, atasan di tempat kita bekerja, pemimpin-pemimpin gereja, pemerintah, semua itu adalah otoritas yang Tuhan tempatkan untuk mengekang dosa. Tetapi ketika otoritas ini membuat kita justru dituntun untuk memuaskan dosa kita, otoritas ini kehilangan otoritasnya. Lebih baik kita takut kepada Tuhan dari pada takut kepada orang-orang yang ada di atas kita tetapi memimpin kita kepada dosa. Kita butuh Tuhan dan firman-Nya sebagai otoritas atas hidup kita, tetapi kita juga membutuhkan manusia-manusia yang mengenal kebenaran sebagai otoritas atas kehidupan kita. Mungkin itu gereja, pemerintah, orang tua, mungkin itu pemimpin-pemimpin kita di dalam dunia yang sekuler.

Pertama, mereka menggunakan standar yang salah.

Kedua, mereka mengabaikan dan merendahkan standar yang benar. Ini merupakan konsekuensinya. Jika kita memakai standar yang salah, maka kita akan meremehkan standar yang benar.

Ketiga, (ay.10) orang-orang ini tidak memiliki pengenalan yang benar terhadap kebenaran yang sejati. Akhirnya mereka dipimpin oleh kedagingan mereka. Mereka bukan hanya sombong dan tidak peduli kepada kebenaran, tetapi muara dari semuanya itu yaitu tidak mungkin mengenal kebenaran, tidak mungkin paham akan kebenaran, dan dengan demikian tidak bisa mengarahkan hidup mereka kepada kebenaran. Persoalannya sekarang adalah kita tidak bisa memimpin hidup memakai alternatif kita. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita berada di tengah, di antara benar dan salah. Alkitab hanya mengatakan bahwa orang-orang ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Roh atau dipimpin oleh kedagingan. Tidak ada jalan tengah antara dua hal ini. Apakah kehidupan spiritual kita ditaklukan kepada kedagingan atau kedagingan kita ditaklukan kepada pimpinan yang spiritual.

Alkitab (ay.10) memberi petunjuk kepada kita bahwa oleh karena penolakkan terhadap kebenaran dan otoritas yang benar, maka orang-orang ini tidak dapat diarahkan kepada kebenaran. Dan jika orang-orang tidak dapat diarahkan dengan kebenaran, tidak mungkin ada ibadah yang sejati karena tidak ada ibadah yang sejati tanpa pimpinan Roh melalui kebenaran. Jika kita tidak dipimpin oleh Roh, maka kita akan dipimpin oleh kedagingan kita.

Dikatakan bahwa mereka hidup seperti binatang. Binatang tidak memiliki rasionalitas. Ketika kucing lapar maka tindakannya ditentukan oleh naturnya sebagai binatang yang sedang lapar. Mereka bertindak berdasarkan dorongan-dorongan naluriahnya saja, tidak ada pimpinan secara spiritual bagi mereka.

Ada hal yang Tuhan desain di dalam ketidaksadaran kita sedemikian rupa sehingga kita otomatis melakukannya. Tetapi kita tidak dapat otomatis dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan kita. Manusia harus berpikir yang terbaik dan kita harus mengarahkan kehidupan kita berdasarkan tuntunan Allah yang bersifat spiritual.

Hal yang kita butuhkan sebagai orang Kristen adalah kebenaran. Kebenaran yang menjadi standar, kebenaran yang diekspresikan ke dalam otoritas di dalam kehidupan kita. Kita memiliki kebutuhan yang sangat mutlak untuk berjumpa dan mengenal kebenaran yang sejati dan Kristus berkata bahwa, “Aku adalah jalan dan kebenaran dan hidup.” Kehidupan Kristen yang sejati dimulai dengan perjumpaan dengan kebenaran sejati, kebenaran yang berpribadi, yaitu Kristus yang mengklaim bahwa diri-Nya adalah kebenaran. Jika kita berjumpa dengan Kristus yang adalah kebenaran, pertama-tama kita akan sadar bahwa kita adalah orang berdosa. Kedua, kita akan melihat anugerah karena Dia yang benar ini pernah diperlakukan sebagai orang yang tidak benar demi kita, orang-orang yang tidak benar. Namun kita tidak akan berhenti di sana untuk mengasihani diri kita. Kita akan bersyukur oleh karena kita berjumpa dengan Dia yang benar, yang dibuat seolah-olah menjadi tidak benar oleh Allah – oleh karena menanggung ketidakbenaran kita, sehingga hidup kita adalah hidup yang penuh ucapan syukur. Perjumpaan yang sedemikian akan membuat kita mencintai kebenaran. Seorang penulis mengatakan bahwa jika mereka sudah berjumpa dengan kebenaran yang sejati, maka mereka tidak mungkin tidak jatuh cinta kepada kebenaran yang sejati itu. Jika kita pernah berjumpa dengan kebenaran, hati kita akan ditarik oleh Allah untuk terus menerus mencari kebenaran. Maka kebutuhan kita adalah: pertama, berjumpa dengan kebenaran sejati yang berpribadi. Kedua, jika kita berjumpa dengan Dia, maka kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan untuk mencari kebenaran yang sejati. Dan yang ketiga, kebutuhan untuk dipimpin oleh kebenaran yang sejati. Pilihan ada di tangan kita. Kita menginginkan kebebasan yang sejati atau kebebasan yang palsu?

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)