Yudas 1:20-21
Pdt. Johanis P. Kamuri, M.Th., M.Hum.
Ayat 1-2 memperkenalkan kepada kita mengenai siapa gereja sebenarnya. Ayat 3-19 memberi petunjuk mengenai penyesat-penyesat yang dibiarkan atau diizinkan Allah hadir di dalam gereja. Lalu ayat 20-23 sekali lagi berbicara mengenai gereja, barulah kemudian ayat 24-25 merupakan penutup. Tetapi ketika Yudas berbicara mengenai gereja, penekanan yang diberikan oleh Yudas adalah gereja atau jemaat Tuhan adalah objek dari kasih Allah. Allah adalah kasih, dalam relasi subjek dengan subjek. Allah sebagai subjek pribadi dengan kita sebagai subjek, tetapi Allah tetap melihat kita sebagai objek yang harus menerima kasih karunia dari-Nya. Sehingga di dalam relasi ini Allah memberikan kita kesempatan untuk menikmati satu kasih karunia menuju kepada kasih karunia lainnya.
Kita adalah penerima anugerah Tuhan (ayat 1-2), tetapi juga pada saat yang sama jika kita melihat strukturnya, objek kasih karunia Allah di saat yang sama adalah objek kemarahan dan serangan iblis. Apa yang baik yang Tuhan bangun di dalam kehidupan kita akan terus menerus dihancurkan oleh iblis. Dengan demikian kita akan terus menerus ada di dalam peperangan secara spiritual dan ayat-ayat ini memberi petunjuk kepada kita sebagai gereja Tuhan, bahwa gereja Tuhan tidak mungkin bisa melewati peperangan secara spiritual dengan cara melarikan diri atau menghindari peperangan itu.
Ayat 3 memberi perintah kepada kita untuk mempertahankan iman yang sejati yang telah Allah berikan kepada kita. Di dalam ayat 21 kita menemukan perintah, yaitu “Peliharalah dirimu demikian dalam kasih. Perintahnya sebenarnya adalah terus meneruslah memelihara dirimu di dalam kasih Allah…” Jadi bagaimana kita memelihara diri kita di dalam peperangan secara spiritual? Bagaimana kita memelihara diri dan menata kembali keselamatan yang telah Tuhan berikan, karena keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita adalah anugerah, namun kita harus memperjuangkannya juga?
Kita telah membahas dua poin pertama, yaitu terus meneruslah membangun dirimu di dalam iman yang sejati (ay, 20). Ini adalah sebuah perintah yang jelas kepada kita bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan keselamatan yang telah diberikan kepada kita. Keselamatan itu bukanlah hasil usaha kita. Allah menganugerahkannya tanpa usaha kita. Namun setelah Allah memberikannya kepada kita, kita memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan keselamatan itu. Lalu bagaimana caranya? Keselamatan dipertahankan dengan cara membangun iman kita. Keselamatan tidak mungkin terus ada di dalam kehidupan kita. Salah satu tanda bahwa kita adalah orang-orang yang sudah menikmati keselamatan adalah iman itu terus menerus mengalami pertumbuhan. Firman Tuhan ini merupakan panggilan bagi kita untuk membangun iman kita secara personal, tetapi iman secara personal tidak dapat dibangun di luar komunitas.
Iblis akan berusaha untuk menghancurkannya, tetapi kita berbeda dengan iblis di dalam tahap ini. Terus meneruslah membangun dirimu di dalam iman. Bawa diri kita ke dalam komunitas kemudian kita melayani bersama-sama. Di dalam konteks itu kemudian kita saling memperlengkapi dan bertumbuh bersama-sama. Tetapi tidak semua komunitas harus kita masuki.
Firman Tuhan memberi petunjuk kepada kita bahwa komunitas gereja adalah komunitas yang seharusnya dibangun berdasarkan kebenaran firman Allah. Dengan demikian kita perlu mempertimbangkan komunitas di mana kita ada. Komunitas berarti kita berkumpul, tetapi apakah tempat itu dapat membuat kita bertumbuh? Allah bisa menempatkan kita di tengah-tengah serigala agar kita bertumbuh, tetapi Allah tidak akan menempatkan kita di tengah-tengah domba agar kita berhenti bertumbuh. Allah menempatkan kita dalam setiap komunitas agar kita bertumbuh. Sehingga jika kita ada di dalam komunitas dan tujuan Allah ini tidak tercapai maka ini bukan komunitas yang tepat. Terus meneruslah bangun imanmu secara personal dengan bekerja keras untuk membangun iman secara komunal. Tetapi hal itu terjadi di dalam kebenaran.
Poin kedua adalah perintah untuk terus menerus berdoa (ay. 20). Berdoa di dalam Roh Kudus bukanlah berdoa dengan bahasa Roh, karena semua doa yang ditulis di dalam Alkitab ditulis dalam bahasa manusia. Peperangan secara rohani adalah perjuangan yang sulit sehingga mau tidak mau, sebagai manusia manusia yang secara natural dan secara spiritual memang lemah, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali berdoa. Berdoa di dalam Roh berbicara mengenai Roh Kudus menjiwai dan mendorong kita untuk berdoa. Jika Dia adalah Roh Kebenaran, maka Dia menuntun kita kepada kebenaran dan gereja sejati yang memiliki Roh Kudus secara personal maupun secara komunal adalah gereja-gereja yang memperjuangkan pengenalan terhadap kebenaran. Jika Roh Kudus adalah Roh doa dan Dia ada di dalam komunitas kita, maka kita tidak mungkin tidak berdoa. Jika Roh Kudus ada di dalam kehidupan kita sebagai Roh doa, maka baik secara personal maupun secara komunal kita juga berdoa. Yang menjadi masalah adalah terkadang kita – di dalam konteks gereja Reformed – bisa mengkritisi teman-teman dan saudara-saudara kita dalam gereja karismatik oleh karena persoalan bahasa Roh. Kita mengakui bahwa kita memiliki Roh Kudus, tetapi tanda bahwa Roh Kudus hadir di dalam kehidupan doa kita sama sekali tidak ada. Roh Kudus hadir di dalam kehidupan kita, Dia mendorong kita untuk berdoa, maka pertanyaannya sekali lagi yaitu mengapa ruang-ruang doa kita adalah ruang-ruang yang kosong? Ini mengerikan.
Mengapa jemaat mula-mula bertumbuh dengan baik? Karena mereka mencari kebenaran dan juga mereka menghidupi kehidupan doa yang terus menerus. Inilah yang kemudian diperintahkan oleh Yudas. Kamu harus terus menerus membangun dirimu di dalam kebenaran, tetapi kamu juga harus terus menerus berdoa.
Ketiga, peliharalah dirimu demikian di dalam kasih Allah (ay. 21). Gereja adalah objek kasih Allah. Allah mengasihi kita dan memberikan keselamatan kepada kita. Semua itu datang dari Allah. Kita hanya menerima, tetapi di sisi yang lain ada perintah untuk terus menerus ada di dalam kasih. Seorang penulis mengatakan bahwa ini adalah perintah untuk memelihara relasi kasih yang telah diberikan. Sebelumnya relasi kita dengan Allah terputus. Tetapi setelah di selamatkan, kita dipersatukan kembali dengan Allah. Ini adalah anugerah Allah. Tetapi setelah kita dipersatukan dengan Allah, Allah meminta kita untuk berjuang menjaga relasi itu. Tidak mungkin bertumbuh dan memenangkan peperangan secara spiritual jika kita tidak ada di dalam Tuhan. Bagaimana mungkin dikatakan bertumbuh jika kita berada di luar Dia? Paling tidak saya mengajak kita untuk melihat beberapa hal.
Pertama, perintah supaya kita memelihara kasih dan terus menerus ada di dalam kasih. Ini adalah perintah agar kita terus menjaga kasih mula-mula kepada Allah. Iblis dapat menghancurkan kita dengan godaan dan aniaya, atau dia bisa saja mengombinasikan keduanya. Setelah kita mengikut Tuhan, iblis berusaha untuk menghancurkan kita sehingga kita ada di dalam situasi sulit, kita berada di dalam penderitaan yang hebat, dan iblis akan membandingkannya dengan waktu di mana kita belum mengikut Tuhan. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh mengingat masa lalu, karena hari ini iman yang sejati melibatkan pengelihatan kepada masa lalu. Kita hanya bisa beriman dan hanya bisa memiliki iman yang sejati jika kita pernah melihat kepada Kristus yang datang 2000 tahun yang lalu. Tetapi mengapa Yesus mengatakan jangan menoleh ke belakang? Karena kita ada di dalam penderitaan dan iblis akan menawarkan kita sejumlah kenikmatan yang akan kita nikmati di masa yang akan datang atau pengalaman-pengalaman masa lalu yang cukup menyenangkan dan dia akan membandingkannya sebelum dan sesudah kita mengikut Tuhan. Tetapi jika kita memiliki kasih yang semula, maka kita akan terus menerus bertahan di dalam situasi ini. Pertanyaannya, apa itu kasih mula-mula?
Kasih mula-mula berbicara mengenai kasih yang murni, yang pertama kali muncul di dalam hati kita kepada Tuhan. Kasih yang mula-mula berbicara mengenai gairah untuk terus menerus mencari relasi dengan Dia di dalam situasi yang sulit. Cinta yang mula-mula itu yang harus kita pelihara. Tuhan meminta cinta yang murni. Tuhan meminta kasih yang bergairah sedemikian rupa sehingga kita tidak tertahankan untuk datang kepada Dia. Ini yang menjadi persoalan jemaat Efesus dalam Kitab Wahyu.
Wahyu 2:2-4 mengatakan bahwa mereka adalah jemaat yang melayani Tuhan dengan kerja keras, tekun, dan teliti. Mereka juga memiliki kapasitas intelektual untuk membedakan mana benar dan mana yang salah. Mereka bisa membuktikan mana nabi asli dan mana nabi palsu. Ini mengandaikan bahwa mereka adalah orang yang belajar dan yang bisa mengerti kebenaran sehingga peka terhadap ketidakbenaran. Kita tidak akan menemukan dosa dari jemaat di Efesus. Tetapi ayat 4 berkata bahwa masalah mereka ada pada aspek yang tidak kelihatan. Mereka bekerja keras, mereka melayani, mereka belajar, mereka belajar menderita karena cinta kepada Allah. Tetapi setelah mereka melakukan hal itu secara terus menerus, akhirnya semua itu berjalan tanpa kasih. Pertama yang membuat mereka bertahan di tengah-tengah semua itu adalah cinta kasih kepada Allah, lalu sekarang Tuhan mengatakan bahwa kasih yang semula sudah tidak ada meskipun semua kegiatannya masih tetap berjalan. Ini adalah penyembahan berhala. Jika kita belajar karena mencintai Tuhan, berarti kita belajar karena kita ingin mengenal Tuhan. Jika kita melayani karena kita mencintai Tuhan berarti kita bekerja keras untuk mempermuliakan Dia. Jika kita menderita karena kita mengasihi Tuhan, kita memiliki cinta yang sejati kepada Tuhan. Ini adalah penyembahan yang sejati. Tetapi jika kita melayani tanpa cinta kepada Tuhan, lalu apa yang menggerakkan kita untuk pelayanan? Jika kita belajar tanpa cinta kepada Allah, lalu sebenarnya apa yang kita cari? Jangan-jangan hanya untuk memenuhi kepuasan intelektual. Jika kita menderita dan masih bertahan di dalam iman Kristen, tetapi kita tidak pernah cinta kepada Tuhan lagi, lalu apa yang membuat kita bertahan di tengah-tengah penderitaan? Jangan-jangan hanyalah ego kita sebagai orang Kristen. Ini adalah penyembahan berhala dan inilah yang dipersoalkan oleh Allah. Maka Yudas memberikan peringatan ini.
Persoalannya adalah bagaimana kita tetap ada di dalam kasih? Bagaimana kita yakin bahwa kita ada di dalam kasih Allah?
Pertama, perintah Yudas di dalam ayat 21 yaitu peliharalah dirimu di dalam kasih Allah. Artinya dia ingin mengatakan terus meneruslah tinggal di dalam kasih Allah. Sekarang Yesus berkata di dalam Yoh. 15:10, yaitu “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Jika kasih yang semula itu terus ada di dalam hati kita, salah satu cirinya adalah kita akan terus menerus berjuang untuk tinggal di dalam kasih Allah. Dan agar kita tahu pasti bahwa kita ada di dalam kasih Allah, Yesus dan Yohanes mengatakan hanya ada satu syarat, yaitu kita taat kepada perintah-Nya. Kita taat agar kita terus menerus ada di dalam kasih Allah. Ketaatan adalah tanda bahwa Tuhan mengasihi kita karena kita tidak akan mungkin sanggup untuk taat. Tetapi jika Dia ada di dalam kita dan mengasihi kita, Dia akan terus mendorong kita untuk terus menerus menaati Dia sehingga ketika kita taat kepada Tuhan dan kita berhasil mengerjakan hal itu, bersyukurlah kepada Tuhan karena itu adalah bukti cinta kasih-Nya bagi kita.
Perintah untuk menjaga kasih semula adalah perintah untuk terus menerus taat kepada Allah dan ada di dalam kasih Allah. Tetapi sekali lagi ini juga merupakan perintah secara afektif untuk terus menerus ada di dalam frekuensi yang sama dengan Allah. Secara efektif kita harus memiliki rasa takut akan Allah. Ini bukan takut untuk dihukum atau dilukai, tetapi takut mendukakan dan melukai Allah. Kita mengasihi apa yang dikasihi oleh Tuhan dan membenci apa yang dibenci oleh Tuhan.
Keempat, istilah “menanti” di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berkaitan erat dengan pengharapan. Ketika orang menanti di dalam Perjanjian Lama, umumnya itu adalah penantian terhadap janji Allah. Sehingga ketika ada orang menanti, dia tidak menanti dengan pikiran kosong tetapi dia menanti dengan mengarahkan mata kepada janji-janji Allah. Penantian atau harapan di dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan janji-janji Allah. Mengarahkan mata kepada janji-janji Allah, kemudian kita mengimani kebenaran-Nya. Kita beriman bahwa Allah yang memberikan janji adalah Allah yang benar dan tidak berdusta sehingga satu saat nanti Dia akan menggenapi janji-Nya. Kapan? Kita tidak tahu. Oleh sebab itu kita menanti. Kita menanti karena kita mengerti janji Allah, kita menanti karena kita beriman bahwa Dia akan menggenapi janji itu. Kita menunggu penggenapannya dan Yudas mengatakan tunggu penggenapan janji Tuhan.
Pengharapan itu penting karena kita ada di dalam peperangan secara spiritual. Yudas mengatakan bahwa kita tidak akan bisa berlari sampai akhir jika kita tidak memiliki pengharapan. Harus ada sesuatu di depan sana yang kita harapkan dan kita akan berjuang sampai akhir.
Pertanyaannya adalah, apa yang kita harapkan? Yudas memberikan satu hal, yaitu Allah telah memberikan Kristus bagi kita. Kita diajak untuk mengarahkan mata kepada penghakiman. Penghakiman yang sama yang akan dihadapi oleh orang percaya dan orang yang tidak percaya. Ketika Kristus datang kali yang kedua, Dia akan datang menghakimi orang percaya dan orang yang tidak percaya. Kemudian Yudas seolah berkata bahwa kita mendapatkan augerah dan mendapat sesuatu yang tidak layak kita dapatkan karena kita adalah objek kasih Allah. Tetapi Kristus – demi kita – telah menjadi objek murka Allah. Lihatlah kepada pengharapan ini bahwa Allah yang mengasihi dunia telah memberikan Kristus bagi kita sehingga Kristus menanggung murka Allah dan kita mendapatkan kasih karunia. Hal ini berbicara mengenai kepastian keselamatan. Jika Allah memberikan Kristus bagi kita, maka Dia pasti akan memelihara kita.
Kristus adalah korban yang terbaik. Ini adalah tindakan Allah yang terbaik. Allah hanya akan menuntun kita perlahan-lahan, langkah demi langkah menuju ke tempat yang Dia sediakan bagi kita.