Roti Hidup #4 – Anomali Pemburu Roti: Menyianyiakan Roti Hidup

Posted on

Yohanes 6:41-51, 60-66
Pdt. J. Putratama Kamuri

Di dalam pertemuan yang pertama kita melihat bagaimana Allah memerhatikan dan menjawab kebutuhan-kebutuhan lahiriah kita. Kemudian di dalam pertemuan kedua dan ketiga kita melihat bagaimana Tuhan juga memerhatikan kehidupan spiritual kita. Dia memerhatikan kehidupan spiritual kita dengan mengoreksi dosa, mengoreksi hal-hal yang tidak benar di dalam hati dan pikiran kita. Itu adalah wujud dari cinta kasih Tuhan bagi kita. Ketika Dia menegur dan mengoreksi, Dia juga mengarahkan kemana seharusnya manusia mencari sesuatu. Lalu kemudian di dalam pertemuan ketiga, Dia menunjukkan siapa diri-Nya dan menegaskan supremasi-Nya, menegaskan mengenai Dia yang lebih unggul dari segala sesuatu. Dia adalah tanda atau mujizat yang paling ajaib dan terbesar yang pernah terjadi di dalam dunia ini. Dia adalah pribadi yang paling besar dan mulia dibandingkan dengan seluruh manusia. Dia adalah Allah.

Di dalam pertemuan keempat hari ini kita akan menemukan anomali bahwa orang-orang ini adalah orang-orang yang mencari roti. Tetapi ketika mereka berjumpa dengan roti hidup yang telah disiapkan Allah bagi mereka, mereka justru membuangnya. Mereka menyia-nyiakan roti hidup itu. Dan seluruh renungan ini akan mengarahkan kita kepada satu hal: jika kita mengejar sesuatu yang bukan Allah dan bukan Firman Allah, maka kita akan menjadi tidak peduli terhadap Firman Allah dan Allah itu sendiri.

Mengapa orang-orang yang berhadapan dengan Yesus Kristus justru menolak Dia? Karena Yesus adalah Firman yang hidup (Yoh. 1:1) dan Firman yang hidup ini sementara berfirman kepada manusia, dan Firman yang berfirman kepada manusia berfirman tentang diri-Nya sendiri.

Jika Firman itu adalah Firman yang sejati – sebagaimana yang disuarakan oleh Kristus, sang Firman yang hidup itu – maka Dia akan mengoreksi dosa dan hal-hal yang tersembunyi di dalam hati kita. Firman tidak hanya mengoreksi dosa, tetapi juga menyatakan kebenaran. Firman Tuhan akan memotivasi kita untuk terus berjalan di jalan yang benar.

Kemudian Yesus menyatakan supremasi-Nya dibandingkan segala sesuatu di dalam dunia ini. Dia adalah mujizat yang terbesar dan manusia yang paling mulia. Bahkan Dia adalah Tuhan. Dengan demikian, Yesus ingin menegaskan kepada para pendengar hari itu bahwa Dia adalah pribadi yang harus terus menerus dicari dan diinginkan oleh manusia. Dan jika Dia adalah Tuhan sebagaimana yang Dia katakan, maka otoritas untuk mengoreksi dan menyatakan kebenaran, hak untuk ditaati, diimani, dan dipercayai ada padanya. Tetapi setelah Yesus membicarakan semua itu, kita tahu bahwa akhir dari seluruh cerita ini adalah penolakan. Bukan hanya penolakan oleh orang banyak yang telah Dia beri makan secara fisik, tetapi juga penolakan oleh murid- murid yang ada di sekitarnya.

Seorang penafsir berkata bahwa mungkin orang yang menolak Yesus ini adalah sebagian dari murid-murid. Maka ini adalah sebuah fakta yang sangat mengerikan. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa orang yang terkadang dekat dengan Tuhan pada akhirnya menolak Firman Tuhan?

Pertama, karena kebutaan secara spiritual. Mereka menyebut diri mereka murid, tetapi pada faktanya mereka adalah orang- orang yang buta secara rohani. Mereka adalah orang-orang yang pikirannya gelap secara spiritual. Itu sebabnya, Yesus berkata bahwa sebenarnya mereka melihat namun mereka tidak mengerti, mereka mendengar namun tidak percaya.

Yoh. 6:2 & 11-13 mengatakan bahwa mereka bukan hanya mendengar dan melihat mujizat yang Yesus kerjakan, tetapi mereka juga mengalami mujizat itu, tetapi mereka tidak paham apa yang dikerjakan oleh Yesus karena mereka memang tidak mengenal Dia. Ini mengerikan. Inilah kebutaan yang sesungguhnya. Yoh. 17:13 dengan jelas mengatakan bahwa jika tidak mengenal Yesus, konsekuensinya adalah kebinasaan.

Kita harus berhati-hati terhadap kelimpahan yang kita hadapi hari ini. Satu sisi, pandemi ini menjadi masalah bagi kita, tetapi bukankah ada kelimpahan juga pada saat yang sama? Kita dapat mendengar khotbah sepanjang hari melalui YouTube, dsb. Ini adalah kelimpahan anugerah Tuhan yang begitu luar biasa. Bagi saya hal ini juga merupakan anugerah bagi gereja. Tetapi saya ingin mengingatkan untuk berhati-hati terhadap kelimpahan secara spiritual yang sedemikian. Berhati-hati bukan karena hal itu jahat, tetapi jaga hati kita agar kita tidak seperti tikus yang mati di lumbung. Ketika kita mengalami kelimpahan, hal-hal baik yang melimpah kita anggap menjadi hal yang biasa. Jika kita membiarkan diri kita terus ada di dalam kebutaan secara spiritual maka hal ini akan membunuh kita secara spiritual. Orang Yahudi belajar tentang Mesias. Ini adalah hasrat hati mereka yang paling dalam. Berita yang paling mereka harapkan dan terus menerus mereka pelajari adalah berita tentang Mesias. Ini adalah pengharapan orang-orang yang sedang ditekan oleh Kekaisaran Romawi. Mereka mengharapkan Mesias yang membebaskan mereka. Maka hari demi hari ketika mereka mempelajari Kitab Suci, hal yang paling menarik bagi mereka adalah berita-berita yang bersifat Mesianik. Dan ketika hari itu Yesus membuat mujizat dan menyampaikan Firman, mereka tidak mengerti dan tidak mengenal Mesias yang sedang berbicara kepada mereka. Semua tanda yang telah mereka dengar, mereka lihat, dan mereka rasakan tidak menjamin spiritualitas mereka menjadi lebih baik, tidak menjamin mereka mengenal Tuhan dan diselamatkan.

Di dalam PL Tuhan berkata kepada Musa bahwa Dia akan mengutus seorang nabi yang seperti dia. Jadi ketika dikatakan dalam Yoh. 6:14-15 bahwa Yesus benar-benar nabi, berarti Yesus adalah nabi yang dijanjikan Allah kepada Musa. Kita melihat bahwa mereka tidak mengenal Yesus. Bahkan ayat 30-31 mengatakan bahwa mereka hanya meminta tanda yang lebih besar, karena memang pikiran mereka gelap. Pikiran yang gelap akan membuat kita menggunakan tuntutan-tuntutan yang bersifat duniawi, bahkan kafir, untuk memahami Firman Allah.

Setelah Yesus melakukan semua itu, yang mereka inginkan adalah tanda ajaib, tetapi mereka tidak menginginkan tanda yang terbesar, yaitu Allah menjadi manusia. Yang mereka inginkan adalah roti untuk kepuasan secara lahiriah, bukan Yesus yang adalah roti hidup. Mereka menginginkan mujizat dan tanda yang lebih besar, tetapi mereka tidak menginginkan Kristus sang pembuat mujizat itu. Mengapa saya mengatakan ini terlalu duniawi? Karena ketidakpuasan hanya dengan Firman Allah. Ada Allah yang sejati di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tidak puas dengan kehadiran Allah dan Firman yang disampaikan oleh Allah. Spiritualitas duniawi dan kafir inilah yang menerobos masuk ke dalam gereja hari ini sehingga orang-orang tidak puas dengan kehadiran Allah dan Firman-Nya.

Jika kita diarahkan untuk mengejar hal-hal yang lain selain dari Allah dan Firman-Nya, maka kita akan menjadi tidak peduli kepada Allah dan Firman-Nya. Kita akan kehilangan yang terpenting, yaitu Allah dan Firman-Nya. Ini adalah spiritualitas yang palsu. Dia akan memberikan Firman Tuhan yang baik untuk menolong kita bertumbuh secara spiritual di dalam spiritualitas yang sejati. Tetapi jika kita fokus untuk mengejar hal-hal lain dan kemudian mengabaikan Allah dan Firman-Nya, maka sebenarnya kita sedang menghidupi spiritualitas yang palsu. Kita mengira kita rohani, padahal kita menyaksikan bahwa cara hidup seperti ini sangat duniawi, bahkan kafir. Ini bukan tanda kehidupan rohani yang baik. Kita sering merasa puas setelah mengalami mujizat dan berkat Tuhan lalu kemudian kita bersaksi seolah kehidupan spiritual kita sudah lebih baik dari orang lain yang tidak mengalaminya, padahal kita tidak mengenal Tuhan. Berapa yang kembali kepada Yesus setelah Dia menyembuhkan 10 orang yang sakit kusta? Spiritualitas yang sejati ditandai oleh kehadiran Allah yang sejati dan firman Allah yang sejati. Tetapi mengapa gereja tidak menginginkannya?

Gereja lebih menyukai dongeng. Paulus sudah mengatakan bahwa Kekristenan di akhir zaman lebih menyukai dongeng. Jika kita berjumpa dengan Allah yang sejati di dalam Kristus, jika roti hidup itu benar-benar ada di dalam kehidupan kita dan kemudian kita menikmati Dia, maka kehadiran Allah akan memberikan kepuasan dan kepenuhan di dalam hidup kita sehingga kita tidak akan bergantung kepada yang lain. Saya tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lahiriah karena Tuhan kita adalah Tuhan yang mencukupkan kebutuhan-kebutuhan lahiriah. Tetapi yang ingin saya katakan adalah, ada masa di mana Tuhan membiarkan kita kehilangan banyak hal yang seolah penting secara lahiriah. Tetapi jika Dia masih ada di dalam kehidupan kita, Dia masih memberikan Firman kepada kita, maka belajarlah puas dengan hal ini.

Allah adalah harta yang paling berharga. Jika Kristus hadir di dalam hidup Anda, maka bersyukurlah!

Di dalam Bilangan 18:20, ketika pembagian warisan secara lahiriah, orang Lewi tidak mendapatkannya. Lalu Tuhan berkata “Akulah bagianmu dan milik pusakamu” untuk menunjukkan bahwa harta yang paling berharga adalah Allah. Tetapi apakah jika kita mendapatkan Allah, kemudian Allah mengabaikan yang lainnya? Tidak. Kita juga bisa melihat di dalam ayat 21 bahwa Tuhan tetap memerhatikan kebutuhan-kebutuhan lahiriah mereka. Namun hal pertama yang harus mereka dapatkan adalah pribadi Allah. Kita juga dapat membandingkannya dengan Maz. 16:5 di mana pemazmur berkata: “Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku.” Hal yang terpenting yang harus kita dapati dan harus kita miliki adalah Allah. Jika Allah yang ada di dalam Kristus hadir di dalam kehidupan kita sebagai roti hidup, maka seharusnya ada kepuasan dan kepenuhan. Dan jika kita dipuaskan oleh Allah melalui Kristus dan Firman-Nya, maka kita akan mengalami ketidakpuasan yang suci, yaitu kita akan terus menerus ditarik untuk mencari Dia dan bersekutu dengan Dia. Jika kita ingin terus menerus bersekutu dengan Dia, maka apapun yang terjadi di sekitar kita adalah urusan kedua. Pemazmur tidak sedang menyangkali fakta bahwa dia sedang bergumul, namun dia tahu apa yang terpenting.

Pikiran orang yang buta secara spiritual merusak konsep nilai secara spiritual. Tentu kita akan memilih mangkuk berisi emas dari pada mangkuk berisi bakso, dan seekor anjing pasti akan memilih mangkuk berisi bakso dari pada mangkuk berisi emas. Mengapa manusia menurunkan level berpikirnya pada level binatang? Ini sungguh mengerikan. Kita menghancurkan gambar dan rupa Allah. Hal terpenting diabaikan lalu memilih yang tidak penting demi perutnya, demi pengalaman-pengalaman. Istilah gambar dan rupa Allah diekspresikan melalui relasi yang intim dengan Allah. Adam dan Hawa diciptakan suci sehingga mereka terus menerus ada di taman Eden dan menikmati persekutuan dengan Allah. Tetapi karena mereka menginginkan yang lain, maka hancurlah kehidupan manusia. Sejak hari itu kita perlu hidup di dalam Kristus, dan bukan hidup di dalam Adam yang melakukan hal yang sedemikian. Kebutaan secara spiritual membuat orang menolak Kristus.

Kedua, karena kekerasan hati. Jika hati manusia keras, mereka tidak mungkin bisa meresponi Firman. Benih Firman yang telah ditabur pada hati yang keras tidak akan mungkin bisa bertumbuh. Firman yang hidup justru seolah menjadi “mati” pada hati yang keras. Hal ini sebenarnya terekspresi di dalam percakapan-percakapan dengan Yesus Kristus (ay. 32-40). Yesus memberikan jawaban yang tepat dan meruntuhkan argumentasi mereka. Setelah menunjukkan bahwa mereka salah, Yesus menunjukkan siapa diri-Nya yang lebih besar. Hari itu Yesus memenangkan perdebatan dan membungkam mereka. Tetapi Yesus tetap ditolak. Perdebatan merupakan hal yang penting di dalam modus pelayanan. Pelayanan melalui perdebatan adalah hal yang wajar karena Yesus pun melewatinya. Tetapi kita harus ingat bahwa tidak selamanya memenangkan debat berarti memenangkan hati. Setelah perdebatan itu dimenangkan oleh Yesus Kristus, mengapa Yesus seolah tidak memenangkan hati mereka?

Pertama, dosa yang bersarang atau bersembunyi di dalam hati mengeraskan hati mereka. Firman Allah yang suci selalu bertentangan dengan dosa. Sehingga jika kita memiliki dosa tertentu yang sangat kita nikmati dan ingin kita pertahankan, maka kita tidak akan peduli dengan Firman atau kita akan membenci Firman Tuhan itu. Ini bukan masalah tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kita tahu itu benar, tetapi kita menjadi tidak suka dan menjadi tidak peduli karena kita masih ingin menikmati dosa. Firman Allah yang suci akan menelanjangi dosa yang ingin kita sembunyikan, sehingga ketika Firman Tuhan itu datang dan kemudian menyentuh apa yang tersembunyi di dalam hati kita, biasanya kita menjadi gelisah (Bd. Mrk. 6:18-21).

Jika kita menyembunyikan satu dosa, lalu ada orang yang menyampaikan Firman Tuhan dan menegur dosa tersebut, biasanya kita akan gelisah jika dosa itu ingin kita nikmati. Meskipun kadang kita tidak peduli, tetapi Tuhan peduli sehingga Ia mengirimkan orang itu untuk terus berbicara mengenai Firman Tuhan kepada kita. Lama kelamaan apa yang kita lakukan? Kita akan benci kepada orang yang terus menerus menyuarakan kebenaran tersebut. Kita digelisahkan, dan ketika kita tidak bertobat, hati kita semakin lama semakin keras dan kita menjadi tidak peduli dengan Firman. Kita ingin menyembunyikan dosa, namun Firman Allah yang suci akan terus mengorek apa yang tersembunyi di dalam hati, dan pemberita Firman yang sejati pasti akan menyampaikan kebenaran Firman Allah yang sejati. Yesus menegur motivasi mereka yang salah. Yesus menegur ketidakmurnian di dalam hati mereka. Segala pengorbanan mereka untuk menjumpai Yesus kelihatan baik. Tetapi persoalan yang terbesar adalah apa yang mereka diamkan dan mereka sembunyikan di dalam hati, dan Firman Allah membongkar semua itu. Ketika Yesus membongkar semua itu, yang mereka lakukan adalah mulai menyerang pribadi Yesus.

Orang Yahudi tahu bahwa apa yang dinubuatkan oleh nabi sejati pasti akan terjadi, berbeda dengan nabi-nabi palsu atau pendeta-pendeta palsu zaman sekarang. Semua nubuat Yesus terjadi dengan presisi, sehingga seharusnya mereka percaya. Namun kebencian di dalam hati sudah terlalu dalam sehingga mereka tidak mungkin lagi untuk percaya. Dosa membuat kita tidak peduli kebenaran, dan jika kebenaran itu datang, kita akan membenci kebenaran dan pada akhirnya tidak bisa bertobat. Dosa membuat hati menjadi keras.

Kedua, kekerasan hati dapat terjadi karena hasrat hati yang tidak suci. Orang-orang ini ingin Tuhan menyesuaikan Firman dan tindakan-Nya dengan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak memiliki hasrat hati yang suci untuk menyesuaikan hati dan pikiran dengan Firman. Sebaliknya, mereka ingin Yesus menyesuaikan dengan apa yang mereka inginkan.

Orang-orang Yahudi ingin melihat mujizat dan tanda-tanda spektakuler supaya kebutuhan-kebutuhan mereka terpenuhi, tetapi Yesus tidak melakukannya. Yesus bukan saja tidak melakukan apa yang mereka inginkan, tetapi Yesus juga menegur mereka dengan keras. Murid-murid yang adalah orang yang paling dekat dengan Yesus juga mengatakan bahwa teguran itu terlalu keras. Orang-orang ini merasa tidak mendapatkan apa-apa dari Yesus. Hati-hati dengan perasaan ini dalam hati kita. Terkadang kita merasa sudah mengorbankan banyak hal tetapi tidak mendapatkan apa-apa.

Mereka mulai menyerang pribadi Yesus karena mereka merasa tidak membutuhkan Dia. Mereka menolak Yesus Kristus dan mempersoalkan asal-usul keluarganya. Tetapi seandainya Yesus memberi mereka roti lagi, apakah mereka akan mengungkit bahwa Yesus adalah anak tukang kayu? Tidak. Mereka mengungkit latar belakang Yesus karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Jika Tuhan adalah Tuhan, maka kita menyesuaikan pikiran dan hati dengan Tuhan. Jika Dia adalah Tuhan, maka kita akan takluk kepada Dia. Tetapi jika kita meminta Dia dan kedaulatan-Nya untuk takluk kepada kita, maka kitalah tuhannya. Yesus tidak memberi apa yang mereka inginkan, bukan karena Yesus membenci mereka, tetapi karena Yesus mengasihi dan ingin melindungi mereka dari penyembahan berhala dan menegaskan siapa Allah yang sejati.

Ada dua kondisi di mana kita dapat berkata kepada Tuhan: “Jadilah kehendak-Mu” atau Tuhan yang berkata sedemikian kepada diri kita. Kita dapat memilih mana yang kita inginkan. Tetapi jika kita mendapati ada masa di mana Tuhan berkata “tidak”, mungkin itu adalah tanda cinta kasih Tuhan bagi kita. Dia ingin menyelamatkan kita dari jebakan spiritualitas yang palsu.

Ketiga, mereka menolak Yesus karena mereka tidak matang dan tidak dewasa secara spiritual. Mereka merasa dewasa tetapi sebenarnya mereka seperti anak kecil yang suka pamer. Istilah “murid” di dalam pasal 6:60-61 harus kita pahami di dalam dua hal: pertama, murid dalam arti yang paling dasar hari itu, yaitu orang yang mengikuti jalan sang guru dan mengikuti apa yang gurunya ajarkan. Kedua, mengakui otoritas guru tersebut. Maka mereka yang berbondong-bondong mengikuti Yesus dapat disebut sebagai murid dalam pengertian yang paling dasar. Tetapi Yesus memberi definisi yang baru mengenai murid yang sejati di dalam Yoh. 8:31, yaitu mereka yang tinggal di dalam Firman-Nya dan terus menerus berpegang kepada Firman-Nya, lalu setelah mereka mengerti mereka taat tanpa syarat di dalam segala kondisi.

Murid-murid palsu dalam Yoh. 6:60 berkata bahwa perkataan Yesus terlalu keras. Istilah “keras” (Yun. Skleros) artinya yaitu bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami, tetapi mengacu kepada sesuatu yang dapat dipahami sebagai benar, tetapi sulit diterima oleh hati. Mereka tahu dan paham apa yang dikatakan Yesus itu benar, tetapi perkataan itu sulit diterima oleh hati karena terlalu keras, terlalu tajam, terlalu offensive. Yesus mengkritisi cara pikir dan motivasi mereka. Dia menyatakan diri sebagai mujizat yang terbesar, orang yang paling mulia di antara semua manusia di seluruh dunia, bahkan Dia menegaskan otoritas ilahi-Nya sehingga Dia berkata bahwa mereka harus memakan daging-Nya dan minum darah-Nya. Tidak ada perkataan yang lebih keras dari hal ini. Bagi orang Yahudi, ini adalah hujat kepada Allah jika memakan daging dan meminum darah manusia. Tetapi Yesus berkata dengan jelas akan hal itu. Sebenarnya maksud Yesus adalah untuk percaya kepada Dia. Tetapi Yesus juga ingin berkata bahwa tubuh-Nya harus dihancurkan dan darah-Nya harus dicurahkan, barulah mereka dapat menikmati keselamatan. Tetapi perkataan ini terlalu keras. Mereka marah dan tersinggung karena tidak cocok dengan budaya, cara pikir, dan hati mereka. Lalu apakah karena mereka menolak Yesus maka Yesus menjadi lembut? Guru yang baik ini – bagi saya – justru memprovokasi murid-murid. Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu.

Ada yang mengatakan bahwa “naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada” mengacu kepada surga, tempat sebelum manusia datang. Tetapi jika kita membandingkan Yoh. 12:23-24, tempat mulia dan tinggi berbicara mengenai salib. Oleh sebab itu maka Paulus berkata bahwa salib adalah batu sandungan dan kebodohan bagi orang-orang yang tidak percaya. Yesus tidak melembutkan bahasa-Nya, tetapi Yesus berbicara semakin keras kepada mereka. Setelah Yesus berbicara semakin keras, mereka pergi meninggalkan Dia. Bukankah ini adalah sifat yang kanak-kanak secara spiritual?

Berapa banyak orang Kristen yang menipu dan tertipu dengan mengatakan bahwa anak-anak Tuhan tidak boleh berkata dengan keras? Faktanya Yesus berbicara dengan keras. Kita harus meninggalkan kemunafikan di dalam kehidupan gereja. Jangan tertipu dengan kata-kata yang lembut karena Tuhan kita pun pernah berkata-kata dengan begitu keras. Dan ketika murid-murid itu mendengar kalimat yang keras, mereka bersungut-sungut dalam hati dan Yesus berbicara lebih keras lagi kepada mereka. Mereka tersandung dan mereka meninggalkan Dia.

Kebenaran tidak dapat dikompromikan. Kebenaran harus disampaikan dengan jujur. Kebenaran tidak boleh dimanipulasi. Jika kita menginjili dengan jujur, maka orang akan lebih sulit untuk menerima. Menukar nama Yesus dengan nama yang lain seperti kesembuhan dan kekayaan, maka hal itu jauh lebih bisa diterima dibandingkan dengan berkata bahwa jika mengikut Yesus harus menyangkal diri dan pikul salib. Tetapi kebenaran tidak boleh dimanipulasi dan dikompromikan di dalam segala situasi

Perpecahan bukanlah pengalaman baru di dalam gereja ketika kebenaran disuarakan. Orang-orang itu meninggalkan Yesus dan Dia membiarkan situasi ini terjadi (ay. 67)

Hari ini pendeta susah mencari jemaat dan Yesus Kristus justru tidak memiliki keinginan untuk mengumpulkan banyak jemaat. Yesus Kristus menyampaikan Firman dengan jujur. Ketika kita menyampaikan Firman, sampai kan dengan jujur dan penuh kasih sehingga ada kelemahlembutan. Tetapi jangan mengompromikannya. Tetapi bagaimana jika kejujuran dan keterbukaan kita justru membawa kepada penolakan?

Dari semula Yesus tahu siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyalibkan Dia (ay. 64b). Tetapi Yesus tidak mendekati mereka secara khusus supaya mereka dapat menerima Dia. Dia tidak memanipulasi diri dan ajaran-Nya supaya dapat diterima, karena kerajaan Allah tetaplah kerajaan Allah meskipun kerajaan Allah ditolak. Ini adalah prinsip pertama. Kerajaan Allah tidak dipermalukan ketika kerajaan Allah ditolak. Justru kerajaan Allah “dipermalukan” ketika kita berkata bahwa kita adalah bagian dari kerajaan Allah, tetapi kesaksian kita buruk. Penolakan kita tidak merugikan kerajaan-Nya. Allah tidak membutuhkan manusia tetapi manusia yang membutuhkan Allah. Allah itu sempurna sehingga penolakan kita tidak mengurangi apapun pada diri-Nya. Penerimaan kita juga tidak menambahkan apapun pada diri-Nya. Yesus Kristus tahu bahwa penolakan dan penerimaan kita tidak memengaruhi apa-apa pada diri-Nya. Penolakan dan penerimaan kita menentukan sesuatu dalam hidup kita, namun bukan pada Allah.

Allah Bapa seolah rugi tidak mendapatkan kita, maka Dia memberikan Yesus agar memiliki kita. Yesus seolah rugi jika tidak mendapatkan kita maka Dia menyerahkan tubuh dan darah-Nya untuk mendapatkan kita. Namun ini hanya mengekspresikan cinta kasih Allah yang tidak membutuhkan kita, namun bertindak seperti membutuhkan kita. Jika demikian, maka jangan disia- siakan cinta kasih Tuhan.

Mengapa Yesus seolah begitu tenang ketika Dia menyampaikan kebenaran kerajaan Allah dan tidak takut mengalami penolakan?

Pertama, karena kerajaan Allah tetaplah kerajaan Allah meskipun kita menolaknya. Allah tetaplah Allah meskipun Dia ditolak. Penolakan dan makian kita terhadap Allah tidak membuat Allah berhenti menjadi Allah. Sebelum kita ada, sebelum dosa ada, Allah sudah ada. Setelah dosa ada, Allah tetaplah Allah. Maka ketika manusia mempermuliakan Allah, kita hanya menyatakan kemuliaan Allah tetapi tidak menambahkan kemuliaan Dia. Dia ingin kita menyatakan kemuliaan Allah di dalam dunia yang berdosa yang mengaburkan kemuliaan-Nya.

Kedua, yang ingin Yesus bicarakan yaitu keselamatan berkaitan erat dengan kehendak atau penetapan Allah. Jika Allah adalah Allah yang telah menetapkan seseorang untuk selamat, maka orang itu pasti akan selamat. Kita harus tetap menjaga sikap ketika menyampaikan Firman Tuhan, namun kita harus bersuara dengan tegas dan keras. Karena jika memang dia adalah umat pilihan Allah, maka dia akan datang (ay. 37-44).

Iman, percaya, dan datang kepada Kristus adalah karunia dari Bapa bagi kita. Hari ini kita percaya dan beribadah serta mengucap syukur kepada Allah adalah karena Bapa menarik hati kita. Semua itu dianugerahkan oleh Bapa kepada kita. Kita selamat karena Allah menarik kita. Pada faktanya, memang tidak semua orang akan menerima Yesus. Maka kita tidak perlu memanipulasi Firman Tuhan, karena manipulasi hanya dilakukan oleh orang Kristen palsu yang menggerogoti kerajaan Allah. Tetapi jika kita mau jujur, kita akan menyampaikan Injil apa adanya, karena memang orang-orang yang ditarik oleh Allah pasti akan percaya, dan orang-orang yang tidak ditarik oleh Allah, mau diperlakukan sebaik apapun, mereka tetap tidak akan percaya.

Ef. 1:4-5 berbicara mengenai predestinasi, yaitu Allah menetapkan sejak kekekalan dan inilah yang dibicarakan oleh Yesus. Kemudian di dalam ayat 44 Yohanes berkata bahwa mereka ditarik atau diseret (Yun. Helko) oleh Bapa (Bd. Yak. 2:6; Kis. 16:19, 13:38). Artinya, orang yang diseret seolah tidak memiliki daya untuk melawan jika sudah tiba waktunya. Inilah yang disebut predestinasi. Mereka yang ditentukan oleh Allah akan dipimpin oleh Dia melalui pekerjaan Roh Kudus, melembutkan hati mereka, membuka mata mereka agar mereka datang. Maka seorang pendeta harus berhenti menipu jemaatnya dan kita sebagai jemaat harus belajar untuk menguji dan tidak membiarkan diri kita menipu dan ditipu. Firman Tuhan yang murni harus disampaikan tanpa dikompromikan dan umat Allah yang sejati akan muncul dari pemberitaan Firman Allah yang sejati. Firman Allah yang sejati akan memisahkan umat Allah yang sejati dari yang palsu. Lalu mengapa kita harus mengompromikan kebenaran Firman?

Jika kita ingin menyampaikan Firman Tuhan kepada orang yang kita kasihi, maka sampaikanlah dengan hati yang penuh kasih dan lemah lembut. Ketika kita harus menegur dosa, tegurlah dosa dengan keras agar orang menjadi bertobat. Jika tidak mau bertobat, maka biarlah. Orang yang diselamatkan menggenapi kehendak Allah dan orang binasa pun ada di dalam rencana Allah. Allah mengizinkan dan membiarkan hal itu terjadi. Kita tidak memiliki kewajiban untuk mengompromikan kebenaran Firman. Kewajiban kita adalah menghidupi Firman sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan memberitakannya sesuai dengan apa yang Allah mau di dalam kehidupan kita.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)