Yoh. 9:8-41
Pdt. J. Putratama Kamuri
Minggu lalu kita melihat bagaimana Yesus menyembuhkan orang buta ini kemudian Yesus menyatakan kemuliaan-Nya. Artinya penderitaan tidak dapat menghalangi kemuliaan Allah ketika hal itu terjadi di dalam kehidupan orang percaya. Penderitaan tidak dapat menghalangi penyataan diri Allah kepada kita yang menderita jika kita adalah umat pilihan Allah.
Hari ini kita melihat kelanjutan cerita ini. Oleh karena di dalam PL meskipun ada satu kali catatan mengenai orang-orang buta yang disembuhkan, tetapi di dalam PL tidak ada seorang nabi pun yang pernah memelekkan mata orang yang buta sejak lahirnya. Oleh sebab itu maka Yesaya berkali-kali menggunakan tanda kesembuhan mata orang buta sebagai tanda kehadiran Mesias. Ketika hal ini terjadi, maka gegerlah situasi saat itu. Setelah terjadi kesembuhan, orang itu berjumpa dengan banyak orang. Masyarakat yang mengenal dia menjadi terkejut, kemudian mereka tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan maka mereka datang kepada orang-orang Farisi. Mengapa? Karena ini adalah sebuah peristiwa yang fenomenal, lebih besar di dalam peristiwa 2 Raj. 6:8-23. Selain itu, ketika mata orang buta ini dicelikkan oleh Yesus, berarti terjadi transformasi, terjadi kelepasan dari teror yang menakutkan. Orang buta ini terlepas dari gelapnya masa depannya. Selama dia buta, dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya. Dia tidak dapat menjamin masa depannya. Kegelapan bagi masa depannya teratasi ketika matanya dicelikkan oleh Kristus. Dia juga dilepaskan dari stigma negatif. Orang-orang menganggap dia sebagai orang berdosa, bahkan menganggap keluarganya sebagai orang-orang berdosa juga. Dengan dicelikkan matanya, berarti sekarang Allah berkenan kepadanya. Dengan demikian, orang ini adalah orang yang oleh orang Yahudi dianggap sebagai orang yang telah dibenarkan dan ditebus oleh Allah, demikian juga keluarganya. Dengan konsep yang sedemikian, maka orang buta ini lolos dari penolakan oleh keluarganya, penolakan dari masyarakatnya, bahkan dia boleh masuk ke dalam Bait Allah untuk beribadah. Kita dapat melihat bahwa seolah Yesus memulihkan bukan hanya fisiknya saja, tetapi juga relasi sosialnya dengan keluarganya, dengan masyarakatnya, bahkan pemulihan ini membuat dia memiliki akses untuk datang ke rumah Allah dan bisa berelasi dengan Allah. Pemulihan terjadi secara fisik dan secara spiritual. Ini adalah sebuah peristiwa yang sangat fenomenal hari itu. Tetapi bukan hanya itu, di sisi yang lain peristiwa ini harus dimaknai karena berkaitan dengan nubuatan Yesaya. Yesaya berkata bahwa akan ada orang buta yang dimelekkan matanya oleh Mesias. Maka sekarang mereka harus memberi penilaian berdasarkan Kitab Ulangan, apakah Yesus ini Mesias atau bukan.
Memelekan mata orang buta adalah sebuah pekerjaan Mesianik. Tetapi kemudian yang membingungkan adalah mengapa pekerjaan-pekerjaan Mesianik seperti ini dikerjakan pada hari Sabat? Maka ada dilema di sana. Di satu sisi Dia menggenapi nubuat Yesaya, di sisi yang lain Dia bertindak berbeda dari tradisi. Menyembuhkan pada hari Sabat adalah berbeda dari tradisi, karena menyembuhkan merupakan pekerjaan seorang tabib. Belum lagi Dia menyembuhkan dengan cara meludah di tanah liat dan mencampurkannya kemudian mengoleskannya pada mata orang buta itu. Ini adalah pekerjaan seorang penjunan. Bahkan pada saat itu seorang penjahit tidak boleh membawa jarum dan benang di sakunya karena orang Yahudi akan melihat hal itu sebagai melakukan pekerjaan pada hari Sabat. Tetapi Yesus mengajarkan kepada kita 3 hal: Pertama, work of necessity atau hal yang harus dikerjakan, karena jika tidak dikerjakan maka orang dapat berhadapan dengan kematian seperti pekerjaan seorang dokter, pemadam kebakaran, dll. Kedua, work of mercy atau belas kasihan seperti memberikan pertolongan kepada janda dan orang miskin misalnya. Ketiga, work of piety atau yang berkaitan dengan kekudusan hidup seperti bekerja untuk mempersiapkan ibadah. Tetapi orang Yahudi berada pada peraturan dan tradisi yang begitu ketat sehingga mereka melihat bahwa Yesus di satu sisi mirip dengan yang dijanjikan di dalam Yesaya, tetapi di sisi yang lain bertentangan dengan tradisi yang mereka pegang. Oleh sebab itu maka mereka harus mengidentifikasi siapa Yesus Kristus terlebih dahulu dan menurut saya ini penting.
Mengenal Yesus Kristus pada hari itu akan menentukan respon yang tepat. Jika hari ini kita saling mengenal, barulah kita dapat menentukan respon dengan benar. Ketika orang-orang ini berjuang untuk mengidentifikasi siapa Yesus, bagi saya, ini adalah sesuatu yang positif dan kita harus menyadari bahwa karena mereka tidak mengenal Yesus, termasuk orang Farisi ini, orang banyak itu tidak mengenal Yesus sehingga mereka tidak peduli kepada Yesus, bahkan mereka cenderung menolak Dia. Bagaimana dengan orang buta ini? Oleh karena pengenalannya sangat minimal – di dalam teks yang kita baca tadi – dia berkata: ”Orang yang disebut Yesus itu…” Orang buta ini tidak kenal siapa Yesus. Orang ini hanya mendengar dari orang lain bahwa Dia adalah Yesus. Yang terpenting bagi dia di titik awal adalah kesembuhannya, maka ia tidak memberikan respon yang pantas terhadap Yesus Kristus. Tetapi bukankah posisi orang Farisi dan orang buta di titik awal ini adalah posisi yang kita juga tempati ketika pertama kali kita mengenali Yesus Kristus? Semua orang di dalam dunia ini ketika mengalami perjumpaan dengan Kristus mulai dari satu titik yang saya sebut sebagai pengenalan titik nol. Tidak ada orang yang lahir langsung mengenal siapa Allah. Namun sejak hari pertama di mana kita berjumpa dengan Kristus, Allah menuntut kita agar perjumpaan dan pengenalan itu semakin lama semakin dalam dan dengan demikian kita dapat bertumbuh. Menariknya, pengenalan terhadap Kristus tidak hanya melibatkan pergumulan, tetapi juga melibatkan pertumbuhan secara spiritual. Berarti pergumulan dan penderitaan tidak dapat menjadi alasan bagi kita untuk tidak bertumbuh.
Orang buta yang telah disembuhkan ini berjumpa pertama kali berada pada titik nol. Ketika dia dicelikkan matanya, setelah itu kita akan melihat bahwa dia terus berhadapan dengan tekanan. Dia ditekan oleh orang-orang Farisi, dia ditinggalkan oleh keluarganya, tetapi justru di dalam konteks itu dia mengalami pertumbuhan. Maka kita harus mengingat bahwa pengenalan terhadap Kristus tidak hanya melibatkan pergumulan. Kita pasti bergumul setelah kita mengenal Kristus. Namun pergumulan tidak boleh menjadi penghalang dan penghambat bagi kita untuk memiliki pengenalan yang lebih mendalam terhadap Kristus dan mengalami pertumbuhan secara spiritual. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bertumbuh. Ketiadaan pertumbuhan secara spiritual adalah dosa yang serius di hadapan Tuhan. Pertumbuhan orang buta ini terjadi di dalam pergumulan.
Pertama, pertumbuhan ini adalah pertumbuhan di dalam pemahaman karena mendengar kebenaran. Dia mendengar kebenaran kemudian menganalisanya.
Di dalam ayat 13-17 terjadi perdebatan. Orang Farisi disebut sebagai penjaga Taurat oleh sebab itu maka mereka adalah orang-orang yang lebih paham Taurat dari pada orang buta ini. Mereka lebih berkapasitas untuk menguji dan mengenal siapa Yesus Kristus karena mereka lebih memahami firman dalam PL. Alat ukurnya paling tidak adalah Ul.13:1-5. PL memberikan alat uji bagi nabi sejati dan nabi palsu. Di tengah- tengah perdebatan itu muncul dua kelompok: kelompok Farisi mengatakan bahwa Dia adalah nabi oleh karena orang berdosa tidak mungkin melakukan apa yang Dia lakukan. Mereka merujuk kepada PL dan mereka dapat mengidentifikasi siapa Yesus Kristus. Kelompok kedua yaitu mereka yang berdiri di atas tradisi dan berkata bahwa Dia bukan nabi, meskipun Dia melakukan pekerjaan-pekerjaan Mesias. Tetapi anehnya ketika nanti orang buta yang telah disembuhkan ini bersaksi, dua kelompok yang tercerai ini kemudian bersatu melawan dia. Ada dua hal yang menghambat kita untuk memberi respon yang tepat kepada Kristus:
Pertama, tradisi yang salah. Kita tidak dapat menolak semua tradisi karena gereja juga berbicara mengenai tradisi. Yesus hidup di dalam tradisi, maka tidak semua tradisi dapat kita singkirkan begitu saja. Seorang penulis berkata bahwa cara pandang kita atau cara hidup kita lebih mungkin ditentukan dan dibentuk oleh kebudayaan yang kita hidupi. Maka kita perlu memerhatikan kita hidup di dalam budaya yang seperti apa. Orang Yahudi menghidupi tradisi yang salah. Kita dapat melihat di dalam Alkitab. Di mana PL melarang orang melakukan sesuatu yang baik seperti menyembuhkan orang buta seperti ini? Tetapi karena mereka berpegang kepada tradisi yang salah, mereka ingin agar pekerjaan-pekerjaan Kristus yang merupakan ekspresi kehadiran Allah ditundukkan kepada tradisi. Bahkan jika Allah mengutus nabi, atau Ia ingin hadir di tengah-tengah dunia, maka orang Yahudi ingin Allah hadir sesuai dengan tradisi mereka. Hal ini yang membuat mereka sulit mengenal Yesus Kristus.
Hal kedua yang menghalangi mereka memberikan respon yang tepat kepada Kristus adalah kebencian. Mereka tetap menolak Yesus meskipun mereka berkata bahwa Dia adalah nabi. Maka ketika orang buta itu berkata bahwa Yesus adalah nabi, dua kelompok yang terpisah ini bersatu lalu melawan dia. Mereka berusaha mendiskreditkan kesaksian orang buta ini dan pada ayat 34 dia diusir. Tetapi yang kita jumpai adalah orang-orang yang seharusnya memahami firman Allah lebih dari orang buta itu, namun mereka gagal. Sekarang bagaimana dengan orang buta?
Bagi saya, orang buta ini justru dipimpin oleh Tuhan ketika dia mendengar perdebatan mereka. Mereka akan membangun argumentasi mereka berdasarkan pemahaman mereka terhadap Kitab Suci. Sebelumnya orang ini berkata ”Orang yang disebut Yesus itu…”, tetapi selesai mendengarkan perdebatan dan ditanya mengenai siapa Yesus, orang buta yang telah disembuhkan ini berkata bahwa Yesus adalah seorang nabi. Ini adalah perkembangan yang sangat signifikan. James Boice berkata bahwa perdebatan hari itu telah membawa orang buta kepada pemahaman yang baru. Dia tidak lagi menyebut Yesus sebagai apa yang ia dengar dari orang lain, tetapi sekarang dia menyatakan pendapatnya tentang siapa Yesus Kristus. Ini adalah sebuah pernyataan yang serius. Bukan hanya menunjukkan bahwa kesimpulannya berbeda dengan sebelumnya, tetapi jika Yesus adalah nabi, berarti dia sedang berkata kepada orang-orang itu bahwa Yesus adalah utusan Allah dan Dia harus didengarkan. Maka tidak ada situasi yang terlalu buruk untuk menghambat kita bertumbuh.
Jika hari ini kita sedang bergumul oleh karena pandemi ini, maka pandemi ini tidak boleh menghentikan pertumbuhan kita secara spiritual. Tidak ada situasi yang terlalu buruk bagi orang Kristen untuk tidak bertumbuh secara spiritual. Kita harus berhenti mencari-cari alasan ketika kita gagal untuk bertumbuh. Ketika kita ada di dalam situasi buruk dan gagal bertumbuh, orang pertama yang harus bertanya mengapa kita tidak bertumbuh adalah diri kita sendiri. Pemahaman orang buta yang telah disembuhkan ini di satu sisi prematur karena nabi bukanlah Mesias, nabi bukanlah Tuhan. Ketika Yesus berkata ”Akulah terang dunia”, di dalam pertemuan pertama saya mengatakan bahwa Yesus tidak hanya berkata bahwa Ia adalah Mesias, tetapi Dia adalah Tuhan. Bagi orang Yahudi, yang menjadi terang dunia ini adalah Allah. Dengan demikian ketika Yesus berkata bahwa Ia adalah terang dunia, maka Yesus mengklaim diri-Nya sebagai pribadi yang ilahi. Dia mengaitkan istilah ”Akulah” dengan ”Terang Dunia” dan dua hal ini berbicara mengenai keilahian. Maka ini adalah klaim keilahian Kristus. Pada saat yang sama pemahaman ini prematur tetapi juga benar karena Yesus adalah nabi. Di dalam PL Allah berkata kepada Musa bahwa Ia akan mengutus seorang nabi yang sama sepertinya dan nabi itu sudah hadir di dalam diri Yesus Kristus. Secara teologis kita akan melihat di dalam Alkitab bahwa Yesus menjalankan tiga jabatan: Raja, Imam, dan Nabi. Dia adalah Raja di dalam kerajaan Allah, Dia adalah imam bagi kita (Ibrani), Dia adalah Nabi yang memberitakan kebenaran firman Allah. Sehingga ketika orang ini mengatakan bahwa Yesus adalah nabi, maka pemahaman ini prematur, tetapi juga pada saat yang sama benar. Maka kita dapat belajar bahwa ada sebuah pemahaman yang benar di tengah-tengah perdebatan. Kita tidak perlu anti terhadap hal itu. Bertumbuh di dalam pemahaman adalah sebuah fakta yang harus dialami oleh semua orang Kristen. Setelah kita berjumpa dengan Kristus, kita tidak boleh ada di titik nol. Pemahaman kita bahkan secara kognitif sudah seharusnya mengalami pertumbuhan. Namun jika kita bertumbuh, ada satu ciri yang lain, yaitu keberanian untuk menegaskan posisi kita. Jika kita mengenal kebenaran dan kita bertumbuh di dalamnya, maka pasti akan muncul keberanian di dalam hati kita untuk menegaskan kebenaran itu. Jika Yesus adalah nabi, maka Dia memiliki otoritas ilahi. Jika Dia memiliki otoritas ilahi, maka Dia harus didengarkan. Kita berespon dengan biasa karena memang kita berada pada posisi yang sama. Tetapi orang buta ini menegaskan posisinya bahwa Yesus adalah nabi di tengah-tengah orang yang sebenarnya ingin menolak kenabian Yesus Kristus.
Orang buta ini beroposisi dan hal ini begitu beresiko. Bahkan orang tuanya pun takut karena mereka tahu mereka bisa dikucilkan. Orang buta ini meresikokan dirinya kembali untuk dikucilkan. Mengapa ia begitu berani? Karena ia telah berjumpa dengan kebenaran. Orang yang mengenal kebenaran dan orang yang bertumbuh di dalam kebenaran tidak akan bermain- main dan mengompromikan kebenaran. Mereka tidak akan mungkin menyangkali kebenaran. Itulah mengapa kita sedih ketika ada orang yang murtad, tetapi di satu sisi kita tahu bahwa orang itu belum pernah berjumpa dengan kebenaran. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita pernah berjumpa dengan kebenaran?
Orang buta ini adalah saksi hidup akan hal ini. Apakah Kristus adalah kebenaran bagi kita? Jika Dia adalah kebenaran bagi kita, maka Dia tidak akan dikompromikan dan tidak akan dipermainkan di dalam kehidupan kita. Dia tidak mungkin tidak disaksikan di dalam kehidupan kita. Itu sebabnya Roh Kudus disebut sebagai Roh Kebenaran, karena Dia memimpin kita untuk mengenal kebenaran, baik kebenaran yang bersifat proposisional seperti yang kita pelajari hari ini, atau kebenaran yang berpribadi, yaitu Yesus Kristus. Kita akan dituntut untuk mengambil posisi dan menyuarakan kebenaran yang kita kenal. Kita bukan hanya dituntut, namun kita juga tidak dapat mendiamkannya. Kita tidak dapat mengompromikan hal ini. Orang ini adalah orang yang bertumbuh dari titik nol, kita melihat pertumbuhannya menjadi jelas. Meskipun ini hanya kebenaran yang mungkin belum terlalu substansial bagi banyak orang Kristen, namun kebenaran yang prematur dan tidak substansial ini dipegang teguh oleh orang ini tanpa dikompromikan sama sekali.
Kedua, pertumbuhan bukan hanya tampak di dalam pertumbuhan secara pemahaman karena kita mendengar kebenaran, tetapi pertumbuhan selalu nampak di dalam komitmen terhadap kebenaran (ay. 18-34).
Orang tuanya tahu bahwa anaknya telah dicelikkan dan Saya yakin mereka bersukacita oleh karena anaknya sembuh. Tetapi karena rasa malu oleh tuduhan masyarakat, stigma yang diberikan oleh masyarakat diangkat. Sekarang mereka tahu bahwa anak laki-laki mereka dengan mata yang dapat melihat maka masa depannya lebih terjamin dari keadaan yang sebelumnya. Saya yakin mereka telah memiliki kesimpulan tertentu tentang siapa orang yang menyembuhkan anak mereka. Tetapi oleh karena takut kepada orang Yahudi, takut kepada eks- komunikasi, takut hidup mereka terancam, maka mereka tidak menyuarakan kebenaran. Kita harus sedikit berhati-hati di dalam konteks ini. Sering kali kita tahu kebenaran, namun kita tidak mau membicarakannya. Ini bukan hanya urusan kebenaran Alkitab, tetapi di tempat kerja kita, di tempat kita studi, di tempat kita melayani Tuhan. Ada waktu di mana kita ditempatkan pada posisi yang sulit harus memilih kepada kebenaran atau melawan kebenaran. Namun pada akhirnya banyak orang memilih untuk melawan kebenaran yang dia tahu, karena dia tahu bahwa jika dia berpegang kepada kebenaran maka itu mengancam banyak hal di dalam hidupnya, dan hal ini terjadi pada orang tua dari orang buta ini.
Yesus berkata bahwa diri-Nya adalah kebenaran. Dia datang bukan untuk membawa damai, tetapi untuk membawa pedang, Dia datang untuk membawa pemisahan. Berarti jika kita tahu kebenaran dan berkomitmen kepada kebenaran, maka sangat mungkin kita dipisahkan dari orang-orang yang tidak mencintai kebenaran, bahkan mungkin dengan orang- orang terdekat kita. Tetapi jika kita melihat orang tua dari orang buta ini, mereka memilih untuk melepaskan kebenaran yang mereka ketahui.
Di dalam proses ayat 2-34 kita melihat komitmen terhadap kebenaran, bahkan dia cukup berani untuk menghadapi orang Farisi. Dia tidak takut kepada apa yang ditakuti oleh orang tuanya. Bukankah ini menggenapi apa yang Yesus katakan di dalam Mat. 10:28? Siapa yang telah dapat melihat dengan benar pada hari itu? Orang-orang yang matanya melihat sejak lahirnya, atau orang buta yang kemudian berjumpa dengan Kristus dan dia bukan hanya melihat secara fisik, namun juga melihat secara spiritual? Orang buta ini akhirnya lebih mirip dengan apa yang dituntut oleh Yesus Kristus.
Bertumbuh berarti serupa dengan Kristus. Sering kita mencari definisi bertumbuh secara spiritual. Namun semakin lama kita tahu bahwa hidup kita semakin serupa dengan Kristus, maka kita tidak perlu mencari kriteria yang lain. Jika semakin lama kita semakin serupa dengan Kristus, maka pertumbuhan iman kita akan semakin menuju kepada Dia. Keserupaan orang ini dengan Kristus tampak dari prinsip yang ia pegang. Dia menjalani hal itu dengan segala resikonya.
Kita dapat melihat perdebatan ini berlangsung paling tidak tiga fase: pertama, ayat 24-25. Ini adalah kalimat yang besifat interogatif. Sama seperti Yosua tahu bahwa Akhan telah mencuri dari Allah, maka kalimat ini mengasumsikan kebohongan Akhan (Yos. 7:1-26), demikian juga orang Farisi mengasumsikan bahwa orang buta ini berbohong. Kalimat ini bukan hanya sekedar kalimat interogatif, tetapi juga intimidatif. Di tengah-tengah interogasi dan intimidasi, jawaban orang ini: “Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat.” Ini adalah jawaban yang benar. Orang buta ini peka mana yang harus dia urus dan mana yang tidak. Maka dia mengatakan urusan berdosa atau tidak dia tidak tahu karena memang hanya Tuhan yang tahu. Sebenarnya yang ingin dia katakan adalah tanda-tanda yang Yesus buat.
Saya ingin mengambil kesimpulan tentang siapa Dia berdasarkan tanda-tanda yang Dia buat. Mereka sendiri berkata bahwa orang berdosa tidak dapat memelekkan mata orang buta. Oleh sebab itu, jika Dia melakukannya maka tidak mungkin Dia adalah orang berdosa. Berarti Dia tidak sama seperti yang mereka tuduhkan. Dia terlalu berani mengatakan apa adanya kepada orang-orang ini. Saya yakin mereka sama- sama jengkel. Maka kita dapat melihat setelah itu pada ayat 26-27 tensinya semakin lama semakin meningkat. Tetapi sekarang kita melihat kesimpulan yang tajam muncul dari orang yang tadinya buta. Maka perdebatan masuk ke dalam fase yang kedua.
Mereka bertanya bagaimana caranya Dia memelekan mata orang buta ini. Sebenarnya pertanyaan ini sangat absurd untuk beberapa hal: pertama, bagaimana orang buta ini tahu cara Yesus menyembuhkan mata orang buta karena sebelumnya dia tidak dapat melihat? Ini adalah serangan yang cukup tajam kepada orang-orang itu. Bagaimana mungkin mereka menyuruhnya bercerita berkali-kali? Orang buta yang telah disembuhkan ini tahu isi hati orang-orang ini. Dia tahu bahwa mereka sebenarnya tidak ingin tahu kebenaran. Mereka tidak sedang mencari kebenaran melalui pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka mencurigai dia menyembunyikan sesuatu, tetapi di balik semua pertanyaan itu ada sesuatu yang justru mereka sembunyikan. Yang mereka cari bukanlah kebenaran, tetapi kesalahan dari Yesus. Orang ini memberi petunjuk kepada kita bahwa jika kita berjumpa dengan kebenaran dan kita ditawan oleh keindahan kebenaran, maka kita akan teguh berdiri di atas kebenaran. Kita tidak akan malu dan takut untuk mengakui kebenaran. Semua orang yang telah berjumpa dengan kebenaran yang sejati, hatinya pasti ditawan oleh kebenaran yang sejati. Dan jika hati kita ditawan oleh kebenaran yang sejati, maka kita tidak mungkin bisa berdiri di atas fondasi yang lain kecuali di atas kebenaran itu. Kita akan teguh berdiri di atas kebenaran, tidak malu untuk menyatakannya dan tidak takut untuk menegakkannya.
Sampai di tahap yang kedua kita dapat mempelajari banyak hal dari orang buta ini. Bukan hanya sekedar tahu kebenaran, tetapi bagi saya dia adalah orang yang benar-benar telah ditawan oleh kebenaran. Karena jawabannya menjengkelkan maka orang-orang ini mulai memberikan jawaban yang juga lebih tajam di dalam ayat 28-34. Mereka berkata bahwa mereka bukanlah murid orang itu. Mereka berkata bahwa mereka adalah murid Musa karena mereka tahu dari mana Musa berasal, tetapi mereka tidak tahu dari mana Yesus berasal. Lalu orang ini menjawab dan kali ini jawabannya membuat dia diusir. Hal ini menjadi aneh karena mereka tidak tahu dari mana Yesus datang. Mereka adalah orang Farisi dan pemimpin agama. Mereka adalah orang yang paling memungkinkan untuk menguji siapa Yesus. Lalu apa gunanya ajaran-ajaran yang mereka ajarkan? PL berkata bahwa jika nabi palsu melakukan mujizat dan terjadi, maka perhatikan ajarannya. Jika ajarannya salah maka dia adalah nabi palsu. Mereka dapat membuktikan apakah ajarannya salah. L alu apa gunanya tanda-tanda yang Yesus kerjakan? Karena tanda-tanda ajaib di dalam PL adalah tanda untuk mengonfirmasi keaslian seorang nabi. Maka ketidaktahuan mereka adalah sebuah keanehan. Ketidaktahuan mereka lebih mengejutkan dari pada kesembuhan orang buta. Kesembuhan orang buta adalah peristiwa spektakuler. Tetapi mereka mengaku tidak tahu itu.
Dalam ayat 31 mereka berkata bahwa Allah hanya mendengar orang yang saleh. Maksudnya adalah jika Yesus berdosa dan melawan Allah, Dia tidak akan mungkin bisa melakukan semua ini. Tetapi jika Dia bisa, maka seharusnya Allah berpihak kepada Dia dan Dia adalah orang benar. Dia bukan hanya benar tetapi Dia adalah Mesias. Perdebatan tahap ketiga mengantar orang ini pada kesimpulan yang jauh lebih dari pada hal ini. Mereka tidak pernah mau mengakui Yesus sebagai Mesias. Tetapi orang ini memiliki kesimpulan demi kesimpulan justru mengarah kepada satu titik, yaitu Yesus adalah Mesias dan kesimpulan ini tidak ingin mereka dengar. Maka mereka mengusir orang buta ini.
Implikasi pertama, tekanan dapat menajamkan pemahaman kita dan meneguhkan keyakinan kita. Tekanan di dalam hidup ini tidak selamanya membuat pikiran kita membeku dan tidak mengenal Allah. Pemahamannya semakin tajam dan keyakinannya semakin diteguhkan karena tekanan dari orang-orang Farisi yang justru membuatnya berpikir. Di dalam urusan mengenal kebenaran secara spiritual, kita tidak bersandar kepada akal kita yang terbatas. Yesus berkata bahwa Ia akan mengutus Roh Kudus, sehingga ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang sedemikian, maka Dia akan memimpin kita untuk memberi jawaban-jawaban yang tepat. Artinya di dalam kondisi yang sedemikian, Roh Kudus bekerja supaya pikiran kita dapat memahami kebenaran dengan baik. Maka tekanan di dalam urusan pengenalan terhadap Allah bukan alasan bagi kita untuk tidak mengenal Allah. Orang buta ini justru semakin mengenal Allah dan pengenalannya semakin dalam di dalam konteks di mana dia ditekan. Dia bisa sampai kepada kesimpulan bahwa Yesus bukanlah orang berdosa. Orang ini menganalisa dan berefleksi terkait kebenaran mengenai Kristus.
Istilah melihat dalam ayat 37 bukan hanya sekedar melihat, tetapi berbicara mengenai orang yang terus menerus ada di dalam pikiran mereka itulah yang sedang berbicara kepada mereka. Oleh sebab itu selama perdebatan itu orang buta yang telah dicelikkan itu mendengar dan selama mereka menekan dia, Kristus seolah-olah terus menerus ada di dalam pemikirannya sehingga di dalam tekanan itu dia terus menerus mengalami pertumbuhan secara spiritual dalam pengenalannya terhadap Tuhan. Refleksi dapat dilakukan di mana saja. Merenungkan firman tidak harus dipahami sebagai kita membacanya seperti orang bermeditasi dan mendapatkan sesuatu. Tetapi merenungkan firman berarti kita memikirkan bagaimana kebenaran itu teraplikasi di dalam seluruh dimensi kehidupan kita. Hal itu tidak harus terjadi di dalam situasi yang sepi. Tetapi pertumbuhan juga membuat kita siap untuk menanggung konsekuensi berpegang kepada kebenaran.
Pembahasan minggu depan adalah mengenai Gembala yang Baik. Gembala yang baik membuka akses bagi domba-domba untuk datang kepada Allah. Kita sudah dapat melihat bahwa Farisi bukanlah gembala yang baik. Setelah Yesus membuka akses bagi orang buta ini, Farisi menutup kembali aksesnya. Tetapi orang buta ini mengambil resiko yang begitu berat. Dia mengambil resiko yang sangat sulit, yaitu eks-komunikasi (ay. 34). Tetapi saya yakin dengan demikian maka di dalam kehidupannya nanti akan tergenapi firman Tuhan, yaitu meskipun ayah dan ibunya meninggalkannya, tetapi Tuhan tidak meninggalkan dia. Orang ini telah mengambil resiko dan bukankah ini yang disebut sebagai salib? Resiko oleh karena kita berpegang kepada kebenaran membuat kita serupa dengan Kristus dan berbeda dari dunia. Salib tidak boleh tidak ada dari kehidupan orang Kristen karena salib adalah tanda utama kehidupan Kristen.
Perjuangan memikul salib tidak akan sanggup kita kerjakan jika Kristus tidak mengintervensi. Kita seperti orang buta yang terusir, kita menjadi tersendiri. Tetapi di dalam ketersendirian itu jika Allah tidak hadir dan menopang kita untuk memikul salib kita, itu adalah hal yang mustahil. Maka ketika orang buta yang telah disembuhkan ini diusir, Kristus datang dan menjumpai dia. Yesus tidak merasa sudah cukup hanya memberinya kesembuhan dan pertumbuhan imannya semakin membaik. Yesus memiliki sikap yang begitu luar biasa sebagai gembala. Di dalam percakapan selanjutnya seolah Yesus ingin mengatakan bahwa ketika ia tertekan Yesus hadir bersama dia.
Ketiga, dia bertumbuh di dalam respon yang benar terhadap kebenaran. Kalimat Yesus di dalam ayat 40- 41 menunjukkan keperpihakan-Nya. Posisi Yesus sama dengan posisi orang buta yang telah dicelikkan. Mengapa ia begitu kuat dan berani menghadapi perdebatan dengan orang Farisi? Karena Yesus berpihak kepada dia. Paulus berkata jika Allah di pihak kita siapakah lawan kita? Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih karunia Kristus? Tidak ada. Tetapi Kristus menunjukkan bahwa Dia berpihak kepada orang ini. Yesus berpihak kepada dia dan Yesus bertanya apakah dia mempercayakan dirinya kepada Anak Manusia. Orang ini tidak langsung menjawab ”Ya” tetapi dia berkata “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya.” Ada yang berkata bahwa orang ini percaya karena memang dia bodoh. Tetapi kita dapat melihat bahwa orang ini lebih kritis dari pada banyak orang Kristen hari ini. Hari ini banyak orang Kristen yang ’asal percaya’ sehingga pengenalannya sama seperti orang buta pada tahap nol. Tetapi setelah pikirannya dipertajam oleh Tuhan melalui pengenalan yang benar terkait firman Tuhan, pikirannya tidak lagi buta tetapi pikirannya bukan hanya dicelikkan melainkan menjadi semakin kritis. Kemudian Yesus berkata bahwa orang itu telah melihat Dia yang berkata-kata kepadanya. Hal ini menjadi menarik. Yesus seolah berkata bahwa memang orang buta yang telah dicelikkan ini tidak melihat Yesus ketika Yesus menyembuhkan matanya, tetapi bukankah Yesus berkata-kata dan orang buta ini mendengar kata-kata Yesus? Ini adalah suara yang sama dengan suara yang telah menyembuhkan dia. Itulah mengapa pada pasal yang berikutnya ketika berbicara mengenai gembala yang baik, Yesus berkata bahwa gembala mengenal domba dan domba mengenal suara gembalanya. Sekarang orang itu telah melihat Yesus. Istilah ”melihat” bukan hanya melihat dengan mata tetapi berbicara mengenai pikiran yang memahami sesuatu. William Barclay & Leon Moris mengambil kesimpulan yang sama bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang terus menerus menyatakan diri kepada orang buta dalam seluruh proses itu. Yesus Kristus telah memenuhi pikiran orang buta ini sejak pertama kali dia sembuh. Orang buta ini sujud menyembah kepada Kristus dan Kristus menerima penyembahannya. Malaikat menolak penyembahan, tetapi Yesus Kristus tidak menolak penyembahan. Maka seluruh cerita ini didesain oleh Yohanes untuk memberi petunjuk kepada kita bahwa Kristus adalah Tuhan dan orang yang berjumpa dengan kebenaran dan hatinya ditawan oleh kebenaran senantiasa akan memberikan respon yang pantas terhadap kebenaran.
N. T. Wright berkata bahwa perjumpaan dengan Kristus yang sejati akan menawan hati kita sehingga kita tidak mungkin bisa yang lain kecuali percaya kepada Dia. Jika kita berjumpa Yesus yang ada di dalam Alkitab maka kita akan sujud menyembah Dia dan seluruh dimensi hidup kita akan dipakai untuk melayani Dia karena Dia adalah terang di dalam kehidupan kita.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)