Yoh. 14:1-14
Pdt. J. Putratama Kamuri
Di dalam ayat 1 Yesus memulai dengan kalimat “Jangan gelisah hatimu;”, tetapi faktanya murid- murid memang sedang gelisah, takut, dan kuatir karena sebelumnya Yesus. berkata bahwa Ia akan pergi ke tempat di mana murid-murid tidak dapat pergi ke sana (Yoh. 13:33). Mereka mulai berpikir ke mana Yesus akan pergi. Mereka tahu bahwa Yesus akan pergi ke suatu tempat di mana mereka tidak dapat menyusul Dia. Lalu mengapa mereka begitu kuatir? Di dalam konteks ini paling tidak ada tiga konteks pergumulan yang membuat mereka seolah bergumul di dalam totalitas kehidupan mereka.
Pertama, mereka bergumul karena Yesus akan pergi sementara mereka begitu mengasihi Yesus Kristus. Saya mendefinisikan hal ini sebagai pergumulan emosional atau pergumulan secara psikologis karena mereka begitu mengasihi Yesus dan sekarang Yesus akan pergi. Ketika kita mengasihi seseorang dan seseorang itu akan pergi, biasanya di dalam hati kita ada ketidakrelaan. Itulah mengapa perpisahan dan kematian sering kali menyakitkan karena kita sudah tinggal bersama-sama, menjalani suka dan duka bersama-sama sekian lama, sehingga perpisahan bahkan kematian menjadi sangat menyakitkan. Murid-murid hidup dan melayani bersama-sama dengan Yesus selama 3.5 tahun dan mereka mulai mengasihi Yesus karena kebersamaan itu. Ini adalah hal yang natural. Cinta akan tumbuh dengan sendirinya dari perjalanan hidup bersama. Karena cinta, maka murid-murid tidak ingin berpisah dari Dia. Mereka tidak ingin kehilangan kebersamaan dengan Kristus. Tetapi, meskipun mereka terkadang mengucapkan kalimat-kalimat yang sulit kita percayai, tetapi hal itu tidak berarti bahwa mereka tidak mencintai Kristus sama sekali. Secara natural murid-murid sangat mengasihi Yesus. Mereka tidak ingin berpisah dari-Nya. Oleh sebab itu ketika Yesus berkata bahwa akan ada di antara mereka yang mengkhianati Dia (Yoh. 13:21), mereka terkejut. Mereka berusaha mencari tahu siapa yang akan mengkhianati Yesus, padahal mereka saja tidak ingin berpisah dengan Dia. Di dalam Yoh. 13:36 Petrus bertanya mengapa ia tidak dapat mengikut Yesus sekarang, bahkan Petrus berkata ingin menyerahkan nyawanya bagi Yesus (Yoh. 13:37). Kalimat ini mirip dengan niat Tomas dalam (Yoh. 11:16). Ada kerelaan untuk mati bersama-sama dengan Yesus. Saya melihat hal ini sebagai ungkapan tulus dari seorang murid. Catatan ini mengungkapkan kepada kita bahwa mereka sangat mengasihi Yesus meskipun ini adalah sebuah kasih atau sebuah cinta yang sangat natural. Mereka akan berjuang semaksimal mungkin untuk tetap bersama dengan Yesus. Tetapi mereka juga bersedih karena jawaban Yesus mengguncangkan iman mereka dan peristiwa penyangkalan terhadap Yesus juga Ia ungkapkan kepada Petrus (Yoh. 13:38). Seolah Yesus berkata bahwa Petrus mewakili murid-murid yang lain. Maka kasih mereka tidak cukup membuat mereka setia untuk tetap bersama-sama dengan Yesus. Faktanya, mereka lari ketika Yesus ditangkap. Kasih mereka yang natural itu terlalu rapuh. Kasih yang mereka miliki tidak akan sanggup untuk membuat mereka bertahan sampai akhir. Jika kita mengasihi Kristus dengan kasih yang sangat natural karena kita seorang Kristen, tetapi kasih yang natural ini tidak akan pernah cukup untuk mempertahankan kita supaya tetap setia kepada Allah. Hal ini mengguncang dan menggelisahkan murid-murid. Mereka tidak ingin berpisah namun kasih mereka ini tidak cukup untuk membuat mereka terus ada bersama-sama dengan Dia.
Kedua, mereka bukan hanya bergumul secara emosional dan secara psikologis, tetapi mereka juga bergumul secara spiritual karena jawaban Yesus. Petrus adalah pemimpin para murid dan Yesus berkata bahwa Petrus akan menyangkal diri-Nya 3x. Jika Petrus saja menyangkal, apalagi yang lain?
Jika iman dan kasih murid-murid kepada Kristus begitu besar – bahkan rela mati bagi Dia – tidak cukup untuk membuat mereka tetap bersama-sama dengan Dia, maka seberapa besarkah cobaan itu sehingga murid-murid tidak dapat setia kepada Dia? Kita harus ingat bahwa konteks percakapan inilah Yesus berkata kepada Simon Petrus bahwa iblis telah bersedia untuk menampinya (Luk. 22:31). Seharusnya mereka sadar bahwa lawan yang mereka hadapi adalah lawan yang terlalu kuat, yang tidak mungkin mereka hadapi. Cinta kita secara natural kepada Allah tidak akan cukup untuk mempertahankan kita di dalam relasi dengan Allah, karena lawan yang berusaha untuk melepaskan kita dari Dia terlalu kuat. Ini merupakan pergumulan yang serius. Mereka bergumul secara psikologis. Seharusnya dalam pergumulan-pergumulan sedemikian ada kekuatan secara spiritual agar kita tetap bisa berdiri tegak. Sekarang secara spiritual pun mereka goncang karena mereka sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan iblis dan Yesus berkata bahwa mereka semua akan goncang. Bahkan dengan jujur Yesus berkata kepada Petrus bahwa ia pasti jatuh. Cobaan itu terlalu berat.
Ketiga, pergumulan secara lahiriah. Mereka telah meninggalkan segalanya untuk mendapatkan Yesus. Ini adalah sebuah perkataan yang jujur. Mereka tidak akan menipu gurunya. Lalu sekarang Yesus berkata bahwa Ia akan meninggalkan mereka dan mereka tidak dapat mengikut-Nya. Ini adalah pernyataan yang tidak mereka harapkan. Mereka berharap dengan meninggalkan segala sesuatu, mereka dapat terus bersama-sama dengan Yesus sehingga ketika Yesus mencapai kemuliaan-Nya, mereka juga mencapai kemuliaan dengan Yesus. Jika Yesus pergi dan mereka tidak dapat bersama-sama dengan Yesus, maka semua harapan-harapan mereka dan segala sesuatu yang mereka risikokan untuk menjamin masa depan mereka akan sirna begitu saja. Pengorbanan selama 3.5 tahun menjadi sia-sia. Tidak ada lagi jaminan untuk masa depan mereka. Harapan-harapan mereka sirna. Ini adalah pergumulan yang complete sekaligus complex. Totalitas mereka ditempatkan di dalam sebuah pergumulan yang begitu hebat, maka wajar jika mereka gentar dan gelisah. Di tambah dangkalnya pengetahuan mereka akan Kristus, cinta yang terdistorsi oleh kepentingan diri, dan sebagainya. Lalu bagaimana Yesus memberi solusi di tengah- tengah pergumulan itu?
Solusinya begitu sederhana, yaitu percaya kepada Allah dan percaya juga kepada-Nya (Yoh. 14:1). Mungkin kita berkata solusinya terlalu mudah. Maka itu adalah bukti bahwa percaya adalah hal yang sulit. Ketika kita ada di dalam pergumulan yang hebat, percaya kepada Yesus adalah sebuah kesulitan. Ini adalah fakta hidup kita. Justru karena terlalu mudah, maka menjadi sulit bagi kita untuk mempercayainya. Percaya kepada Allah dan juga percaya kepada Yesus adalah panggilan kepada murid-murid sekaligus panggilan bagi kita yang bergumul. Lalu apa dasarnya?
Murid-murid dapat berbicara di dalam hati bahwa percaya kepada Allah adalah perkara mudah karena PL mencatat semua hal itu. Tetapi percaya kepada Yesus? Siapa Yesus? Dia adalah manusia yang terus menerus ditolak, bahkan Dia sendiri berkata bahwa murid-murid akan menolak Dia. Oleh pemimpin agama Dia dianggap sebagai orang yang sesat. Lalu bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia sementara orang Romawi akan menangkap dan menyalibkan Dia? Apa dasarnya untuk percaya? Sejak gereja mula-mula berdiri, percaya kepada Kristus adalah persoalan sulit. Paulus tahu akan hal ini maka ia berkata bahwa percaya kepada Kristus yang ia beritakan, bagi Yahudi adalah batu sandungan dan bagi Yunani adalah kebodohan. Dia juga ingin berkata kepada kita bahwa jika hari ini kita percaya, maka itu adalah anugerah. Jika kita bisa terus percaya, itu juga adalah anugerah. Tetapi tidak berarti juga kita ‘asal percaya’ karena ada anugerah Allah, lalu kita mengabaikan dasar untuk percaya. Lalu apa yang menjadi dasar bagi kita untuk percaya kepada Yesus Kristus?
Pertama, yang Yesus maksudkan adalah percaya kepada-Nya karena Dia adalah Allah. Kita memiliki dasar untuk percaya kepada Kristus karena Kristus adalah Allah. Para penafsir mengatakan bahwa kalimat Yoh. 14:1 mengandung multitafsir karena di dalam teks aslinya sulit untuk ditafsirkan sehingga paling tidak ada tiga tafsiran:
Tafsiran pertama: “Kamu memang sudah percaya kepada Allah dan kamu memang sudah percaya kepada-Ku, karena itu jangan gelisah!”
Tafsiran kedua: “Kamu memang sudah percaya kepada Allah, maka percayalah juga kepada-Ku.”
Tafsiran ketiga: “Percayalah kepada Allah supaya kamu tenang dan percayalah juga kepada-Ku.”
Jadi, kita menemukan bahwa apapun tafsirannya, namun perintah di akhirnya yaitu percayalah kepada Kristus sama seperti percaya kepada Allah. Berarti Yesus adalah subjek dari iman murid-murid hari itu. Yesus adalah yang harus dipercayai oleh kita hari ini. Tetapi dengan demikian berarti Yesus menempatkan diri-Nya sejajar dengan Allah Bapa. Sama seperti kita menyerahkan seluruh pergumulan kita kepada Allah dan tidak ada pergumulan yang tidak dapat diserahkan kepada Allah, demikian juga Yesus berkata hari itu kepada murid-murid dan melalui hal itu diberikan kepada kita agar kita memiliki kepercayaan yang sama. Tidak ada pergumulan dan tidak ada kesulitan yang tidak bisa dibawa dan diserahkan kepada Kristus. Bawa semua itu kepada Dia karena Dia adalah Allah. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Kita dapat melihat petunjuk yang jelas di dalam hal ini. Dia melakukan hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh Allah: menyembuhkan orang sakit, mencelikkan mata orang buta, membangkitkan orang mati, mengampui dosa. Lalu apa yang tidak dapat Dia lakukan? Membangkitkan orang mati berarti mengalahkan maut. Menyembuhkan orang sakit berarti mengalahkan kelemahan manusia. Mengampuni dosa berarti mengalahkan musuh yang tidak dapat kita lakukan. Dia mengusir setan berarti Dia mengusir musuh yang sulit dilakukan oleh murid- murid. Segala kuasa di bumi dan di surga ada di tangan-Nya. Ini adalah implikasinya bahwa Dia adalah pribadi yang ilahi yang kepada-Nya kita dapat mempercayakan segala hal. Kristus memberikan perhatian-Nya bagi kita. Kita memiliki dasar untuk percaya karena Dia adalah Allah.
Kedua, Yesus berkata bahwa jika Dia bersaksi sendiri maka kesaksian-Nya tidak sah. Tetapi ayat 4 memberi petunjuk kepada kita bahwa Dia tidak bersaksi sendirian. Dia berkata kepada murid-murid kemana Dia pergi, mereka tahu jalan ke sana. Terlihat ada kontradiksi sebab sebelumnya Yesus berkata bahwa mereka tidak dapat pergi ke sana. Maka pertanyaannya murid-murid tahu atau tidak? Kita akan memikirkan beberapa hal:
Pertama, sebenarnya yang dikatakan oleh Yesus dari pasal 13-14 adalah murid-murid tidak dapat mengikut Dia. Murid-murid tidak bisa datang ke tempat di mana Ia datang. Jadi, persoalannya bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak bisa datang ke tempat di mana Yesus ada. Setidaknya sebelum mereka mati, mereka tidak bisa datang ke tempat di mana Dia ada. Hal ini berkaitan dengan beberapa fakta: pertama, Yesus sementara berjalan menuju ke Golgota. Dia akan disalibkan di sana untuk menebus dosa kita. Ini adalah jalan yang tidak mungkin ditempuh oleh siapapun di dalam dunia ini, termasuk murid-murid. Kedua, mereka tidak dapat ke tempat Yesus berada karena di atas salib itu Yesus bukan hanya mengalami maut tetapi juga mengalami inti dari neraka (keterpisahan dengan Allah Bapa). Kita tidak dapat berdiri di sana karena kita bukanlah warga neraka dan kita tidak dapat menebus dosa manusia dengan berdiri di inti neraka.
Hari ini banyak orang mengklaim diri pergi ke surga dan neraka, padahal Yesus sendiri berkata bahwa murid-murid pun tidak dapat pergi ke sana. Siapa di antara kita yang lebih besar dari para rasul? Maka aneh sekali jika ada orang yang mengatakan sering naik-turun surga. Mungkin itu adalah surga yang dibuat oleh iblis agar manusia dapat pergi ke sana. Lalu kita juga sering mendengar orang-orang yang pergi ke neraka. Yesus berdiri di inti neraka dan warga kerajaan surga tidak dapat berdiri di sana. Maka jika ada orang yang mengatakan bahwa ia pergi ke neraka, mungkin memang dia adalah warga neraka. Hal ini berbicara mengenai sebuah perjalanan yang tidak mungkin ditempuh oleh para murid, sebuah tujuan yang tidak dapat dicapai oleh murid-murid selama mereka masih hidup. Tetapi jika mereka tidak dapat ke sana, itu bukan karena mereka tidak tahu jalan ke sana. Mengapa Yesus bersikeras bahwa mereka tahu jalan itu? Dan karena mereka tahu jalan itu, mereka sadar mereka tidak dapat ke sana. Mereka tahu dari kesaksian PL tentang Mesias dan karya-Nya. Mereka tahu dari kesaksian Yesus Kristus sendiri tentang apa yang Dia lakukan. Setiap hari Yesus bersaksi kepada mereka bahwa Dia akan menempuh jalan salib. Alkitab menceritakan setidaknya tiga kali Yesus berkata kepada mereka bahwa Dia akan mati menebus manusia melalui jalan salib. Seharusnya mereka tahu kedegilan hati merekalah yang membuat mereka tidak tahu. Berarti, seharusnya murid-murid tahu mengenai Yesus Kristus cukup dengan melihat kesaksian PL. Jika mereka melihat kepada PL dan mendengar dengan baik kesaksian Yesus Kristus, mereka akan sadar bahwa kasih karunia mereka tidak akan cukup untuk membuat mereka berjalan bersama-sama dengan Dia ke bukit Golgota, naik ke atas kayu salib, berdiri di inti neraka. Kasih kita secara natural juga tidak akan cukup membawa kita masuk ke surga, kecuali kasih Allah yang supranatural menjamah kita dan mengubah kasih yang natural ini menjadi kasih yang supranatural. Seharusnya mereka tahu bahwa kasih Allah yang kuatlah yang akan membuat Allah menempuh perjalanan menuju ke Golgota, masuk ke inti neraka, lalu kemudian datang dan membawa mereka kembali ke surga. Berarti Yesus ingin mengatakan bahwa sebenarnya mereka galau karena mereka belum mengerti dengan baik. Mereka tahu, tetapi mereka mengabaikannya. Mereka tahu namun mereka tidak mau percaya kepada apa yang ditulis oleh para nabi di dalam PL. Maka saya kira dasar bagi mereka untuk menjadi gelisah itu karena ketidakpercayaan kepada kesaksian PL dan PB.
Sering kali kita gelisah bukan karena Allah tidak ada di dalam kehidupan kita atau pimpinan Tuhan itu kurang kelihatan, tetapi kita tidak mau percaya bahkan kepada pimpinan Tuhan yang paling jelas sekalipun.
Bukankah ini persoalan terbesar kita? Persoalan yang sudah dimulai ketika gereja mula-mula dimulai, yaitu sulit percaya kepada Kristus. Tetapi kita hari ini memiliki dasar yang lebih kuat dari pada murid hari itu untuk percaya kepada Kristus. Kita memiliki kesaksian PL dan PB, kita memiliki kesaksian Kristus dari para rasul. Alkitab adalah kesaksian yang paling kuat bagi kita untuk kita percayai.
Sebagai orang Kristen sering kali kita berkata bahwa Alkitab adalah firman Allah namun sulit sekali bagi kita untuk percaya kepada kata-kata Allah yang tertulis di dalam Alkitab itu untuk menenangkan hati kita. Tetapi tidak bisa juga karena hari ini kita mendengar firman Tuhan lalu tidak ada kekuatiran sama sekali. Ketika Yesus berkata “Jangan gelisah hatimu;” bukan berarti tidak boleh ada kegelisahan. Kata yang sama dipakai juga di dalam istilah “Ia terharu” (Yoh. 13:21). Istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai “Ia sangat gelisah.” Yesus saja gelisah, apalagi kita. Tetapi yang dikatakan Yesus adalah perintah untuk mengalahkan kegelisahan itu. Iman yang sejati tidak meniadakan kegelisahan dan ketakutan, tetapi iman yang sejati membuat kita berdiri di atas kebenaran firman Allah, berpegang kepada firman untuk menaklukan kegelisahan dan ketakutan kita. Tenangkanlah kegelisahan dan ketakutan kita dengan melihat kepada firman Allah yang sudah cukup lengkap bagi kita. Jika firman Allah ini cukup memberikan keselamatan kepada kita, maka seharusnya juga cukup untuk menenangkan kita menghadapi pergumulan hari ini.
Saya kira pergumulan kita yang paling sulit di dalam dunia ini adalah pergumulan mengenai keselamatan secara spiritual. Hal yang tersulit ini diselesaikan di dalam Kristus yang diberitakan oleh firman. Oleh sebab itu firman disebut sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan. Jika ini adalah kekuatan yang melaluinya Allah menyelamatkan, lalu mengapa tidak bisa menjadi kekuatan yang dapat menenangkan kita yang sudah diselamatkan? Secara figuratif saya mengatakan bahwa firman Tuhan ini adalah kekuatan yang telah memadamkan api neraka bagi kita, lalu mengapa Dia tidak dapat menenangkan hati kita?
Yesus berkata bahwa Ia tidak bersaksi sendirian. Bapa bersaksi tentang Kristus melalui para nabi dan hari ini Bapa bersaksi tentang Kristus melalui nabi dan rasul bagi kita. Bahkan setiap Minggu firman Tuhan seperti ini disuarakan kepada kita. Untuk itulah Dia mengutus para pendeta dan orang-orang yang mengerti firman supaya kita saling menguatkan dan saling mendoakan di dalam pengertian yang kokoh terhadap kebenaran firman Allah. Tetapi kita memiliki dasar untuk percaya. Kita memiliki dasar untuk mengalahkan kegelisahan di dalam hati kita. Dia adalah Allah dan kesaksian ini didukung oleh Alkitab.
Ketiga, kita memiliki dasar untuk percaya kepada Kristus karena Dia mengasihi kita dan kasih-Nya nampak melalui dua hal di dalam teks ini: pertama, cinta kasih Kristus kepada umat-Nya tampak melalui kepedulian-Nya kepada murid-murid-Nya. Allah peduli kepada hal detail yang tidak dipedulikan manusia dan kemudian Kristus menunjukkan bahwa Dia sangat peduli. Karakteristik ini ada pada diri Kristus. Pertama, Dia menunjukkannya kepada murid-murid (Yoh. 13:21). Mengapa murid-murid gelisah? Karena mereka mengasihi Kristus, tetapi kegelisahan ini juga muncul karena mereka memiliki kepentingan terkait dengan Kristus. Kegelisahan mereka berakar pada ketidakpahaman mereka terhadap firman Tuhan. Ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kegelisahan Kristus ketika Ia berdoa di taman Getsemani, yaitu kegelisahan karena keterpisahan dengan Bapa. Tetapi justru Yesus lebih peduli kepada murid-murid yang berdosa itu. Yesus menghibur mereka dengan berkata “Jangan gelisah hatimu;” saya kira satu kalimat ini cukup untuk menunjukkan kepada kita bahwa Dia peduli. Tetapi murid-murid tidak menunjukkan kepedulian yang sama di dalam pergumulan Yesuss yang terdalam, sama seperti kita yang terkadang tidak begitu peduli dengan Allah. Tetapi di dalam kondisi kita belum belajar peduli kepada Dia, Dia sudah peduli kepada kita dan puncak dari seluruh kepedulian Kristus kepada para murid dan kita adalah Dia tidak peduli dengan diri-Nya sendiri. Dia peduli kepada umat-Nya ketika Dia ada di atas kayu salib. Ketika Dia berkata kepada Allah “Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”, sebenarnya Dia sanggup untuk memanggil 12 pasukan malaikat untuk membunuh orang-orang yang ada di sana. Tetapi Dia tidak peduli dengan semua itu. Dia membiarkan diri-Nya disalib dan bagi saya itu adalah puncak dari seluruh kepedulian-Nya. Cawan itu adalah cawan yang ditakuti dan membuat Yesus gentar sampai membuat Ia mengeluarkan keringat yang seperti titik darah. Tetapi Dia meminumnya sampai tetes yang terakhir karena Ia mau taat kepada Allah dan karena Ia juga cinta kepada kita dan ingin menunjukkan kepedulian-Nya kepada kita. Dipermalukan dan mati di salib dalam kondisi telanjang tidak Dia pedulikan. Bahkan dianggap sebagai orang yang kalah sampai tidak dipercayai sampai hari ini tidak Dia pedulikan, karena Dia ingin peduli kepada kita dan Dia ingin menjadikan kita sebagai orang yang menang. Dia tidak peduli bahwa raja kerajaan surga ada di inti neraka, mengalami penderitaan yang paling hebat supaya kita terlepas dari sana. Ini adalah puncak kepedulian Kristus kepada umat-Nya.
Jika Dia peduli kepada kita sampai sedemikian, lalu hari ini apa yang membuat kita tidak dipedulikan oleh Allah? Situasi yang Dia alami lebih sulit dari pandemi hari ini. Lalu apakah ada alasan bagi kita untuk berkata bahwa Allah tidak peduli?
Saya tidak tahu apa yang menjadi alasan kita bergumul hari ini, tetapi saya tahu beberapa hal:
Pertama, penderitaan ini tidak terjadi karena Allah tidak peduli kepada kita. Penderitaan ini tidak membuktikan bahwa Allah tidak peduli kepada kita karena Dia telah membuktikan kepedulian-Nya kepada kita.
Kedua, Yesus yang kita miliki dan kita percayai berdasarkan kesaksian Alkitab adalah Allah yang peduli dan memerhatikan umat-Nya.
Semua alasan di balik pergumulan Anda bukanlah alasan untuk berkata bahwa Allah tidak peduli karena Allah telah menunjukkan kepedulian-Nya melalui Kristus dan Kristus juga telah menunjukkan kepedulian-Nya kepada kita ketika Dia tidak peduli dengan diri-Nya sendiri dan Dia berdiri di inti neraka bagi kita. Sehingga kasih itu bukan hanya nampak di dalam ketidakpedulian terhadap diri dan kepedulian terhadap kita, tetapi pemberian ini adalah pemberian terbaik bagi kita. Oleh sebab itu Dia berkata di dalam ayat 2 bahwa Dia pergi untuk mempersiapkan surga bagi kita. Berarti Yesus sementara mempersiapkan rumah-Nya dan rumah Bapa untuk menjadi tempat bagi kita.
Kerajaan surga tidak ada dosa di dalamnya, lalu untuk apa Dia mempersiapkannya bagi kita yang berdosa? Dia mempersiapkannya agar kita dapat bersama-sama dengan Bapa, Anak, maupun Roh Kudus, di tempat yang terbaik bersama-sama dengan pribadi yang terbaik dan termulia. Saya percaya bahwa Allah mempersiapkan semua ini karena ini adalah pemberian yang terbaik yang dapat diberikan bagi kita. Kristus melihat ini sebagai pemberian atau sukacita puncak bagi kita, yaitu ada di dalam rumah Bapa, di dalam persekutuan dengan Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tidak ada tempat yang lebih baik dan lebih indah dari hal ini. Maka Yesus berkata bahwa Dia pergi ke sana untuk mempersiapkan tempat itu bagi kita. Istilah “pergi ke sana dan menyediakan tempat” melibatkan karya yang Dia kerjakan, mulai dari mati, bangkit, dan naik ke surga. Itulah cara Dia untuk mempersiapkan tempat bagi kita. Murid-murid tidak mau Dia pergi karena cinta kepada Dia. Tetapi karena Dia juga cinta kepada mereka, maka Dia harus pergi. Dengan kepergian inilah Dia mempersiapkan tempat terbaik bagi mereka. Dia mempersiapkan tempat yang terbaik, pemberian yang paling mulia, yaitu pribadi Allah bagi kita. Dia mempersiapkan tempat yang tidak mungkin didatangi oleh gereja. Itu adalah tempat terbaik yang bisa kita datangi. Tetapi tempat dan pemberian terbaik dan paling berharga dan mulia ini disiapkan bagi kita dengan menempuh perjalanan dan pergumulan yang paling sulit.
Tetapi apakah pribadi Allah adalah pemberian atau berkat yang paling mulia bagi kita? Jika kita melihat bahwa ini adalah pemberian terbaik yang Allah siapkan bagi kita, maka di tengah-tengah seluruh kesulitan kita masih ada sebuah pengharapan yang besar bahwa yang terbaik sudah Tuhan berikan, apalagi yang tidak akan Dia berikan bagi kita?
Apa yang dapat merebut sukacita kita? Kristus telah menjamin apa yang seharusnya diinginkan dan diidam-idamkan oleh orang percaya hari ini, yaitu Allah dan persekutuan dengan Dia. Lalu penderitaan apa yang dapat merebut sukacita yang sudah kita miliki di dalam Dia? Oleh sebab itu Alkitab selalu berbicara mengenai sukacita yang kekal, yaitu sukacita yang kita miliki di dalam hati. Meskipun kita bergumul, kita tetap bisa mengalami sukacita. Dia kekal, berarti Dia tidak dipengaruhi oleh kondisi. Damai itu dijamin oleh Kristus dengan memberi jaminan juga sekaligus kepada kita bahwa di tengah- tengah hiruk pikuk dunia hari ini, kita memiliki Dia dan suatu saat nanti kita akan menikmati persekutuan dengan Dia.
Mungkin hari ini kita masih ada di dalam dunia sehingga kita sulit untuk memahami dan sulit untuk merindukan hal itu, namun Kristus berkata kepada kita melalui firman Tuhan hari ini bahwa menikmati persekutuan dengan Dia layak untuk dirindukan dan layak untuk menjadi pengharapan kita.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)