Yoh. 8:30-36
Pdt. J. Putratama Kamuri
Setelah Yesus melakukan mujizat, Yesus mulai mengajar dan kali ini kita menemukan di dalam ayat 30 bahwa banyak orang menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Ini adalah sebuah fakta yang menarik. Di dalam pasal 6 cerita mengenai roti hidup berakhir dengan murid-murid meninggalkan Dia. Sekarang seolah-olah ada murid yang baru dan jumlahnya juga cukup banyak untuk mengikuti Yesus Kristus. Di dalam Yoh. 20:30-31, Yohanes mencatat mujizat Yesus Kristus bukan agar kita berfokus kepada mujizat-mujizat yang dikerjakan oleh-Nya, tetapi supaya ada iman yang sejati, supaya orang menjadi percaya kepada Dia dan memperoleh hidup yang kekal. Target Yohanes adalah untuk menghasilkan iman yang sejati, menghasilkan murid yang sejati yang hidupnya dipimpin oleh iman sejati menuju kepada kekekalan.
Hari ini kita menemukan sebuah fakta bahwa setelah Yesus Kristus mengajar banyak orang yang menjadi percaya. Tetapi anehnya Yesus lagi-lagi tidak menyambut secara positif orang-orang yang disebut orang percaya ini (Yun. Pisteuo). Bahkan di dalam ayat 37-59 Yesus membongkar orang-orang yang ‘katanya’ percaya ini. Yesus menunjukkan identitas mereka. Di dalam ayat 34 Yesus berkata bahwa jika mereka hidup seperti yang sekarang ini, maka mereka adalah budak dosa padahal mereka adalah orang percaya. Seharusnya orang yang percaya adalah orang yang telah dimerdekakan dari perbudakan dosa.
Di dalam ayat 37 Yesus berkata: “Firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu”, artinya mereka tidak peduli dengan Firman. Ayat 44 Yesus berkata kepada mereka bahwa bapa mereka adalah iblis dan di dalam ayat 54-55 Yesus berkata kepada mereka secara implisit untuk mengatakan kepada mereka bahwa bapa mereka adalah pendusta. Klaim Yesus Kristus dibuktikan dengan ayat 59, yaitu mereka mengambil batu untuk melempari Dia. Jadi kita dapat melihat bahwa orang ini dikatakan percaya tetapi Yesus seolah tidak mengapresiasi atau tidak menyambut mereka. Maka kita harus melihat bahwa meskipun Yohanes mengatakan bahwa mereka percaya, Yohanes tetap membedakan antara iman yang sejati dengan iman yang palsu, iman yang berakar di dalam Kristus dan iman yang dangkal.
Tidak semua orang yang mengaku percaya kepada Kristus otomatis bisa disebut sebagai murid. Pada pasal 2:23-25 Yohanes memberikan indikasi ini. Mereka percaya, tetapi Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka. Artinya Yesus menolak untuk memberi diri-Nya kepada mereka. Hal ini berbicara mengenai penolakan Kristus terhadap mereka. Hal ini serupa dengan catatan di dalam Mat. 7:22-23. Hal ini berbicara mengenai orang yang seolah-olah kenal dekat dengan Tuhan namun ditolak oleh Dia dan pada akhirnya mengalami kebinasaan. Yesus menghendaki agar ada orang yang menjadi murid-Nya, tetapi murid yang sejati. Yesus menghendaki agar kita memiliki iman, tetapi Dia menghendaki iman yang sejati. Sebaliknya, Dia menolak iman yang palsu dari murid yang palsu. Ini menjadi persoalan yang cukup berat di dalam kehidupan kita. Banyak orang mengaku percaya, tetapi belum tentu mereka memiliki iman yang sejati.
Dua ciri dari iman yang palsu:
Pertama, yaitu mereka mengikuti Yesus dan mengaku percaya tetapi tanpa pengertian yang benar. Mereka melihat banyak mujizat (Yoh. 2:23-25) dan akhirnya mereka mengaku percaya, bahkan mereka menyebut Yesus Mesias, tetapi permasalahannya bukan hanya menyebut diri Kristen dan percaya kepada Yesus. Jika kita mengaku percaya, mengaku sebagai murid Kristus namun tidak memiliki pengertian, maka sama saja dengan tidak percaya. Mereka hanya orang percaya yang semata-mata karena melihat mujizat. Mereka dipuaskan oleh mujizat, namun mereka tidak paham apa yang ada di balik semua mujizat itu. Saya kira hal ini perlu menjadi pertanyaan kita:
Pertama, apakah kita adalah orang yang percaya kepada Kristus? Jika kita berkata “Ya”, maka pertanyaan selanjutnya yaitu, mengapa kita percaya kepada Kristus? Tidak cukup hanya mengatakan percaya kepada Kristus tanpa alasannya. Pertanyaan ini harus kita jawab secara spesifik. Apakah kita mengerti apa yang kita percaya? Apakah percaya kepada Kristus bisa dilakukan oleh siapa saja? Tetapi apakah kita tahu alasan mengapa kita percaya kepada Kristus? Percaya tanpa pengertian sama saja dengan tidak percaya. Orang-orang pada pasal 6 ketika mereka mengikut Yesus Kristus, mereka juga disebut sebagai murid-murid. Artinya mereka juga percaya kepada otoritas Kristus, tetapi mereka tidak mengerti mengapa mereka percaya dan pasal 6:36 berkata bahwa sebenarnya mereka tidak percaya. Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa percaya saja tidak cukup. Kita diselamatkan oleh iman, tetapi tidak cukup. Iman yang sejati melibatkan pengertian terhadap apa yang kita percayai. Kita diselamatkan karena kita percaya kepada Kristus, tetapi Kristus seperti apa yang kita percayai? Sebagai orang Kristen, kita harus berhenti untuk terus mengulangi kalimat: “Yang penting percaya saja.”
Iman selalu berbicara mengenai dua hal: Pertama, percaya di dalam hati dan kedua, iman juga berbicara mengenai isi iman atau apa yang kita percayai. Maka sebagai orang Kristen ini adalah pertanyaan yang penting. Orang-orang di dalam pasal 6 memiliki iman yang palsu. Mereka mengikut Yesus dan berjuang, tetapi iman itu palsu karena mereka tidak tahu apa yang mereka percayai.
Ciri iman palsu yang kedua yaitu orang-orang yang mengikut Yesus, percaya kepada Dia dengan pengertian, namun pengertian dan pengakuan ini dangkal. Mereka tahu ajaran Yesus benar, tetapi sayangnya kebenaran itu tidak berakar di dalam hati dan tidak mengubah hidup mereka. Mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mereka mengakui mana yang benar dan menolak mana yang salah. Tetapi sayangnya apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka akui tidak membentuk hati mereka dan tidak membentuk hidup mereka. Maka ketika Yesus mengoreksi mereka, Yesus berkata jika mereka adalah murid-Nya, mereka akan tinggal di dalam Firman-Nya. Ini adalah persoalan mereka. Murid sejati yang diinginkan Yesus adalah mereka yang memiliki keyakinan di dalam hati yang membentuk hidup mereka dan mengarahkan hidup mereka kepada kebenaran. Sebenarnya yang ada di dalam hati itulah yang paling penting. Kita mengakui doktrin-doktrin Reformed sebagai benar secara rasional, tetapi apakah semua yang kita akui sebagai benar itu kemudian membentuk hidup kita? Pemahaman secara kognitif saja tidak cukup. Mereka paham mengenai Yesus Kristus, tetapi sayangnya mereka masih menjadi budak dosa (ay. 34), anak setan (ay. 44), dan pendusta (ay. 54-55). Lalu pada ayat 59 dikatakan bahwa mereka bertindak ingin membunuh Yesus.
Di dalam perumpamaan tentang empat jenis tanah, maka ini adalah jenis tanah yang berbatu-batu. Kita meresponi Firman Tuhan tetapi kemudian Firman Tuhan itu tidak masuk ke dalam hati kita. Firman Tuhan itu hanya sampai kepada pemahaman kognitif, mengakui dan mengetahui benar namun kemudian tidak membentuk hati kita. Yesus sedang berbicara mengenai murid yang sejati dan ketika Dia mengatakan orang yang mengikut Dia tidak mengerti siapa Dia, hal itu sama dengan murid palsu. Orang yang mengerti tetapi Firman itu tidak tinggal di dalam hatinya dan tidak membentuk hidupnya, ini juga adalah murid yang palsu dengan iman yang palsu. Yesus menginginkan murid yang sejati yang memiliki iman yang sejati. Iman yang sejati berakar pada perjumpaan personal dengan Yesus sebagai terang dunia. Jika kita berjumpa dengan Dia sebagai terang dunia, maka Dia akan menerangi pikiran kita sehingga kita mengenal Dia secara kognitif. Dia juga akan menerangi perasaan dan hati kita sehingga Firman itu berakar di dalam hari kita. Jika kita berjumpa dengan sang terang hidup, maka sang terang hidup itu akan menerangi seluruh dimensi hidup kita sehingga kita mengalami perubahan hidup. Selanjutnya kita akan melihat tiga ciri iman yang sejati yang dituntut oleh Kristus dalam kehidupan kita.
Pertama, iman yang sejati lahir dari pikiran yang diterangi oleh Allah sehingga memiliki pengenalan yang benar terhadap Allah yang benar secara kognitif. Jika kita berjumpa dengan Kristus, sang terang dunia, maka pikiran kita akan diterangi oleh Allah sedemikian rupa sehingga kita memiliki pengenalan yang benar terhadap Allah yang benar secara kognitif. Bukankah tadi saya mengatakan percuma memiliki pemahaman kognitif, tetapi sekarang saya memulai poin pertama justru berbciara mengenai pengenalan yang benar terhadap Allah yang benar secara kognitif karena pikiran ini telah dicerahkan oleh Allah. Apa maksudnya?
Jika kita benar-benar mengenal Yesus Kristus dan berjumpa dengan-Nya maka pikiran kita akan diterangi sehingga kita mengerti siapa Dia. Yang saya maksudkan di sini adalah keseimbangan di dalam mengerti teks sedemikian. Pertama, memang tidak semua orang yang memiliki pemahaman kognitif dan kemudian berkata: “Saya percaya Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati” adalah murid Kristus yang sejati. Yoh. 8 membuktikan hal ini kepada kita, tetapi tidak berarti kita harus membuang pemahaman secara kognitif atau pemahaman intelektual. Ini bukanlah hal yang tidak penting. Meskipun tidak menyelamatkan kita, tetapi ini sangat penting. Mengapa? Kita juga tidak akan menemukan Yesus atau rasul melarang kita untuk memiliki pemahaman secara kognitif di dalam Alkitab. Iman sejati yang dimiliki oleh murid sejati pasti mendapatkan penamahaman secara kognitif. Meskipun pemahaman kognitif tidak menyelamatkan kita dan tidak menjamin kita adalah murid yang sejati, namun sebaliknya, murid sejati yang memiliki iman yang sejati pasti memiliki pemahaman secara kognitif. Mengapa pemahaman kognitif adalah sesuatu yang dibutuhkan di dalam iman yang sejati?
Pertama, Allah di dalam Kitab Suci berkata bahwa Dia adalah pencipta pikiran manusia. Dia adalah Allah yang menuntut kita di dalam Mat. 22:37, Mrk. 12:30, Luk. 10:27 untuk mengenal dan mengasihi Dia dengan segenap akal budi. Dia menciptakan pikiran agar pikiran ini mencari kebenaran dan memahaminya. Allah adalah kebenaran. Pikiran memiliki fungsi yang begitu penting, yaitu mencari dan mengenal Allah yang adalah kebenaran, kemudian dengan hal itu kita dituntun untuk mengasihi Dia dengan segenap pikiran kita. Matius, Markus, dan Lukas ketika berbicara mengenai mengasihi Allah dengan seluruh dimensi kehidupan kita, ada satu yang tidak dihilangkan, yaitu mengasihi Allah dengan segenap akal budi. Ini adalah hal yang sangat penting. Jika kita berjumpa dengan Kristus sebagai terang dunia, maka Dia akan menerangi pikiran yang buta, Dia akan mencerahkan pikiran kita sehingga kita mengenal Dia secara kognitif. Pikiran yang tadinya tidak mengenal siapa Allah yang sejati harus dicerahkan oleh Allah untuk sekarang mengenal Allah secara kognitif. Jika sebelumnya kita bukan seorang Kristen yang percaya kepada Allah dalam pengertian monoteisme tunggal, maka jika kita masuk kepada Kekristenan dan memiliki iman sejati, kita harus meninggalkannya. Ada orang yang mengajarkan Allah dalam pengertian monoteisme tunggal, tetapi kita harus bergeser kepada pemahaman dan keyakinan kepada apa yang kita pahami bahwa Allah yang sejati adalah Allah Tritunggal. Tidak ada iman sejati tanpa pemahaman kognitif yang benar.
Kedua, pengenalan secara intelektual begitu penting karena perjumpaan dengan Yesus Kristus sebagai terang dunia membawa kita bukan hanya kepada keselamatan, tetapi membawa kita kepada penyembahan yang sejati. Pemahaman secara kognitif adalah fondasi bagi iman sejati dan dasar bagi ibadah yang sejati, karena kita tidak bisa beribadah dan tidak dapat menyembah Allah yang tidak kita kenal (Kis. 17). Tidak mungkin ada penyembahan kepada Allah yang tidak dikenal. Ibadah yang sejati adalah ibadah di dalam Roh dan Kebenaran. Di dalam Roh berarti kita telah dilahirbarukan dan di dalam kebenaran berarti melibatkan pemahaman terhadap kebenaran yang sejati. Maka jangan bermimpi memiliki iman sejati tanpa pemahaman secara kognitif tentang siapa Allah yang kita sembah.
Ketiga, berelasi dengan Allah memang melibatkan hati, namun hati kita tidak akan bisa disentuh dan tidak bisa berubah jika kita tidak memiliki pemahaman kognitif tentang siapa Allah. Ini terlalu penting bagi kita.
Kis. 17:10-11 berkata bahwa kebaikan hati mereka bukan hanya hati yang menerima Firman, tetapi sebelumnya mereka menyelidiki untuk tahu mana benar dan mana yang salah. Kebenaran inilah yang mengubah hati mereka. Maka kita tidak dapat mengatakan yang paling penting hati kita. Hati kita akan mencintai apa jika kita tidak tahu apa-apa? Hati kita tidak akan mencintai kebenaran jika tidak tahu kebenaran. Hati kita tidak dapat mencintai Allah yang benar jika kita tidak pernah tahu Allah yang benar. Maka pemahaman kognitif sangat penting. Oleh sebab itu Allah menciptakan pikiran. Allah bukan hanya menebus hati kita, tetapi Dia juga menebus pikiran kita supaya pikiran yang buta dan gelap karena tidak kenal Allah menjadi pikiran yang tercerahkan, yang mengenal dan memahami Allah yang benar barulah kita bisa mencintai Dia. Kita hanya dapat beribadah jika kita mengenal Dia. Tanpa pengenalan yang benar terhadap Dia, bahkan secara kognitif, tidak mungkin ada ibadah yang sejati.
John Owen berkata bahwa pikiran adalah pintu masuk kepada jiwa. Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama kali, fungsi ini terlihat ketika Hawa ingin berbuat dosa. Dia mellihat buah pohon itu baik untuk dimakan. Dimulai dari pikiran, barulah Kej. 3 mengatakan buah itu menarik hati. Ketika Hawa mengambil kesimpulan bahwa melawan Allah itu lebih baik, maka buah yang dilarang oleh Allah itu menjadi lebih menarik hatinya. Lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk mengambil buah pohon itu untuk dibawa dan dimakan bersama-sama dengan Adam. Maka Tuhan pasti menebus pikiran karena pikiran adalah pintu masuk menuju kepada jiwa, dan Dia juga tidak mungkin tidak menebus jiwa. Dari pikiran yang buta menjadi pikiran yang mengenal Firman Allah.
Kedua, D. A. Carson berkata bahwa salah satu pengertian dari istilah “tetap atau tinggal di dalam Firman” adalah terus-menerus dan bertekun mencari pemahaman yang benar. Artinya, dengan bertekun dan dengan terus-menerus mencari pemahaman Firman Allah yang benar, ini adalah ciri murid yang sejati dan ciri iman yang sejati. Yesus berkata bahwa jika kita adalah murid-Nya, jika kita benar-benar pernah berjumpa dengan Dia, maka kita akan terus-menerus mencari pemahaman tentang Dia. Perjumpaan dan pengenalan yang sejati mendorong pencarian terus-menerus, bahkan secara intelektual. Maka hal aneh jika ada orang yang menyebut diri mengenal Kristus dan pernah berjumpa dengan Yesus Kristus tetapi malas untuk mencari pengenalan terhadap Allah secara kognitif. Ini adalah sebuah anomali. Situasi yang aneh di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Semakin lama pemahaman secara kognitif tidak menjadi semakin dalam karena alasannya: “cukup hanya dengan mengenal Allah saja.” Ini adalah hal yang sangat aneh karena kalimat seperti itu hanya bisa dipahami jika kita memakai akal. Kerohanian yang sejati melibatkan penebusan akal. Spiritualitas yang sejati melibatkan seluruh dimensi hidup kita, termasuk di dalamnya pikiran kita. Tinggalkanlah kegelapan akal budi kita dan carilah pemahaman dan pengenalan mengenai Allah yang semakin lama semakin dalam. Jangan biarkan kehidupan spiritual kita mengalami stagnansi oleh karena pemahaman kita juga stagnan. Ibadah yang sejati melibatkan pemahaman yang benar, maka ibadah akan berhenti atau mengalami stagnansi ketika pemahaman kita juga mengalami stagnansi.
Hal ini tidak menyelamatkan kita, tetapi ini adalah fondasi bagi iman yang sejati. Perjumpaan dengan Kristus, Sang Terang Dunia, membuat pikiran yang gelap menjadi tercerahkan sehingga dapat mengenal Allah yang benar secara kognitif. Bukan hanya pemahaman secara kognitif, tetapi jika kita memiliki iman yang sejati karena telah berjumpa dengan Kristus, maka perjumpaan dengan Kristus akan menerangi hati kita sehingga kita mencintai kebenaran yang kita pahami, lalu dengan setia kita bertekun untuk melakukan Firman itu. Jika kita adalah murid Kristus, maka kita akan ada di dalam Firman-Nya. Bukan hanya terus-menerus mencari kebenaran, tetapi terus-menerus setia dan bertekun di dalam kebenaran.
Kedua, Salah satu tanda kita cinta kepada kebenaran yaitu kita akan bertekun di dalam keyakinan terhadap kebenaran dan bertekun untuk melakukannya dengan segala konsekuensinya. Bukankah sebagai orang percaya ketika kita mengetahui kebenaran lalu ingin melakukannya, ada begitu banyak resiko yang bisa kita dapatkan? Apapun konsekuensinya jika kita adalah murid Kristus, maka kita tetap ada di dalam kebenaran. Termasuk ketika kita harus kehilangan hal-hal yang paling berharga di dalam hidup kita. Jika hati kita telah dipikat oleh kebenaran dan telah diterangi oleh Kristus, maka segala resiko akan kita tempuh. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk membuktikan iman yang sejati. Jika di dalam perumpamaan mengenai benih yang ditaburkan, situasi ini dapat digambarkan dengan tanah yang ketiga, yaitu bertumbuh di tengah semak duri yang terlihat menjanjikan tetapi dihimpit oleh dunia ini.
A. W. Tozer berkata bahwa Kekristenan saat ini banyak orang mau memeluk Kristus dengan tangan kanan sambil berpegang kepada dunia dengan tangan kiri. Suatu saat dia akan disobek oleh kedua hal yang berbeda ini. Tanah jenis yang ketiga berbicara mengenai orang-orang yang di satu sisi ingin percaya kepada Kristus karena dia tahu dengan pikirannya bahwa Yesus Kristus adalah Allah, tetapi dia tidak sanggup untuk terus bertahan di dalam kebenaran Firman, karena jika bertahan dengan Firman dia akan kehilangan dunia yang juga dia peluk dengan satu tangan yang lain. Tetapi Yesus menuntut kita untuk terus ada di dalam Firman yang kita pahami. Lalukan dan kerjakan itu apapun konsekuensinya. Ada banyak hal yang dapat membuat kita meragukan Allah dan meragukan kebenaran Firman-Nya.
Ketika Yesus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki iman palsu, Yesus tidak langsung mengatakan iman mereka palsu, tetapi Yesus berkata jika mereka memang murid sejati, waktu akan membuktikannya. Jika kita percaya klaim Yesus, maka kita tidak akan melawan Dia dan waktu akan membuktikannya. Kita dapat melihat bahwa ketika eskalasi perdebatan meningkat, mereka mengambil batu dan melempari Dia. Inilah bukti bahwa iman mereka palsu. Jika mereka memang mengenal Yesus dengan benar, maka mereka tidak akan melempari Dia dengan batu.
Apakah kita bertemu dengan Yesus yang sejati? Jika kita berjumpa dengan Yesus yang sejati, maka kita akan tetap tinggal di dalam Firman-Nya, termasuk di dalam situasi hari ini, pandemi yang terlihat buruk bagi kita.
Ketiga, jika kita berjumpa dengan Kristus dan memiliki iman yang sejati, maka kita akan mendapati seluruh dimensi hidup kita diterangi oleh Allah sehingga kita dimerdekakan di dalam kebenaran. Ayat 32 mengatakan bahwa: “…dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Hal ini sama dengan ayat-ayat sebelumnya. Di dalam pasal-pasal awal Yohanes mengatakan bahwa kebenaran itu akan memerdekakan. Ada orang yang menerjemahkan “merdeka” sebagai tindakan sesuka hati. Dimerdekakan oleh kebenaran bukan berarti lepas dari tuntutan dan lepas dari tanggung jawab. Sering kali kita mengartikan kebenaran Kristen yang sedemikian. Tidak! Ketika kebenaran memerdekakan kita, dia tidak melepaskan kita dari tuntutan untuk melakukan tanggung jawab sebagai orang Kristen. Kebenaran tidak akan membuat kita menembus segala batas yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebenarnya ini adalah hal yang normal. ‘Indonesia merdeka’ bukan berarti Indonesia bebas dari penjajahan karena sebenarnya kita sedang dijajah oleh bangsa sendiri. Tetapi ini tidak berarti bahwa jika kita merdeka maka kita boleh melakukan apa saja dan bebas untuk menginjak-injak hukum. Tidak demikian! Merdeka di dalam Kristus berarti kita diselamatkan untuk dengan bebas melakukan kebenaran Firman di dalam kehidupan kita. Kita masih dibatasi oleh Firman, namun kita melakukannya dengan sukacita tanpa paksaan. Orang- orang merdeka adalah orang-orang yang dengan sukacita tanpa dipaksa menghidupi batas-batas yang ditetapkan oleh Allah di dalam kehidupannya dengan takut kepada Allah dan dengan cinta kepada Allah, kemudian kita melakukan Firman-Nya. Jika kebenaran itu ada di dalam kehidupan kita, maka hidup kita akan dibebaskan oleh Allah.
William Barclay berkata bahwa ada empat hal yang membuat kita menjadi budak di dalam hidup ini dan jika kita melakukan kebenaran, cinta kepada kebenaran dan melakukannya dengan segala konsekuensi, maka kita akan dibebaskan dari empat perbudakan ini:
Pertama, kita akan dilepaskan dari perbudakan iblis dan dosa. Sebaliknya, dengan mencintai kebenaran yang kita ketahui dan kita menaati kebenaran itu di dalam segala situasi dengan segala konsekuensinya, maka kita menjadi orang bebas yang sanggup untuk menaklukan iblis dan dosa. Kristus telah mengalahkan iblis 2000 tahun yang lalu. Kemenangan itu diberikan kepada kita dan hari ini iblis dan dosa kita taklukan melalui ketaatan kepada Firman. Iblis memang masih dapat menggoda kita, tetapi kita menang atas iblis ketika kita menolak godaannya dan menaati kebenaran Firman Tuhan. Terus-menerus ada di dalam dosa adalah ciri orang yang belum dimerdekakan oleh Kristus.
Apakah hari ini kita terus menerus ada di dalam dosa? Jika kita terus-menerus melakukan dosa dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka berarti kita adalah budak dosa. Tetapi jika kita terus-menerus ada di dalam Kristus dan terus-menerus berjuang untuk melakukan kebenaran, maka kita adalah hamba Kristus. Kita adalah hamba kebenaran. Kita tidak bisa menjadi orang yang benar- benar merdeka di dalam dunia ini atau kita tidak bisa tidak menjadi hamba siapapun. Kita hanya bisa memiliki satu dari dua pilihan: hamba Tuhan atau hamba setan, menggunakan hidup kita untuk melayani Allah atau melayani iblis dan dosa. Jika kita memilih untuk hidup di dalam Kristus, bertekun dan berpegang kepada kebenaran dengan segala konsekuensinya, maka kita menjadi hamba Tuhan yang menaklukan iblis dan dosa. William Barclay berkata ini adalah musuh utama yang dari padanya kita akan mendapatkan kemerdekaan. Tetapi jika kita ada di dalam Kristus dan bertekun di dalam kebenaran, maka ada musuh kedua yang akan kita kalahkan sebagai orang merdeka, yaitu diri kita sendiri. Kita berpikir menjadi orang merdeka jika semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan, tetapi Yesus tidak berkata demikian (Mat. 16:24). Hal ini berbicara mengenai kemauan kita untuk menundukkan diri kepada kehendak Allah dan kita bukan hanya berkata “tidak” kepada dunia, tetapi kita bisa berkata “tidak” kepada diri kita sendiri. Firman Tuhan hari ini menunjukkan kepada kita bahwa jika kita tetap di dalam Kristus dan di dalam kebenaran, kita akan memiliki kekuatan untuk menaklukan diri kita sendiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana perjuangan kita?
Ketiga, William Barclay berbicara mengenai tekanan atau pendapat dari orang lain tentang diri kita. Terkadang opini orang lain menjadi penting bagi kita. Penilaian dari orang lain memang penting, tetapi jika penilaian tersebut diletakkan di atas fondasi yang salah, maka seharusnya kita tidak terlalu peduli. Yang paling penting adalah kita ada di dalam kebenaran. Ironinya kita lebih kuatir dengan suara teman dari pada suara Tuhan. Orang tua Kristen yang tidak berpegang kepada kebenaran kehilangan hak untuk ditaati oleh anak yang berpegang kepada kebenaran. Seorang anak memiliki kewajiban untuk taat kepada orang tuanya. Tetapi ketika orang tuanya berlawanan dengan kebenaran, maka seorang anak tidak memiliki kewajiban untuk tunduk kepada ketidakbenaran yang disarankan oleh orang tuanya. Oleh sebab itu orang tua Kristen jika ingin ditaati harus berdiri di atas kebenaran karena kebenaran memerdekakan dia dan ketika dia mengajar anaknya maka kebenaran itu akan memerdekakan anaknya sehingga anaknya bahkan tidak terikat kepada orang tua yang tidak berdiri di atas kebenaran. Seorang Hamba Tuhan yang menyampaikan kebenaran Firman Tuhan menuntut supaya didengarkan. Tetapi jika seorang Hamba Tuhan tidak berkhotbah di atas dasar kebenaran Firman Allah yang baik, maka Hamba Tuhan itu kehilangan hak untuk didengarkan. Ketika di dalam gereja ada ketidakbenaran yang terus dipertahankan, maka orang-orang yang paham akan kebenaran harus meninggalkan tempat itu. Maka tidak ada persekutuan yang lebih kuat dari pada persekutuan dengan Kristus. Tekanan dan opini orang lain bukanlah hal yang terpenting di dalam kehidupan kita selama kita berdiri di dalam kebenaran. Tetapi tekanan dan opini dari orang lain bisa menjadi penting bagi kita ketika kita tidak berdiri di atas kebenaran.
Keempat, kita akan dibebaskan dari rasa takut. Ketika kita hidup di dalam dosa dan nurani kita berfungsi dengan benar, maka nurani kita akan menuduh kita dan hidup kita tidak akan damai. Tetapi jika kita berpegang kepada kebenaran dan berjalan di dalam kebenaran, hati nurani kita tidak akan menuduh kita sehingga hidup kita menjadi tenang. Jika kita ingin bebas dari tuduhan hati nurani, hanya ada satu jalan, yaitu hidup di dalam kebenaran. Kita juga akan terbebas dari rasa takut oleh karena tuntutan manusia.
Allah berkata jika kita ada di dalam kebenaran maka kita akan terbebas dari rasa takut. Hukuman yang paling mengerikan dan menakutkan adalah hukuman Allah, yaitu neraka kekal yang disediakan Allah bagi orang yang tidak percaya. Jika kita hidup di dalam kebenaran karena iman yang sejati ada pada kita, bahkan terhadap neraka itupun kita tidak perlu takut padanya. Kemerdekaan dan sukacita sejati ditawarkan oleh Kristus bukan dengan melakukan apapun yang kita inginkan, tetapi mendapatkan kemerdekaan dengan hidup di dalam kebenaran dan membiarkan hidup kita dibatasi oleh kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah.
Iman yang sejati melibatkan pemahaman secara kognitif. Iman yang sejati melibatkan keyakinan di dalam hati bahwa kebenaran ini adalah sesuatu yang harus ditaati sehingga kita terus mencari pemahaman kognitif dan kita juga berjuang bertekun untuk melakukannya dengan segala konsekuensinya. Dengan demikian kita akan melihat iman yang sejati membawa kita kepada kebebasan yang sejati.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – YC)